Neuro plasticity atau kemampuan otak membangun dirinya sendiri merupakan salah satu alasan mengapa kita sebagai orang tua dituntut memahami bagaimana pola pikir anak pada masa tumbuh kembangnya.
Pengalaman-pengalaman yang diserap oleh anak akan disimpan dalam memori jangka panjang mereka.
Apakah Orang Tua Cerdas Anaknya Pasti Ikutan Cerdas?
Kemampuan kognisi setiap anak-anak berbeda satu dengan yang lain. Mengingat bahwa kemampuan perkembangan kognisi anak sangat berkaitan dengan gen, maka akan sangat penting bagi orang tua untuk mengetahui kemampuan anak semenjak dini.
Ini pula yang menjadi alasan mengapa sangat penting melakukan pembiasaan pola perilaku empati semenjak dini. Anak-anak mulai diperkenalkan pada emosi mereka. Apa itu marah, sedih, takut, dan emosi lainnya.
Sementara, pendidikan di negeri kita masih mengedepankan pengembangan kemampuan kognitif anak yang didapat dari memori eksplisit semantik. Yaitu memori yang didapat dengan cara menghafal.Â
Standar ukuran kecerdasan inilah yang menarik minat orang tua milenial berbondong mulai belajar mengenai mekanisme kognisi anak.
Seorang pakar biologi evolusioner Richard Dawkins dalam bukunya yang kadung meroket, Â "The Selfish Gene" menyatakan bahwa DNA dianggap sebagai suatu instruksi tentang bagaimana tubuh manusia dibentuk.Â
DNA berisi tentang segala informasi mengenai diri kita. Tentu saja semua instruksi tersebut dinotifikasikan dalam aksara nukleutida tertentu.Â
Informasi tentang diri kita? Yaktul! Informasi tentang ciri fisik kita, sifat dan karakter kita, termasuk tingkat kemampuan intelektual kita.
Wah bisa diretas hacker apa engga ya? Hehehehe...kita tunggu saja temuan terbaru Artificial Intelegence. Ini pun bila teknologi mampu menemukan pola acak kodifikasi gen.
Wokay. Artinya, dalam hal ini sifat dan kecerdasan intelektual seseorang diturunkan secara genetis. Iyups. Tepat, Parents.Â