Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Nurturing: Ternyata Membaca Tidak Penting Bagi Anak-anak

11 April 2023   10:51 Diperbarui: 12 April 2023   03:06 1927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak sedang belajar| via unsplash @ismail osman

"Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata pada mantera." (Sutardji Calzoum Bachri)

Selamat datang kembali untuk diri saya. Wkwkwk...salam yang cukup narsis? Bukan. Ini karena saya terlalu lama pergi dan ndak tahu kepada siapa kangen ini saya sampaikan. Halah! Makin tak tertib pula narasi saya ini.

Well, bagaimana? Judul saya sudah cukup menarik, bukan? Kalo ndak menarik perhatian, yaudala. Ga pa pa juga. Yang penting Anda bersama saya saat ini. #gubrak.

Hmm, bacaan dan anak-anak. Masalah klasik. Njelehi, topik yang membosankan. Mending ngomongin yang lain.

Begitulah pendapat beberapa orang tua di luar sana saat saya gelar tema ini. Mungkin memang membosankan. Tapi nyatanya masih banyak anak-anak di sekitar kita yang tidak suka membaca. Atau ya, mereka mau membaca hanya pada saat dibutuhkan saja. 

Lantas haruskah anak-anak doyan membaca? Adakah rentang waktu yang tepat bagi anak-anak belajar membaca secara efektif? Terus...bagaimana faset neurosains mengenai minat baca anak-anak? 

Anda tertarik? Lesgo lanjut, Parents yang saya muliakan.

Naluri Membantu Anak Memahami Bahasa

Pertama, silakan menjawab pertanyaan saya dalam hati saja. Gimana, apakah anak -anak di sekitar Anda masih mager bila diminta membaca? Bila tidak, lalu apakah mereka mampu menyerap isi dari bacaan tersebut dan menarasikannya kembali dengan baik? 

Bila saya boleh membagikan sedikit wacana, bahwa di luar sana masih banyak orang tua yang mengeluhkan keengganan anak-anak bila diminta untuk membaca. Meskipun semua ide sepertinya sudah dicoba. 

Tahukah Anda bahwa pada akhir dekade ini, para ahli kognisi dan pemerhati tumbuh kembang anak telah melakukan penelitian mengenai korelasi antara kemampuan mendengar, melihat, dan pembentukan minat baca pada masa anak-anak. Apakah benar-benar ada korelasinya? Lantas apa hubungannya?

Markinjut!

Sains atau ilmu pengetahuan pada akhir abad ke-20 membawa kita pada pembelajaran baru mengenai perilaku individu dan atau kelompok. Perkembangan ilmu pengetahuan kekinian telah dan tengah membawa wacana baru. 

Sains memperanakkan konsep bahwa individu manusia menjadi faktor penting dalam laju pergeseran budaya.

Pada pembahasan yang lalu saya telah menuliskan bagaimana peranan gen dalam proses pembelajaran bahasa seorang anak. 

"Naluri adalah perilaku yang ditentukan secara genetik; sedangkan belajar adalah perubahan perilaku yang didapatkan dari pengalaman." (Matthew White Ridley).

Dalam artikel "Belajar Bahasa Menggunakan Otak Naluri, Neurosains Bilang Apa?" saya mencoba menghadirkan kembali perspektif lama, yaitu naluri sebagai konsep pembelajaran bahasa dalam masa awal perkembangan kognisi anak.

Sedikit mengutip pernyataan Andrew Hodges seorang matematikawan dalam buku biografi Alan Turing berjudul Alan Turing: The Enigma yang ditulisnya, bahwa "Apa pun yang dapat menggunakan sumber daya dari dunia ini untuk mendapatkan salinan dirinya adalah sesuatu yang hidup; dan bentuk yang paling mungkin untuk sesuatu ini adalah sebuah pesan digital-- sebuah bilangan atau sepatah kata."

Naluri merupakan alat bagi anak-anak untuk mempelajari segala sesuatu di lingkungan sekitarnya. Anak-anak pada rentang usia 0-9 tahun mampu mengenali simbol-simbol yang kemudian menjadi pola, lalu mengucapkannya secara verbal sebagai sebuah bahasa. 

Tentu saja kemampuan menangkap simbolik dan membentuk pola diolah pada area Broca yang kemudian bertranslasi ke area Wernicke. Di mana, pada area Wernicke bersama dengan memori, sistem limbik, dan bagian motorik pada otak dalam hitungan nano detik akan menjadikan pola-pola tersebut sebagai ucapan atau bahasa.

Namun kemampuan untuk memverbalisasikan bahasa tersebut tidak disertai dengan kemampuan untuk memaknai atau pun memberikan persepsi atas informasi yang tertulis. Begitu pun dalam hal memahami struktur bahasa tersebut. 

Anak-anak mampu dengan lancar mengucapkan bahasa sehari-hari sebagai alat komunikasi mereka. Kemampuan ini dicapai tanpa mempelajari terlebih dahulu struktur dari bahasa sehari-hari tersebut. 

Mari kita ambil contoh pada pembelajaran matematika maupun sains. 

Perlu disadari, bahwa hanya pada spektrum tertentu, bagi sekelompok orang, matematika dan sains adalah subjek yang gampang. Kalau pun Anda berpikir bahwa itu terjadi karena mereka memang "berbakat", maka jawaban Anda bisa jadi benar, tapi tidak sepenuhnya benar.

Lompatan gen memberi instruksi "kecerdasan" kepada individu, sehingga peluang lebih besar untuk mempelajari matematika dan sains lebih efektif dan efisien dari pada yang lain. Ya, emang dari sononya terlahir bernasib kek gitu. Get lucky? Mmm, you may say so.

Meski demikian, tentu ada faktor lainnya. Yaitu sistem yang berlaku dalam lingkungan di mana anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang.

Perlu kita akui bahwa dalam masyarakat kita masih berlaku "sistem" yang memaksakan anak untuk berkompetisi dan menjejali mereka dengan target-target yang harus dicapai. Hal ini malah berakibat pada penyerapan materi yang tidak maksimal oleh anak-anak. 

Semua ini akan terakumulasi, sehingga matematika maupun sains pada anak-anak di kemudian hari menjadi gundukan pelajaran beracun. Terlalu lebay-kah? Pada umumnya itulah yang dirasakan anak-anak kita, buk bapak. 

Apakah permasalahan ini pun terjadi pada minat baca anak-anak? Oh, iya. Tentu saja iya.

Cekidot!

Benarkah Anak-anak Harus Membaca Buku ?

Ah, judul saya diatas, yang barusan itu sungguh sangat menyedihkan. Sama sekali tidak menarik. Sebuah kalimat yang sangat kuno. Seperti, "benarkah bakso itu makanan yang sangat enak?" Hhh, yaudahlah.

Bagi kita, terlebih bagi yang gemar menulis (bukan hanya menulis status di akun media sosial aja sih, ini mah saya), pasti sepakat bahwa: MEMBACA ADALAH SEBUAH PERKARA PENTING.

Ya, tentu saja. Tetapi apakah anak-anak juga harus senang membaca dari sejak ia kecil? Belum tentu. 

Bahwa beribu tahun yang lalu sebelum diketemukan tulisan seperti huruf paku pada zaman bangsa Sumeria, manusia telah cakap menggunakan bahasa secara verbal. 

Kendati pun demikian, manusia membutuhkan tulisan untuk menyampaikan informasi secara akurat. Tulisan membantu manusia untuk mengingat segala sesuatu secara lebih tepat. Ini dibutuhkan karena ingatan manusia berkurang  kurang lebih sebesar 50% dalam satu tahun.

Otak kita pada usia 0-8 tahun pada umumnya belum mampu menyampaikan informasi yang kita dapat secara tepat. Seseorang mampu menyampaikan informasi kepada orang lain mulai usia 9-11 tahun.

Kabar buruknya, adalah pada umumnya otak anak-anak  di rentang usia 0-8 tahun belum mampu memahami esensi dari sebuah informasi. Sedangkan untuk memahami esensi informasi dibutuhkan otak yang lebih dewasa, lebih matang.

Begitu pun dalam hal tulisan. Untuk memahami esensi tulisan diperlukan otak yang benar-benar siap menyampaikan informasi dengan baik.

Maka dari itulah simulasi yang lebih pas untuk anak-anak usia 0-8 tahun adalah membiasakan membacakan bacaan bagi mereka kemudian mengajak mereka berdiskusi mengenai bacaan tersebut. 

Konsep pengajaran ini sangat berkebalikan dengan budaya mengajar membaca di sekitar kita. 

Tuntutan kompetisi yang dikondisikan oleh sistem memaksa anak-anak untuk belajar membaca dan berhitung semenjak dini. Ya, ini mungkin bisa terjadi secara efektif hanya pada anak-anak dengan bakat tertentu. Bukan pada semua anak-anak.

Apa yang terjadi pada anak-anak dibawah 9 tahun ketika mereka "dipaksa" untuk belajar membaca? Ya, mereka bisa membaca. Mereka memang melakukan semua itu dengan baik. 

Kabar buruknya lagi, anak-anak melakukan proses belajar tersebut dengan mekanisme reward and punishment. Bila mereka melakukannya dengan baik maka akan mendapatkan reward, penghargaan. Apa pun bentuk reward tersebut. 

Begitu pun sebaliknya, bila anak-anak tidak melakukannya, tentu saja ada punishment, "hukuman" yang harus mereka pikul. Ya, apa pun bentuk punisment itu.

Nah, memang artikel kali ini terkesan sangat idealis. Hanya berlaku pada kondisi-kondisi tertentu saja. Belajar untuk sebuah pencapaian memang bagus. Hanya saja belajar pada saat yang tepat tanpa timbul beban yang memberatkan adalah hal yang lain, bukan?

Hmmm, månggå saja. Saya hanya menyampaikan bagaimana anak-anak memahami bacaan di usia tertentu pada spektrum yang umum. Bila ada manfaat silakan diambil, bila tidak ya ndak pa pa. 

Begitu pesan singkat dari saya. Semoga kita semua dimampukan untuk saling belajar bersama.

Untuk sementara ini dulu. Lain waktu kita akan belajar lagi. Sampai jumpa. 

Salam sehat, salam sadar

Penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun