Berdasarkan pengalaman ini pula, dalam proses panjang evolusinya, manusia menggunakan sistem limbik untuk menjaga keselamatan dirinya.
Nah, ketika sistem limbik dalam hal ini amygdala terlalu aktif, maka respon tubuh untuk bertahan pun akan terus menerus aktif. Tubuh akan senantiasa merasa dalam kondisi yang tidak aman.
Jantung berdetak lebih cepat, aliran darah meningkat, mulut mulai mengering, dan gejala serta tanda kepanikan segera muncul. Itu mengapa trauma erat kaitannya dengan depresi, hipertensi, maupun sakit jantung.
Butuh proses panjang dalam perjalanan pulih dari sebuah trauma. Semua tidak semudah yang kita bayangkan atau pikirkan. Dan ini bukan masalah mendramatisir kondisi bagi mereka yang sedang dalam keadaan traumatis.Â
Kemungkinan apa yang terjadi pada mereka yang menderita traumatis?
Pada mereka yang sedang mengalami trauma, memori tentang masa lalu yang tersimpan akan berpotensi mengganggu dalam proses relasinya dengan lingkungan.
Ada yang mengekspresikan pengalaman masa lalu yang menyakitkan tersebut pada perilaku-perilaku yang cenderung bersifat negatif.
Seperti menarik diri atau menolak bila ada yang sedang ingin berelasi lebih intens. Munculnya rasa tidak percaya diri atau minder, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, menjadi alkoholik, dan lain sebagainya. Bahkan ada beberapa remaja ada yang didapati sering melakukan self harm.
Sekali lagi, tidak ada yang mudah dalam trauma. Butuh circle yang tepat untuk bangkit kembali. Butuh waktu yang panjang. Butuh satu proses yang panjang.Â
Bukan hanya tentang proses letting go. Ini lebih kepada bagaimana membuat diri kembali sadar. Bahwa keberadaan diri ada di masa kini.
Mungkin memang bukan perkara melupakan ingatan-ingatan yang tidak nyaman. Namun, memiliki kesadaran diri penuh akan sangat membantu untuk menjaga keseimbangan tubuh.
Supaya tubuh tidak selalu berada dalam kondisi alert. Pertolongan ahli medis yang tepat akan membantu memberikan treatment yang tepat.Â