Namun meski demikian, kemampuan seseorang tidak secara otomatis menurun setengah dari ayah dan setengah dari ibu. (Wew..ndak gitu juga cara mainnya, Bapak, Ibuk, hehehe)
Kecerdasan intelektual seseorang didapatkan secara genetis melalui warisan acak gen dari generasi terdahulu kepada generasi sekarang.Â
Seperti halnya peruntungan? Begitulah cara kerja pewarisan kecerdasan melalui gen. Seorang anak bisa saja menjadi jenius dalam satu bidang tertentu atau bisa jadi ia memiliki kemampuan intelektual di bawah rerata. Atau bisa jadi ia adalah anak yang multitalented. Semua diwariskan secara acak.
Jadi bila Anda seorang fisikawan mempunyai istri atau suami seorang perupa, bukan berarti anak Anda secara otomatis akan menjadi perupa atau fisikawan juga. Nope!
Lalu, standar apa yang mungkin masih relevan yang dapat kita pakai untuk mengukur kecerdasan seseorang?
Mengingat pula bahwa kecerdasan yang didapat dari memori eksplisit semantik diwarisi secara genetis dari pendahulu kita. Selain itu, ada faktor lain yang juga mempengaruhi perkembangan otak seseorang.
Bisa saja terjadi infeksi otak saat dalam kandungan, atau adanya lonjakan hormonal (baik naik maupun turun) pada saat ibu hamil, dan yang tak kalah penting adalah kecukupan makanan dan asupan gizi pada saat dalam kandungan.
Okay, now. Sekali lagi, kalau demikian apa yang dapat dijadikan sebagai standar umum untuk mengukur kecerdasan anak?
Manusia sebagai makhluk sosial sudah pasti tidak dapat hidup sendiri. Bukankah setiap kita membutuhkan interaksi dengan sekeliling kita?Â
Kebutuhan inilah yang pada saat terakhir mulai tergerus oleh badai individualisme. Sebagai contohnya, coba kita hitung seberapa banyak kompetisi dalam hidup keseharian kita. Pasti lebih banyak daripada kolaborasi, bukan?
Karena itu, wajarlah bila cerdas kemudian dimaknai sebagai seberapa besar kemampuan kita bertahan hidup dalam lingkungan kita. Konsep inilah yang kemudian mendasari pengasuhan yang dinilai sebagai cara untuk mempersiapkan anak supaya ia mampu menyadari fungsinya dalam lingkungan.