Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Ternyata Empati Letaknya Ada di Otak Kita? Coba Cek, Yuk!

13 September 2022   10:39 Diperbarui: 16 September 2022   21:43 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak sedang berinteraksi secara sosial | via unsplash.com @mi pham

Halo, Parents bertemu saya lagi!

Bagaimana kabarnya? Masih berkutat dengan hebohnya anak-anak? Atau usilnya sang kakak pada adik? Masih diributkan dengan segala urusan sekolah, test dan "bla bla bla soal si kecil" yang lain?

Hmm, saya sungguh salut kepada Anda semua yang terus-menerus berjuang mendampingi tumbuh kembang anak-anak kita.

Let's talk about nurturing. Yaps, saya mohon izin kali ini saya menggunakan istilah nurture. 

Kenapa? Saya lebih sepakat dengan pemahaman bahwa pengasuhan bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua si anak. Pengasuhan merupakan tanggung jawab kita bersama. 

Bukankah kita adalah makhluk sosial yang hidup berkelompok? Kita saling bergantung antara satu dengan yang lain, bukan?

Dalam hal makan mie instan, misalnya. Saya masih butuh toko kelontong sebelah sebagai distributor mie instan.  Terlebih soal mengasuh anak. Sudah barang tentu kita membutuhkan orang lain dan seluruh komunitas dalam lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak.

Wokay, tanpa basa basi markinjut, mari kita lanjuuut.

So, nurturing atau pengasuhan bukan hanya dimulai pada saat bayi lahir. Dalam pemaknaan yang lebih luas, beberapa ahli pediatrik meyakini bahwa proses pengasuhan anak dimulai dari sejak janin masih dalam kandungan sang ibu.

Perilaku dan kecerdasan seseorang didapat melalui proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu. Baik selagi bayi berada di dalam maupun di luar kandungan.

Neuro plasticity atau kemampuan otak membangun dirinya sendiri merupakan salah satu alasan mengapa kita sebagai orang tua dituntut memahami bagaimana pola pikir anak pada masa tumbuh kembangnya.

Pengalaman-pengalaman yang diserap oleh anak akan disimpan dalam memori jangka panjang mereka.

Apakah Orang Tua Cerdas Anaknya Pasti Ikutan Cerdas?

Kemampuan kognisi setiap anak-anak berbeda satu dengan yang lain. Mengingat bahwa kemampuan perkembangan kognisi anak sangat berkaitan dengan gen, maka akan sangat penting bagi orang tua untuk mengetahui kemampuan anak semenjak dini.

Ini pula yang menjadi alasan mengapa sangat penting melakukan pembiasaan pola perilaku empati semenjak dini. Anak-anak mulai diperkenalkan pada emosi mereka. Apa itu marah, sedih, takut, dan emosi lainnya.

Sementara, pendidikan di negeri kita masih mengedepankan pengembangan kemampuan kognitif anak yang didapat dari memori eksplisit semantik. Yaitu memori yang didapat dengan cara menghafal. 

Standar ukuran kecerdasan inilah yang menarik minat orang tua milenial berbondong mulai belajar mengenai mekanisme kognisi anak.

Seorang pakar biologi evolusioner Richard Dawkins dalam bukunya yang kadung meroket,  "The Selfish Gene" menyatakan bahwa DNA dianggap sebagai suatu instruksi tentang bagaimana tubuh manusia dibentuk. 

DNA berisi tentang segala informasi mengenai diri kita. Tentu saja semua instruksi tersebut dinotifikasikan dalam aksara nukleutida tertentu. 

Informasi tentang diri kita? Yaktul! Informasi tentang ciri fisik kita, sifat dan karakter kita, termasuk tingkat kemampuan intelektual kita.

Wah bisa diretas hacker apa engga ya? Hehehehe...kita tunggu saja temuan terbaru Artificial Intelegence. Ini pun bila teknologi mampu menemukan pola acak kodifikasi gen.

Wokay. Artinya, dalam hal ini sifat dan kecerdasan intelektual seseorang diturunkan secara genetis. Iyups. Tepat, Parents. 

Namun meski demikian, kemampuan seseorang tidak secara otomatis menurun setengah dari ayah dan setengah dari ibu. (Wew..ndak gitu juga cara mainnya, Bapak, Ibuk, hehehe)

Kecerdasan intelektual seseorang didapatkan secara genetis melalui warisan acak gen dari generasi terdahulu kepada generasi sekarang. 

Seperti halnya peruntungan? Begitulah cara kerja pewarisan kecerdasan melalui gen. Seorang anak bisa saja menjadi jenius dalam satu bidang tertentu atau bisa jadi ia memiliki kemampuan intelektual di bawah rerata. Atau bisa jadi ia adalah anak yang multitalented. Semua diwariskan secara acak.

Jadi bila Anda seorang fisikawan mempunyai istri atau suami seorang perupa, bukan berarti anak Anda secara otomatis akan menjadi perupa atau fisikawan juga. Nope!

Lalu, standar apa yang mungkin masih relevan yang dapat kita pakai untuk mengukur kecerdasan seseorang?

Mengingat pula bahwa kecerdasan yang didapat dari memori eksplisit semantik diwarisi secara genetis dari pendahulu kita. Selain itu, ada faktor lain yang juga mempengaruhi perkembangan otak seseorang.

Bisa saja terjadi infeksi otak saat dalam kandungan, atau adanya lonjakan hormonal (baik naik maupun turun) pada saat ibu hamil, dan yang tak kalah penting adalah kecukupan makanan dan asupan gizi pada saat dalam kandungan.

Okay, now. Sekali lagi, kalau demikian apa yang dapat dijadikan sebagai standar umum untuk mengukur kecerdasan anak?

Manusia sebagai makhluk sosial sudah pasti tidak dapat hidup sendiri. Bukankah setiap kita membutuhkan interaksi dengan sekeliling kita? 

Kebutuhan inilah yang pada saat terakhir mulai tergerus oleh badai individualisme. Sebagai contohnya, coba kita hitung seberapa banyak kompetisi dalam hidup keseharian kita. Pasti lebih banyak daripada kolaborasi, bukan?

Karena itu, wajarlah bila cerdas kemudian dimaknai sebagai seberapa besar kemampuan kita bertahan hidup dalam lingkungan kita. Konsep inilah yang kemudian mendasari pengasuhan yang dinilai sebagai cara untuk mempersiapkan anak supaya ia mampu menyadari fungsinya dalam lingkungan.

Sama halnya pada saat anak belajar berjalan, makan, berbicara, semua dilakukan tanpa harus berpikir terlebih dahulu. Ini disebabkan karena semua yang kita lakukan diolah dalam memori implisit kita. Sehingga setiap saat kita melakukan hal yang sama, kita sedang melakukan recalling memori.

Menggunakan cara kerja yang sama, orang tua diharapkan mempunyai kemampuan supaya lebih banyak menggunakan  peristiwa "baru" bagi anak sebagai pengalaman dalam pembelajaran mereka.

Ternyata Empati Berkaitan dengan Cara Kerja Otak.

Dunia sains telah berkembang sedemikian pesat. Ya, walaupun hanya segelintir orang saja yang mau peduli. Hehehe

Seperti sekitar akhir periode tahun 1900-an para ahli saraf kognitif melakukan studi pada hewan primata maupun pengerat guna mempelajari lebih mendalam mengenai gerak motorik pada hewan-hewan tersebut. Salah satu periset yang juga seorang ahli neuropsikologi adalah Giacomo Rizzolati. 

Studi yang pada mulanya dilakukan atas kera-kera makaka hanya ditujukan untuk meneliti lebih jauh mengenai gerak motorik pada hewan primata. Namun ternyata melalui riset ini Rizzolati --secara tidak sengaja-- menemukan sebuah sistem yang kemudian disebut sebagai sistem neuron cermin pada beberapa bagian anatomi otak kera.

Riset yang ditulis pada jurnal Annual Review of Neuroscience (Februari 2004) kemudian muncul satu pemahaman baru mengenai fungsi sistem neuron cermin pada manusia. Yang mana, sistem ini memberikan gambaran mengenai empati dan imitasi.

Apakah sistem ini ada pada struktur otak manusia? Ada beberapa bagian dalam area otak manusia melalui riset menggunakan functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) dijumpai sistem neuron cermin. 

Dengan mekanisme yang sama, sistem ini memungkinkan manusia belajar melalui pengamatan apa yang dilakukan oleh orang lain. Pula membuat asosiasi terhadap emosi orang lain, serta membuat prediksi mengenai apa yang dirasakan oleh orang lain. 

Ditemukannya sistem neuron ini pula yang kemudian memicu para ahli saraf hingga kini masih melakukan riset demi penguatan temuan ini. Meski menghadapi beragam konfrontasi, namun temuan studi ini pada waktu terakhir ini memberikan pencerahan dalam dunia psikokognitif. 

Tunggu dulu, lantas apa hubungannya dengan parenting? 

Dengan menyadari bahwa empati ternyata ada dalam tubuh kita, setiap orang tua mempunyai kesempatan untuk belajar sekaligus memberikan contoh kepada anak tentang empati. Bagaimana kita dapat mawas diri terhadap setiap respon yang kita ambil.

Konsep dasar pada sistem neuron ini adalah learning by imitation. Banyak ahli neurologi meyakini bahwa semakin banyak mirror neuron dalam otak kita maka semakin besar kemungkinan kita menjadi altruis.

Kita dapat merasakan sensasi takut, marah, jengkel, atau sedih saat kita membaca berita kasus kriminal. Kita merasakan kesedihan atas tragedi yang menimpa keluarga Brigadir J. 

Kita dapat menangis, merasakan sedih yang sama ketika melihat Dodo berpisah dengan putrinya dalam film epik Miracle in Cell No.7 (btw, ini film paten banget kerennya, baik versi Korea maupun Indonesia. Ups ngegibah dah). Seperti itulah kerja sistem neuron cermin ini. 

Semakin kita mampu melambatkan kerja otak emosi dengan mengambil jeda sesaat, maka kita dapat membuat keputusan tepat sebagai respon atas emosi yang dirasakan anak.

Jadi, bagaimana? Masih mau belajar bersama anak-anak berlatih empati bersama mereka. Mari kita belajar bertumbuh bersama-sama.

Setiap anak-anak istimewa dengan setiap karakter mereka masing-masing.

Salam sehat, salam sadar

Penulis

*Sumber:

1. The Selfish Gene, 2017, Richard Dawkins, Gramedia.

2. The Smart Parenting Revolution: Temukan dan Lesatkan Kelebihanmu, Anakku!, 2007, Dawna Markova, Serambi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun