Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

KDRT dan Sebuah Faset Lain tentang Trauma

14 Februari 2023   23:50 Diperbarui: 16 Februari 2023   14:00 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: domestic violence| via unsplash @sydney

"Adakah yang lebih tangguh
dari hati manusia
sudah pecah lagi dan lagi
dan masih berdegup"

(
Rupi Kaur~the sun and her flowers)

Memori episodik, trauma, ketakutan, bayangan masa kecil, hmm rasa-rasanya bukan rentetan masalah baru buah rahim domestic violence. 

KDRT rupa-rupanya bukanlah fenomena baru abad dua puluh. Salah satu bukti kelampauan fenomena perilaku ini ternampak pada salah satu sisi relief Candi Gambar Wetan. Bagaimana dengan jelas perilaku tersebut digambarkan pada laki-laki yang menendang perut perempuan.

Begitu pun bila kita menengok jejak sejarah perjuangan wanita pada masa pendudukan Belanda di bumi pertiwi. Salah satu alasan perjuangan tersebut adalah didorong oleh tingginya perlakuan "kasar" baik secara fisik maupun mental oleh kaum lelaki pada wanita dan anak-anak pada masa bersangkutan.

Apa yang mudah dalam trauma? 

Mungkin kita seringkali mendengar tentang betapa parahnya luka baik fisik maupun psikologis dari korban domestic violence. 

Tidak mudah menemani mereka untuk kembali bangkit. Tidak gampang melampaui segala peristiwa menyesakkan. Tidak seenteng kita berucap, "Kenapa sih korban ga mau speak up?"

Atau secuil kalimat ampuh, "Udahlah...lupain aja. Kita move on yuk."

Izinkan saya membagi sebuah kisah tanpa nama. Mohon maaf, bila apa yang akan saya sampaikan kurang nyaman, silakan skip bagian ini.

Siang itu, saya dan seorang kawan berjalan di sebuah pusat belanja. Tiba-tiba tangannya memegang erat saya. Wajahnya terlihat begitu terkejut. Sepintas saya melihat seorang lelaki dengan tubuh yang agak tinggi lewat di hadapan kami. Saya tidak mengenal lelaki tersebut sama sekali.

Pada awalnya, saya tidak mengerti mengapa kawan saya menyembunyikan wajahnya di pundak saya. Tak lama dalam getar suaranya, ia berkata, "Sorry, aku selalu ingat bapaknya anak-anak kalau lihat orang berperawakan hampir sama seperti dia."

Sekilas, peristiwa masa lalunya lewat pula dalam ingatan saya. Bekas pukulan itu, mata lebam dan merah, dan beberapa perlakuan serta perkataan kasar dari suaminya. Apakah ada yang mudah? 

Mari kita lihat, apa yang terjadi pada tubuh seseorang yang telah mengalami trauma. 

Saya pernah menulis dalam salah satu artikel saya. Bahwa trauma datang dalam wujud gambaran-gambaran masa lalu. Bukan secara berurutan. Melainkan potongan peristiwa yang tidak menyenangkan yang datang seperti lampu flash. Lalu layaknya puzzle kita berupaya menyatukannya dalam sebuah narasi.

Mengapa kita tidak dapat dengan mudah melupakannya? 

Karena mekanisme otak kita dirancang untuk mengingat. Bukan melupakan. Terlebih pada peristiwa yang mendatangkan pengalaman tidak nyaman bagi diri kita. 

#1 Apabila seseorang mengalami peristiwa yang tidak nyaman, dalam hal ini pengalaman kekerasan ataupun pelecehan seksual, salah satu bagian otak yang secara langsung aktif adalah sistem limbik. Itu jelas. 

Kondisi trauma membuat amygdala yang tupoksinya menjaga keselamatan tubuh menjadi aktif secara terus-menerus. Hal ini mengakibatkan tubuh berada selalu pada kondisi "waspada". Kejadian inilah yang kemudian memantik seseorang menjadi takut, cemas, bahkan menjadi panik pada saat trauma terpicu.

#2 Akan tetapi, ada area lain pula dalam struktur otak yang juga mengalami gangguan dalam melakukan fungsinya secara normal. Lebih tepatnya pada area Broca dan Wernicke --area inilah yang bertugas untuk memverbalisasikan bahasa-- menjadi inaktif. Area ini seolah "membeku". Sehingga fungsinya pun ikut terganggu. 

Maka tidak jarang bila seseorang yang sedang mengalami trauma tidak akan mampu mendiskripsikan secara verbal apa yang dirasakannya. Sementara, emosi yang mengendalikan tubuh membajak sedemikian rupa. 

Bisakah Anda membayangkan bila kondisi ini terjadi pada anak-anak? Anak-anak yang dibentak, dipukul, atau menerima perlakuan atau perkataan kasar dari orang tua yang seharusnya menjadi tempat ia berlindung?

Bagaimana dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh keluarga dekat kepada anak-anak? Banyak orang tua lebih memilih untuk menceritakan kebaikan saudaranya dan meminta si anak untuk tetap merahasiakan semua kejadian tersebut. Betul demikian, bukan?

Next!

Trauma bukan hanya berbicara mengenai bekas luka kasat mata. Bekas luka ini yang ada dalam setiap ingatan. 

Pengalaman tidak nyaman akan tersimpan di kedalaman memori. Memori bukan berdiam dalam satu area tertentu saja. Memori menyebar di berbagai area otak. 

Memori tersimpan dalam hubungan antar sel syaraf. Sementara, neurotransmiter bertugas untuk menjadi perantara antar sel syaraf tersebut.

Maka jangan heran bila satu kejadian kecil yang tidak disengaja atau bau tertentu mampu memantik trauma seseorang.

#3 Salah satu bagian lain dalam otak kita yang tugasnya membantu kita mempersepsikan waktu, baik masa lalu, masa sekarang maupun masa yang akan datang mengalami gangguan. Sehingga bilamana sebuah kejadian --sekecil apa pun itu-- memantik trauma, maka seseorang tersebut tidak dapat membedakan waktu. Apakah itu kejadian masa lalu atau sekarang.

Semua ingatan bukan dipersepsikan sebagai kejadian masa lalu. Tapi rasa sakit tersebut dipersepsikan sebagai kejadian sekarang. Saat ini.

Ingatan tentang emosi merupakan sebuah memori yang tidak mudah hilang. Terlebih tentang pengalaman yang membuat kita tidak nyaman. 

Bukan perkara maaf memaafkan. Mungkin memang maaf itu telah hadir. Tapi emosi kecewa, perasaan sakit itu masih ada. Dan semua itu nyata.

Why?

Pada dasarnya, otak dirancang sedemikian rupa untuk bekerja supaya tubuh dapat terus bertahan hidup. 

Saat otak kita dalam keadaan alert, adalah sebuah mekanisme otak untuk berjaga-jaga terhadap bahaya yang sekiranya dianggap sebagai ancaman. Ini bagus. Bahkan mekanisme tersebut pada masa hunter-gatherer digunakan sebagai "senjata" untuk mempertahankan diri.

Berdasarkan pengalaman ini pula, dalam proses panjang evolusinya, manusia menggunakan sistem limbik untuk menjaga keselamatan dirinya.

Nah, ketika sistem limbik dalam hal ini amygdala terlalu aktif, maka respon tubuh untuk bertahan pun akan terus menerus aktif. Tubuh akan senantiasa merasa dalam kondisi yang tidak aman.

Jantung berdetak lebih cepat, aliran darah meningkat, mulut mulai mengering, dan gejala serta tanda kepanikan segera muncul. Itu mengapa trauma erat kaitannya dengan depresi, hipertensi, maupun sakit jantung.

Butuh proses panjang dalam perjalanan pulih dari sebuah trauma. Semua tidak semudah yang kita bayangkan atau pikirkan. Dan ini bukan masalah mendramatisir kondisi bagi mereka yang sedang dalam keadaan traumatis. 

Kemungkinan apa yang terjadi pada mereka yang menderita traumatis?

Pada mereka yang sedang mengalami trauma, memori tentang masa lalu yang tersimpan akan berpotensi mengganggu dalam proses relasinya dengan lingkungan.

Ada yang mengekspresikan pengalaman masa lalu yang menyakitkan tersebut pada perilaku-perilaku yang cenderung bersifat negatif.

Seperti menarik diri atau menolak bila ada yang sedang ingin berelasi lebih intens. Munculnya rasa tidak percaya diri atau minder, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, menjadi alkoholik, dan lain sebagainya. Bahkan ada beberapa remaja ada yang didapati sering melakukan self harm.

Sekali lagi, tidak ada yang mudah dalam trauma. Butuh circle yang tepat untuk bangkit kembali. Butuh waktu yang panjang. Butuh satu proses yang panjang. 

Bukan hanya tentang proses letting go. Ini lebih kepada bagaimana membuat diri kembali sadar. Bahwa keberadaan diri ada di masa kini.

Mungkin memang bukan perkara melupakan ingatan-ingatan yang tidak nyaman. Namun, memiliki kesadaran diri penuh akan sangat membantu untuk menjaga keseimbangan tubuh.

Supaya tubuh tidak selalu berada dalam kondisi alert. Pertolongan ahli medis yang tepat akan membantu memberikan treatment yang tepat. 

Salam sehat, salam sadar

Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun