Bagi anak-anak yang memiliki kecenderungan overly competitive, mereka akan menunjukkan sikap merajuk, tantrum, tidak mau melanjutkan prosesnya.
Sedangkan bila anak yang hypercompetitive --biasa juga disebut overly competitive-- mengalami kegagalan dalam sebuah kompetisi, maka anak-anak tersebut cenderung menyalahkan dirinya sendiri. Memberikan persepsi negatif atas dirinya sendiri.
Bagaimana kita dapat menyikapinya?
Saya sangat senang ketika anak-anak memasuki kelas baru, sekolah baru, tingkatan kelas yang baru, atau mereka yang bahkan baru belajar mengenal sistem belajar.
Pertanyaan yang saya sukai adalah tentang seberapa banyak teman yang mereka punyai selama mereka masuk sekolah atau kelas baru mereka.Â
Biasanya pertanyaan ini akan memantik mereka untuk menceritakan pengalaman mereka berinteraksi dengan lingkungan baru mereka.
Saya hanya akan menunjukkan beberapa poin yang mungkin bisa parents semua coba lakukan dalam pengasuhan kepada anak-anak yang overly competitive. Namun, tidak menutup kemungkinan bisa juga diterapkan bagi anak-anak secara umum.
#Satu, selalu saja komunikasikan kepada anak bahwa proses lebih penting dari pada hasil. Sesuaikan bahasa kita dengan bahasa anak yang sederhana. Tidak usah bertele-tele. Tidak usah ndakik-ndakik, seperti membacakan pasal-pasal dalam KUHP.
Tanamkan pengertian bahwa mereka bisa mendapat teman baru dalam lingkungan yang kompetitif. Gambarkan betapa menyenangkan bagaimana mereka belajar hal-hal baru dari teman mereka, atau mungkin membantu teman bila dalam kesulitan.Â
Adalah penting menanamkan pemahaman kepada anak bahwa kerja sama tim dan berkolaborasi jauh lebih menguntungkan dari pada one man show. Pemahaman dan pemberian contoh perilaku dalam kehidupan sehari-hari akan membuat anak-anak tidak merasa belajar di bawah tekanan.
#Dua, memberi pengertian bahwa gagal bukanlah berarti berhenti berproses. Menanamkan rasa percaya dan self esteem dalam diri anak dapat dimulai dengan membiasakan self love. Ketika anak mengalami kegagalan, ajarkan mereka untuk berterima kasih kepada kompetitor mereka, memberi ucapan selamat, belajar bersyukur dengan kemampuan mereka, belajar menerima diri sendiri seapa adanya mereka, dan belajar bertumbuh dari kegagalan mereka.
Kadang, dalam mengerjakan soal matematika seringkali saya membiarkan anak-anak mencoba menjawab soal tersebut. Ketika jawaban mereka salah, saya pun masih membiarkan mereka mencari tahu bagian mana yang salah, dan hanya menghapus pada bagian yang salah saja.