Bahwa masa sekarang ini kita dapat membalikkan sasaran (ilmu sosial) di mana lingkungan sosial dipengaruhi oleh naluri sosial bawaan. (Matt Ridley)
Akhirnya saya kembali lagi, Saudara. Setelah begitu lama saya meninggalkan meja tulis Kompasiana milik saya ini semakin berdebu.Â
Ya, meniti laju disrupsi informasi Anda boleh menyebutkan beragam isu yang bersliweran di dunia persilatan media sosial kita akhir-akhir ini. Mulai dari permainan lawas a la latto-latto yang  beranjak nge-hits hingga segala berita konflik seputar maraknya perilaku negatif menyoal seksualitas anak remaja.
Perubahan budaya menyebabkan anak-anak berada pada tataran dunia yang serba praktis. Permainan dan disrupsi informasi kembali berputar layaknya piringan hitam. Produk masa dulu yang sempat menjadi tren, sekarang mulai dilirik kembali.
Terinspirasi oleh sebuah artikel keren yang diunggah oleh salah satu kompasianer yang berjudul "Antropolinguistik, Memahami Budaya Melalui Praktik Berbahasa" membuat ingatan saya seperti terhubung pada sebuah konsep evolusioner milik sang legendaris Charles Darwin.Â
Antropologi linguistik tentu saja tidak dapat lepas dari kajian psikologi bahasa. Pada masa kekinian dunia psikologi mulai melepaskan diri dari sasaran tujuan ilmu sosial abad dua puluh.Â
Perubahan arah pandangan yang dipengaruhi oleh muatan teknologi sains telah berkembang sedemikian rupa. Entah telah mendapat persetujuan publik secara mayoritas ataupun belum, pada kenyataannya perkembangan kajian bahasa mulai beralih sasaran pada pandangan baru.Â
Salah satu isu perkembangan ilmu sosial adalah bahwa sains kini mampu melacak algoritma mekanisme otak sebagai dasar pemetaan perilaku manusia. Di mana bahasa menempati ranah penting dalam perkembangan budaya.Â
Sangat menarik ketika kita menyigi bagaimana perkembangan bahasa sangat mempengaruhi perilaku manusia. Sehingga lingkungan bukan lagi menjadi subjek prioritas pembentuk budaya. Namun sebaliknya. Bahwa manusia melalui perkembangan bahasanya dinilai mendapat high value dalam pembentukan budaya.
Pada tataran sejarah, rupa-rupanya homo sapiens di zaman purba mulai mengembangkan bahasa pada saat menemukan percik teknologi api. Hingga kini, bahasa telah menjadi jembatan bagi berkembangnya kebudayaan dalam kelompok sosial.
Hanya perlu dipahami bahwa salah satu sumbangsih besar teknologi berbasis sains bagi dunia linguistik adalah ditemukannya dua area pada struktur otak manusia yang memberi dampak penting bagi pembelajaran bahasa bagi setiap individu.
Ya. Pada era tahun 1860-1870-an para ahli bedah saraf menemukan area Broca dan Wernicke (area pada struktur otak yang teraktivasi saat kita mengelola bicara dan berbahasa). Penemuan inilah yang telah menyumbangkan ide dan gagasan mengenai arti penting peranan bahasa dalam tatanan budaya.
Lalu apa hubungannya antara naluri, anak, dan bahasa?
Berawal dari sebuah perbincangan ringan saya dengan seorang ibu muda mengenai perkembangan belajar anaknya. Tentang bagaimana anaknya begitu bersemangat belajar bahasa asing --dalam hal ini bahasa Inggris-- semenjak kecil.
Seketika saya pun teringat pada kekuatan yang dimiliki oleh anak-anak dalam berbahasa. Pada umumnya, anak-anak di usia 4 tahun sangat mudah untuk memahami penggunaan bahasa meskipun mereka tidak memahami dengan benar tata aturan gramatikal yang baku.
Anak-anak mulai usia dua tahun entah mendapat perlakuan atau tidak dari orang tua akan beradaptasi dengan menggunakan nalurinya untuk belajar menggunakan bahasa. Terlepas dari seberapa banyak kosakata yang mampu diserap oleh seorang anak.
Kemampuan berbahasa secara naluriah terbukti dari betapa lancarnya anak-anak balita berbicara dengan kalimat sehari-hari selama masa pertumbuhan mereka. Tentu saja di luar kasus-kasus khusus seperti misalnya pada penyintas sindrom Williams. Atau pun mereka yang didapati mengalami kecacatan pada area Broca atau Wernicke.
Kendati demikian, pada umumnya kemampuan naluriah anak-anak ini hanya terbatas sampai pada rentang usia tertentu.Â
Saya sendiri telah mempraktekkan bagaimana naluri membimbing saya mempelajari bahasa asing dengan cepat.Â
Saat itu saya merasa tidak mengerti bagaimana memilah lima tenses pada struktur kalimat bahasa Inggris yang diajarkan oleh "Laoshi" (begitulah saya memanggil guru Sekolah Minggu saya).Â
"Ya ndak papa. Yang penting kamu memahami kapan kamu menggunakan kata kerja yang benar," begitu pesan Laoshi. Sementara itu saya masih bingung bagaimana menempatkan kata kerja yang tepat. Lalu? Ya memakai insting, hehehe
Alhasil, dalam waktu yang singkat nilai rapor untuk mapel bahasa Inggris saya yang tadinya merah membara menjadi berbalik tatkala guru bahasa Inggris mengumumkan bahwa saya berada di peringkat dua pararel tingkat sekolah. (Ya, lumayanlah, Mami saya bisa senyum-senyum saat itu, hehehe).
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah pengalaman ini pun bisa berlaku bagi anak-anak lain? Ya, belum tentu juga. Ini mengapa saya selalu menekankan kepada setiap orang tua bahwa kemampuan bawaan setiap anak unik dan berbeda satu dengan yang lain.
Naluri berbahasa merupakan sebuah bukti adaptasi kompleks yang memudahkan kita untuk menyelaraskan komunikasi yang jelas antara satu dengan yang lain.
Apa yang disuguhkan oleh Noam Chomsky, seorang pakar linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts telah menjadi titik balik perubahan konsep lama yang berlaku. Yaitu konsep pembelajaran yang kemudian menyamarkan proses naluriah seseorang. Chomsky kembali menempatkan naluri sebagai bagian dari pembelajaran awal manusia terhadap bahasa.
Syarat universalitas pada kemampuan anak-anak berbicara dan berbahasa dalam kehidupan sehari-hari tanpa memahami tata aturan gramatikal yang baku inilah yang menjadi dasar bagaimana naluriah seorang anak manusia mempelajari bahasa.
Perbedaan Naluri dan Kesadaran Diri dalam Proses Belajar
Pemahaman masyarakat awam mengenai naluri adalah frasa yang biasanya digunakan pada binatang non-manusia. Seperti halnya laron, bila saat musim hujan sering terlihat banyak yang berdatangan. Ini merupakan wujud respon dari insting atau naluri rayap reproduksi. Baik laron jantan maupun betina mengikuti insting mereka menuju cahaya lampu. Sama halnya dengan fakta bahwa gen membentuk anatomi tubuh manusia.
Akan tetapi bagaimana perilaku manusia ditentukan oleh gen adalah paradigma baru.
Begitu pun paradigma naluri yang turut membangun perilaku manusia adalah hal yang baru. Maka tidak menutup kemungkinan ada begitu banyak pihak yang belum menyepakati pandangan baru ini. Tapi, tak mengapa.
Meski demikian, tahukah Anda bahwa di dalam kromosom 7 terdapat satu gen yang memiliki instruksi mengenai bagaimana manusia bertahan hidup menggunakan naluri.
Seiring proses evolusinya perkembangan kognisi manusia dibawa pada fase kesadaran diri (consciousness).Â
Dengan kesadaran diri yang merupakan hasil kerja otak rasional, maka individu mampu melakukan pembelajaran. Belajar merupakan perilaku manusia yang didapat dari pembelajaran pengalaman.Â
Pada dasarnya bukan hanya pembelajaran bahasa. Kognisi manusia mulai berkembang menjadi lebih kompleks. Bahkan menjadi lebih kompleks bila dibandingkan dengan binatang non manusia. Seperti halnya, bonobo, simpanse, atau binatang lain yang mempunyai kesadaran diri.
Kesadaran diri merupakan bagian dari kondisi mental kita. Yaitu segala respon  non fisik (seperti bergerak, berjalan, berlari, dan sebagainya). Kesadaran diri terbentuk dari banyak komponen penyusun seperti halnya emosi, memori, juga melibatkan kognisi.
Lalu bagaimana dengan naluri? Naluri merupakan hasil dari kerja otak bawah sadar (well, meskipun saya tidak begitu suka dengan alternatif frasa ini, but let it be). Naluri banyak dipengaruhi oleh kerja otak emosi. Yaitu struktur otak yang berada pada sistem limbik.
Sebagai contoh, saat kita makan, minum, berjalan, berlari, kita tidak membutuhkan waktu untuk berpikir bagaimana cara melakukannya. Apakah ini hasil kerja otak emosi? Yap. Tentu! Bukan gerak refleks ya, Baginda. Beda itu mah. Next time bilamana perlu kita bahas soal gerak refleks dan apa yang dikatakan sebagian orang sebagai hasil otak bawah sadar.
Sementara itu di sepanjang proses evolusinya, otak kesadaran hingga saat ini mempunyai mekanisme yang cukup kompleks.Â
Kendati dengan menggunakan mesin seperti functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) manusia kini mampu memetakan algoritma emosi, namun manusia belum mampu memetakan algoritma kesadaran diri (consciousness). Ini mengapa hingga sekarang artificial intelligence (AI) belum mampu menyamai kemampuan kerja otak manusia.
"The tabula of human nature was never rasa" (W.D. Hamilton)
Kay, saya tutup artikel kita kali ini. Semoga bermanfaat. Hepi wiken buat yang berencana wiken.Â
Salam sehat, salam sadar
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H