Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Siapkah Anak Anda Berkolaborasi dalam Dunia yang Kompetitif?

23 Juli 2022   07:06 Diperbarui: 23 Juli 2022   16:12 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi via unsplash

Mata gadis lulusan SMA itu terlihat sembab. Tangan yang tadinya dingin kini mulai menghangat. Namun urai hasil SBMPTN mengurai tangisnya yang belum jua berhenti. 

"Aku ga lolos SBMPTN," terdengar lirih suaranya ditelan isak tangis dan pundak yang pelan berguncang. "Aku ga mau jurusan lain. Pokoknya aku mau jurusan psikologi."

Hai, hai, Hai... 

Weeee! Udah lama ya saya tidak menyapa, Kawan. Wah, gimana? Masih pada rajin dan bersemangat, bukan? Baikla, sudah saatnya  yang jauh mendekat, yang dekat merapat. Siapa tahu yang akan Anda baca ini bermanfaat. 

Wokay. Langsung saja, ya. 

Pernahkah kita menghadapi kisah seperti lead saya di atas? Kisah tentang anak-anak yang gagal dalam mencapai targetnya. Lantas dilanjutkan dengan rengekan tak mau melanjutkan lagi proses perjuangannya. 

Atau kisah tentang seorang anak kecil yang menangis karena gagal mendapatkan hadiah yang sama seperti temannya dalam sebuah ajang lomba? 

Apa yang terjadi dengan anak-anak tersebut? Terlalu manja? Atau kurang disiplin? Atau jejangan ada pola pengasuhan yang salah semenjak bayi? 

Yuk kita sekilidi alias selidiki apa yang ada pada otak dalam tempurung kelapa kepala kita. Jenk jenk jenk...

Pada usia sekitar 5 tahun, anak-anak cenderung berlatih bergumul dengan pengenalan emosi mereka. Termasuk dengan segala peraturan yang berlaku di sekitar mereka. 

Di tengah sibuknya anak-anak belajar mengenali emosi, mereka pun harus mengenal apa itu keadilan. Adil sesuai dengan peraturan yang mereka kenali.

Sebagai seorang pakar psikologi yang bergelut dalam masalah keluarga dan anak, Sally Beville Hunter PhD dari University of Tennessee, Amerika  melakukan sebuah studi. Dalam riset tersebut ia melibatkan anak-anak pada usia 5 tahun. 

Dari riset tersebut ditemukan fakta bahwa bagi anak-anak usia 3-5 tahun, peraturan bukan hanya sebagai alat pengatur ketaatan. Peraturan, oleh anak-anak dipandang sebagai sebuah objek yang dapat mendatangkan kegembiraan atau kesedihan.

Hal ini berkaitan erat dengan perkembangan struktur otak anak dalam rentang usia 3-6 tahun masih belum sempurna. Bagian otak yang berfungsi sebagai pengambil keputusan, yaitu neokorteks sedang mengalami perkembangan.

Yang perlu menjadi catatan penting bahwa pada usia inilah anak-anak mulai belajar bersosialisasi. 

Bagaimana ia dengan cepat menduplikasi; meniru setiap perkataan maupun tingkah laku orang-orang di sekitarnya.

Maka bukan hal yang aneh apabila seorang anak pada usia tersebut gagal dalam memenuhi sebuah peraturan maka ia akan bersedih. 

Sejurus dengan Hunter, Chintya E. Johnson dari Carolina State University mengembangkan sebuah riset tentang arti kompetisi pada anak-anak usia 5 tahun.

Dari riset tersebut didapati bahwa sebenarnya anak-anak ingin mendapatkan kemenangan dan lebih unggul dari kompetitor mereka yang adalah teman-teman mereka sendiri.

Uniknya, didapati pula ada beberapa anak yang akan merasa sangat senang bila mereka menang. Tetapi bila mereka kalah, mereka tidak akan berminat lagi dalam berkompetisi.

Kompetisi Indah dalam Sebuah Kolaborasi

Sekitar tahun 1800-an para pemerhati dan para ahli psikologi telah menyarankan bahwa kerja sama atau kolaborasi merupakan wujud perilaku yang lebih menguntungkan. Bentuk kompetisi dalam kelompok justru akan membuat individu semakin rentan jatuh dalam upaya mempertahankan hidup.

Satu hal yang menarik, adalah bahwa pada usia 3-6 tahun ini pula, anak-anak belajar tentang rasa adil dan tidak adil. Nah, tentu saja pengalaman meregulasi emosi semenjak dini akan sangat berpengaruh pada perkembangan pergaulan anak.

Tentu bila kita berkaca pada iklim pengasuhan di negara-negara nordik, mereka menempatkan pengasuhan sebagai tanggungjawab bersama. Tanggung jawab orang tua dan lingkungan.

Sistem kolaborasi lebih diperkenalkan secara luas. Sistem pendidikan di negara-negara yang diakui sebagai negara bermasyarakat dengan tingkat kebahagiaan tinggi tersebut justru membiasakan anak bersosialisasi semenjak dini.

Pola pengasuhan tersebutlah yang kemudian mulai dilirik oleh negara lain untuk mengembangkan karakter anak dalam perspektif kecerdasan sosial. Bahwa individu akan lebih cerdas untuk bertahan hidup bila mereka mampu bertahan dalam sebuah koloni. 

Namun kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita masih menjumpai anak-anak diperhadapkan pada kompetisi. Kondisi ini telah ada semenjak mereka masih berusia dini. Bahkan tidak jarang anak-anak berkompetisi dengan saudaranya sendiri. Benar atau betul?

Seberapa banyak dari kita pun disuguhi fakta bagaimana ujian di sekolah masih menjadi rujukan prestasi terbaik anak. Situasi ini merupakan faktor yang memicu anak supaya mempunyai pengalaman "lebih eksis" dibanding dengan yang lain. Bukankah kita juga sering menjumpai bagaimana anak-anak diperkenalkan dengan beragam media sosial yang menampilkan anak-anak lain dengan kemampuan glowing mereka.

Faktor inilah yang seringkali mendorong seorang anak untuk berkompetisi menunjukkan bahwa mereka pun mampu melakukan hal yang sama seperti anak lain.

Apakah yang kita lakukan tatkala kita berada ada sebuah lingkungan anak yang kompetitif? Apakah lantas kita menjauhkan anak-anak dari dunia yang pada kenyataannya selalu penuh ragam kompetisi ini? Ga lucu juga donk, yha.

Lalu apakah kompetisi adalah salah? Well, Parents. Ini bukan masalah salah atau benar. Akan tetapi, bagaimana cara pandang kita terhadap kompetisi akan sangat mempengaruhi pola pikir anak-anak.

Pengasuhan memberikan dampak kepada anak, entah itu negatif atau positif. Terletak pada cara kita menunjukkan kepada anak baik secara verbal maupun lewat perilaku sehari-hari. 

Pada umumnya, anak-anak yang cenderung overly competitive akan menunjukkan sikap yang kasar terhadap teman mereka. Tidak jarang pula ada yang menganggap mereka adalah yang paling charming, paling menarik, paling glowing diantara semua rekannya.

Bagi anak-anak yang memiliki kecenderungan overly competitive, mereka akan menunjukkan sikap merajuk, tantrum, tidak mau melanjutkan prosesnya.

Sedangkan bila anak yang hypercompetitive --biasa juga disebut overly competitive-- mengalami kegagalan dalam sebuah kompetisi, maka anak-anak tersebut cenderung menyalahkan dirinya sendiri. Memberikan persepsi negatif atas dirinya sendiri.

Bagaimana kita dapat menyikapinya?

Saya sangat senang ketika anak-anak memasuki kelas baru, sekolah baru, tingkatan kelas yang baru, atau mereka yang bahkan baru belajar mengenal sistem belajar.

Pertanyaan yang saya sukai adalah tentang seberapa banyak teman yang mereka punyai selama mereka masuk sekolah atau kelas baru mereka. 

Biasanya pertanyaan ini akan memantik mereka untuk menceritakan pengalaman mereka berinteraksi dengan lingkungan baru mereka.

Saya hanya akan menunjukkan beberapa poin yang mungkin bisa parents semua coba lakukan dalam pengasuhan kepada anak-anak yang overly competitive. Namun, tidak menutup kemungkinan bisa juga diterapkan bagi anak-anak secara umum.

#Satu, selalu saja komunikasikan kepada anak bahwa proses lebih penting dari pada hasil. Sesuaikan bahasa kita dengan bahasa anak yang sederhana. Tidak usah bertele-tele. Tidak usah ndakik-ndakik, seperti membacakan pasal-pasal dalam KUHP.

Tanamkan pengertian bahwa mereka bisa mendapat teman baru dalam lingkungan yang kompetitif. Gambarkan betapa menyenangkan bagaimana mereka belajar hal-hal baru dari teman mereka, atau mungkin membantu teman bila dalam kesulitan. 

Adalah penting menanamkan pemahaman kepada anak bahwa kerja sama tim dan berkolaborasi jauh lebih menguntungkan dari pada one man show. Pemahaman dan pemberian contoh perilaku dalam kehidupan sehari-hari akan membuat anak-anak tidak merasa belajar di bawah tekanan.

#Dua, memberi pengertian bahwa gagal bukanlah berarti berhenti berproses. Menanamkan rasa percaya dan self esteem dalam diri anak dapat dimulai dengan membiasakan self love. Ketika anak mengalami kegagalan, ajarkan mereka untuk berterima kasih kepada kompetitor mereka, memberi ucapan selamat, belajar bersyukur dengan kemampuan mereka, belajar menerima diri sendiri seapa adanya mereka, dan belajar bertumbuh dari kegagalan mereka.

Kadang, dalam mengerjakan soal matematika seringkali saya membiarkan anak-anak mencoba menjawab soal tersebut. Ketika jawaban mereka salah, saya pun masih membiarkan mereka mencari tahu bagian mana yang salah, dan hanya menghapus pada bagian yang salah saja.

Kebiasaan ini akan membantu mereka menerima dan memahami kegagalan sebagai pengalaman baru yang mereka terima. Sebagai bagian dari proses menuju ke tujuan keberhasilan.

Dan saat mereka berhasil, tentu saja itu menjadi momentum bagi kami untuk saling berbagi pengalaman yang kami nikmati bersama. 

#Tiga, membantu mereka untuk meregulasi emosi mereka. Adalah fakta yang harus kita sadari bahwa dalam perkembangan kognisi mereka, anak-anak masih bersandar pada sistem limbik, yaitu bagian dari otak emosi. 

Hingga usia 12 tahun, anak-anak pada umumnya belum sepenuhnya mampu memahami emosinya. Perlu bantuan orang tua untuk meregulasi dan memvalidasi emosi mereka. 

Kita dan anak merasakan emosi yang sama. Bagaimana kita menyikapinya adalah hal yang tidak kalah penting dalam sebuah proses pengasuhan. Maka penting bagi kita dan anak membicarakan cara-cara untuk menanggulangi setiap emosi yang datang.

#Empat, hal yang tidak kalah penting adalah hindari memaksa anak menjadi pribadi lain. Biarkan mereka bersinar sebagai diri mereka sendiri.

Setiap kita mempunyai struktur otak yang berbeda satu dengan yang lain. Begitu uniknya sehingga menjadikan kita tidak seragam. Begitu pun anak-anak.

Biarkan saja mereka menjadi diri mereka. Nah, ini yang terkadang masih sulit kita terapkan pada anak-anak. Namun yang paling penting adalah bahwa peran nyata kita sebagai orang tua yang hadir saat anak-anak berada pada saat mereka dalam kesulitan.

Selamat berproses, selamat belajar bersama anak-anak.

Salam sehat, salam sadar.

Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun