Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ternyata PR Tidak Selalu Membentuk Karakter Anak, Anda Percaya?

23 November 2022   16:15 Diperbarui: 24 November 2022   10:50 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Minta dengan santun pada anak (SHUTTERSTOCK)

Done!

Tepat tanggal 10 November yang lalu satu regulasi dalam bidang edukasi di Surabaya resmi diberlakukan. Bagi siswa SD dan SMP PR ditiadakan! 

Well done, Pak Walkot. Anda sudah mengurangi beban tak terkatakan dari anak-anak.

Apakah saya termasuk mereka yang menginginkan PR ditiadakan? Mungkin.

Tapi, tunggu sebentar. Kalau memang saya sepakat PR ditiadakan, lalu apa yang salah? Apakah PR yang katanya melatih rasa tanggung jawab anak selama ini telah berhasil melaksanakan tupoksinya? 

Kesan bahwa tugas dan PR sebagai beban telah menempel pada anak. Bagi sebagian anak, PR sekolah bagaikan momok yang menghantui mereka siang dan malam. 

Kompetisi demi kompetisi seakan dibiasakan dengan alasan untuk meraih prestasi. Prestasi yang terkadang belum tentu menjadi kebutuhan yang tepat pada masa tumbuh kembang anak.

Tahukah Saudara, apa yang teraktifasi pada otak anak saat harus menghafalkan sederet wacana pembelajaran? Anak-anak berpotensi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyimpan informasi. 

Sayangnya, kemampuan tersebutlah yang kemudian membuat beberapa orang tua di luar sana menjadi "terlalu genit" terhadap kemajuan kemampuan anak. Dengan alasan mengeksplorasi potensi akademis anak, tanpa sadar anak-anak diajar semenjak dini untuk berkompetisi.

Bukan berarti bahwa kompetisi tidak penting. Tapi, bilamana kita paham kapan kompetisi kita ajarkan untuk anak-anak adalah hal yang berbeda.

Perlu kita sadari sebagai orang tua, bahwa sudut pandang permasalahan sebenarnya bukan hanya dari penyajian materi PR. 

Atau kita juga mencoba menerapkan berjuta tricks yang kadang tidak sesuai dengan kemampuan kognisi anak. Lah memangnya anak kita bahan percobaan? Cobaan hidup sudah cukup berat, Pakbapak, bukibuk, uncle, onti sekalian. 

Dilema tentang PR dan ujian sekolah ini juga berkaitan dengan pemahaman fase belajar anak. 

Pada umumnya anak-anak usia di bawah 9 tahun, seberapa sering dan seberapa banyak pun kita meminta mereka menghafal kalimat-kalimat dan atau rumus rumit kodifikasi bilangan, mereka akan menghafalkan. Memori semantik mereka akan menyimpan semua data tersebut. 

Mau membuktikan? Bila anak Anda sedang di bawah 9 tahun, mintalah mereka menghafal perkalian antara 1-10. Mereka akan menghafalkannya dengan cepat. Ndak perlu "otak tengah diaktifasikan" (btw, isu aktivasi otak tengah ini sih hoaks). Ndak perlu juga "otak genius". 

Balik lagi, kenapa anak-anak mempunyai kemampuan lebih untuk menyimpan memori daripada orang dewasa?

Pada umumnya, setiap anak dengan kondisi otak yang normal, mempunyai kapasitas neuroplasticity yang lebih tinggi daripada orang dewasa. 

Neuroplastisitas merupakan kemampuan otak untuk menerima informasi baru yang memungkinkan seseorang untuk mempunyai paradigma baru yang ia percaya memenuhi kebenaran. Dengan kemampuan ini maka seseorang dapat beradaptasi dengan lingkungan meskipun selalu ada hal-hal baru. 

Kemampuan neuroplasticity dipengaruhi pula oleh banyaknya dendrit --yaitu jari-jari akson--pada sel saraf dalam otak individu. Pada bayi dan anak lebih banyak kemungkinan untuk menumbuhkan dendrit tersebut daripada orang tua. Sehingga, anak lebih mudah untuk belajar hal-hal baru. Termasuk menghafal dan memaksimalkan memori implisit.

Lalu bagaimana cara belajar anak pada usia di bawah 8-9 tahun?

Menelusuri jelajah perkembangan otak pada anak, adalah sangat penting bagi kita mengenal jejak perkembangannya mulai dari semenjak janin dalam rahim sang ibu.

Tapi tunggu dulu. Seperti biasa, saya beri disclaimer. Tidak akan ada tips & tricks pada artikel ini. So, kalau mau berhenti menyimak sampai di sini atau langsung scroll bawah, ya monggo saja.

Next!

Sel-sel otak membentuk jaringannya semenjak janin ada dan bertumbuh dalam kandungan. Pada masa inilah otak individu mulai terbentuk. Sel-sel otak dengan 7-11 akson dalam setiap satu selnya, beserta dengan hormon-hormon saling bekerja sama dengan DNA individu membangun struktur otak individu.

Begitu pula dalam perjalanan pertumbuhan otak kita. Ketika anak secara fisik bertumbuh dari bayi lahir hingga mencapai dewasa, otak individu pada umumnya pun mengalami perkembangan. 

Pada anak-anak yang berusia di bawah 9 tahun, bagian otak yang sering teraktivasi adalah otak bermain. Inilah yang menjadi dasar perkembangan pembelajaran sosial mereka.

Apakah kita pernah melihat seorang anak balita sering memukul temannya? Perilaku tersebut seringkali dinilai sebagai kenakalan. Namun pada anak usia 2-3 tahun memukul bisa diartikan sebagai respon kegembiraan mereka. Bisa juga sebagai respon atas emosi-emosi lain yang dirasakannya.

Sesering apa kita melihat anak-anak yang gampang akur kembali usai berantem? Ya, mereka menganggap bahwa pertengkaran itu hanya bagian kecil dari kesemestaan permainan. Bukankah pada dasarnya kita adalah homo ludens? Yap. Manusia yang senang bermain.

Sebagai komparasi, pada sebuah tayangan video di kanal YouTube saya sempat menjumpai bagaimana anak-anak usia TK hingga SMA di Jepang menjalani masa belajar mereka. Sangat menarik saat melihat mereka bernyanyi saat belajar, bermain dan belajar berinteraksi dengan lingkungan. 

Bahkan belajar memahami kandungan dan manfaat nutrisi pada sayuran, buah, dan makanan melalui kyushoku. Kegiatan makan siang bersama semua anak setiap jam istirahat. Kegiatan ini dilakukan karena Pemerintah Jepang menghendaki adanya pemerataan gizi bagi seluruh anak didiknya.

Lihat bagaimana kompasianer Hennie Triana Oberst menuliskan pengalaman tentang seberapa banyak PR yang dapat diberikan kepada anak di Jerman. Betapa mengagumkan. 

Saya pun sepakat PR anak-anak mulai dari tingkat pra-sekolah hingga SMP ditiadakan.

Mengapa? Karena dengan adanya sistem penilaian PR maka anak-anak akan terlatih terbiasa berkompetisi. Bukan saling berkolaborasi.

Perlu kita ingat, bahwa keputusan anak-anak di bawah usia 21-22 tahun masih bersandar pada otak emosi. Karena otak rasional yang salah satu tugasnya adalah membuat keputusan belum terbentuk dengan sempurna.

Tahukah kita mengapa anak-anak remaja seringkali kita nilai "tidak sopan" ketika berada di jalan atau dalam menggunakan kendaraan/fasilitas umum? 

Ilustrasi anak-anak sekolah berlatih mengenal lingkungan mereka | via nymag.com
Ilustrasi anak-anak sekolah berlatih mengenal lingkungan mereka | via nymag.com

Ya, saya sendiri sering menjumpai anak-anak berseragam sekolah yang pura-pura tidak tahu, ketika seorang disabilitas membutuhkan kursi yang mereka duduki. Atau mereka yang tetap saja duduk, bahkan berhaha hihi saat ada lansia yang kesusahan berdiri karena kursi telah penuh terisi. Ughh, jengah juga saya. 

Tadinya, pada saat saya berdiri, saya abaikan mereka. Akan tetapi ketika saya melihat ada lansia yang harus bergelantungan bersama saya, saya langsung menegur anak-anak berseragam sekolah tersebut supaya mereka belajar berempati pada kepentingan publik. 

Belum lagi sering kita jumpai kegagalan kita dalam berkomunikasi. Kadang karena terlalu antusias kita menanggapi sebuah informasi -- tanpa babibu, naninu, cek dan ricek dulu-- langsung nimbrung berkomentar atau tergesa share di media sosial. 

Dari kisah tersebut, kita seringkali tidak menyadari bahwa sebenarnya sangat penting untuk melatih empati anak-anak semenjak mereka kecil. Karena cara belajar mereka adalah menggunakan otak emosi. 

Latihlah mereka membuang sampah pada tempatnya, ketuklah pintu kamar mereka sebelum masuk, mintalah izin terlebih dahulu sebelum melihat akun ananda, latihan menyapu, menata mainan atau kamarnya sendiri. Ya, kita dapat saja melakukan semua bersama mereka. 

Sesederhana itu? 

Cobalah dulu. Namanya juga latihan. Itu kita lakukan bukan hanya pada anak-anak lho yha. Karena kemampuan neuroplastisitas bekerja seumur hidup kita. Maka, tak ada salahnya untuk ikut belajar bersama anak-anak, bukan?

Nah, apakah PR masih menjadi satu-satunya tumpuan untuk membentuk karakter anak?

Kalau memang anak-anak senang dengan PR, apakah selama ini anak-anak berinisiatif untuk menyelesaikan PRnya sendiri atau harus menunggu teriakan komando bahkan bantuan khusus dari orangtua? 

Mungkin memang PR bisa menjadi alat bagi anak-anak berlatih self dicipline. Namun nampaknya kondisi tersebut hanya berlaku bagi anak-anak dengan self learning yang tinggi. 

Sederhananya, disiplin akan lebih gampang terbentuk pada anak yang sudah terlatih mandiri. Dalam hal ini mandiri mengerjakan PR.

Padahal kita semua tahu, dibutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk berlatih. Tak kurang pula kerjasama kuat penuh empati dari orangtua dan lingkungan. 

Hmm, terkesan rumit, terlalu teoritis, dan sudah terlampau mainstream. Iya apa iyaaa? Hehehe.

Sebenarnya ndak perlu ndakik-ndakik memenjarakan anak dengan bertubi-tubi ujaran "aturan" (yang menurut kita baik) hanya untuk mendisiplinkan mereka. Ndak percaya? 

Baiklah kita bahas soal disiplin tanpa banyak ujaran aturan di edisi ke depan (kalau saja saya tidak lupa laman saya sendiri, xixixi).

Oh yha, bila boleh saya usul, ujian dan test sekolah dapat dimulai sekitar anak berusia 8-9 tahun. Ini pun tanpa sistem penilaian. Sementara, ujian nasional bisa dikenalkan pada siswa SMA. Bagaimana menurut Anda? 

Salam sehat, salam sadar

Penulis

Sumber: 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun