Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Parenting Model Sekarang Kurang Keras Mendisiplinkan Anak, Benarkah Demikian?

6 Juli 2022   10:07 Diperbarui: 6 Juli 2022   19:51 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: belajar menggunakan lajur pejalan kaki sebagai salah satu modul parenting | via unsplash @James X

"...anak dengan empati tinggi akan mempunyai kemampuan prososial tinggi dan mempunyai kepekaan terhadap pikiran dan perasaan orang lain." (Leanne C. Findlay) 

Waduh ternyata lama nian saya rehat dari dunia Parenting, yha. Hmm, untuk kali ini izinkan aksara dan kumpulan alenia saya mendatangi dunia maya Anda. 

Dalam artikel saya yang lalu, saya merinci 9 jenis kecerdasan menurut Teori Howard Gardner, seorang psikolog dari Universitas Harvard. Dua diantaranya adalah kecerdasan interpersonal dan intrapersonal. 

Apakah Saudara juga sudah membaca artikel saya yang di bawah ini?

Perkembangan kognitif anak bukan lagi hanya menyoal kecerdasan intelektual.  Melainkan juga menyinggung kecerdasan emosi, yang menopang kecerdasan berkelompok. 

Dalam beberapa artikel yang lalu, saya telah membahas topik kecerdasan emosi secara berurutan. Ya, karena ada begitu banyak hal penting yang secara koinsiden saya temukan dalam kehidupan sehari-hari menyoal dunia parenting. 

Parenting atau bisa juga kita sebut sebagai nurturing pada dasarnya bukan hanya menyoal bagaimana orang tua mendidik anak. Namun, lebih kepada bagaimana orang tua dan lingkungan mampu bertumbuh bersama, mempersiapkan anak mampu hidup berkelompok. 

Dari definisi nurturing (pengasuhan) yang saya ambil dari American Psychological Association, bukan hanya melibatkan parent(s) (orang tua) si anak. Lebih luas, nurturing kini menjadi isu penting dalam proses tumbuh kembang anak. Pola pengasuhan yang juga melibatkan lingkungan. 

Cara pandang masyarakat kita terhadap pengasuhan selama ini dibebankan pada pundak orang tua. Maka, adalah hal yang perlu diperhatikan pula bagaimana lingkungan di mana anak-anak bersosialisasi. Bahwa lingkungan secara totalitas ikut mendukung proses pertumbuhan anak secara holistik. 

Kerja sama yang baik dari lingkungan akan meringankan beban tanggung jawab pengasuhan terhadap anak. Kerja sama dan kolaborasi yang baik antara lingkungan dan orang tua, menjadi habitat ideal dalam proses tumbuh kembang anak. 

Anak bertumbuh seiring dengan perkembangan fisiologisnya. Dalam hal ini termasuk perkembangan struktur dan volume otak mereka. 

Apabila Intelligence Quotient (IQ) merupakan kecerdasan yang kita peroleh bak mendapat undian lotre, maka lain halnya dengan kecerdasan emosional. Emotional Intelligence dapat dilatih semenjak anak berusia dini. 

Empati Perlu Dilatih Seumur Hidup Kita

Bahwa semenjak lahir anak-anak mempunyai bakat empati adalah hal yang pernah dibuktikan secara empiris oleh banyak ahli dan pemerhati tumbuh kembang anak. Salah satunya adalah Martin L. Hoffman. 

Hoffman merupakan seorang ahli psikologi dari New York University. Berbagai riset yang beliau lakukan berfokus pada empati dan hubungannya dengan perkembangan moral. 

Dalam bukunya yang berjudul Empathy and Moral Development: Implication for Caring and Justice, Hoffman beranggapan bahwa proses empati memungkinkan seseorang memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku, dan mengalami emosi yang dipicu oleh orang lain. 

Okay. Sekarang pertanyaan saya, apakah kita pernah melihat seorang bayi yang menangis setelah mendengar bayi lain yang sedang menangis? Atau seorang bayi yang segera memegang kuat lengan orang tuanya ketika anak lain kesakitan saat terjatuh? Atau bayi yang ikut tertawa saat melihat orang lain tertawa? Pasti pernah dong. Iya ga? 

Apa yang diperlihatkan oleh reaksi bayi tersebut oleh banyak ahli dikatakan sebagai fakta bahwa empati pada dasarnya ada semenjak bayi lahir. Hanya saja empati membutuhkan proses pembelajaran seumur hidup seseorang. 

Izinkan saya membagikan sebuah cerita yang saya dapatkan dari perjalanan saya via angkutan umum. 

Suatu ketika, dalam sebuah bus saya melihat ada anak perempuan digandeng mamanya memasuki bus. Kemudian disusul sangat ayah yang menggendong si adik berumur kurang lebih 3-4 tahun. 

Karena seat dalam bus masih agak longgar, maka si adik duduk di antara sang kakak dan ayahnya. Sedang mama duduk berhadapan dengan si kecil. 

Tetiba terdengar celoteh protes dari si adek, "Mama, katanya tadi adek yang duluan masuk bus, kok tadi kakak duluan yang masuk?" 

"Ndak pa pa. Nanti kalau kita naik kereta, adik yang duluan masuk, ya." Si kecil masih terus bertanya demi mendengar janji ulang sang ibunda. Namun, pertanyaannya berubah pada seputar kereta api ternyata jauh lebih menarik perhatiannya daripada isu protesnya. 

Memang mungkin percakapan tersebut sering kita dengar dari anak-anak. Tetapi bagaimana si anak kecil ini tidak lantas tantrum adalah hal yang menarik. 

Saya juga tertarik dengan apa yang sedang dilakukan oleh sepasang orang tua tersebut. Mereka lebih memilih mengajak anak-anaknya berkeliling kota menggunakan angkutan umum. 

Mengajak anak untuk sesekali menikmati perjalanan via angkutan umum adalah simulasi empati yang sangat dianjurkan. Di sini, anak-anak akan banyak belajar. Mereka akan melihat bagaimana caranya menghargai penumpang disabilitas, atau yang lebih tua, atau ibu-ibu hamil. 

Anak-anak juga akan sangat menikmati ketika mereka kita ajak berjalan pagi. Pengalaman seru baik interaksi dengan  orang lain maupun lingkungan di sekitar akan mengajar mereka terbiasa melihat perbedaan dan bagaimana menyikapinya dengan bijaksana. 

Anak-anak juga akan terbiasa untuk mengantri saat menyeberang jalan. Belajar menghargai pengguna lain di jalan. Dari siapa? Dari kita. Bukankah anak-anak suka sekali menduplikasi orang-orang di sekitar mereka? 

Belajar berempati dapat pula kita terapkan pada saat di dalam rumah. Yaitu dengan membiasakan anak-anak makan di meja makan semenjak dini. Membiasakan belajar di meja atau ruang belajar, bermain di halaman atau ruang bermain. 

Dapat pula dengan belajar membuang sampah di tempat sampah. Kalau ga ada tempat sampah, ya dikantongin. Nanti kalau ketemu tempat sampah di tengah jalan, baru dibuang di tempat sampah. 

Dapat pula anak-anak kita ajarkan untuk mengetuk pintu kamar orang lain sebelum memasukinya. Bagaimana caranya? Ya kita sebagai orang tua harus memberi contoh dengan mengetuk kamar anak sebelum masuk. 

Bukan hanya lewat ajar verbal namun lebih banyak memberikan contoh. Sembari mengajar, bukankah kita juga dapat belajar membiasakan diri? 

Jangan menganggap enteng saat kita mendidik anak melakukan hal-hal sederhana di atas. Dari hal sederhana yang kita biasakan, anak-anak belajar membiasakan diri pula untuk memilah mana ruang pribadi dan mana yang menjadi kepentingan publik. 

Anak-anak akan belajar terbiasa memberi batasan yang jelas. Belajar menghargai kepentingan pribadi orang lain, sehingga anak-anak akan terbiasa tidak melanggar batasan pribadi orang lain. 

Pola Asuh Yang Berempati

Pola asuh secara indoktrinasi pada faktanya masih ketat dilakukan oleh orang tua di sekitar kita. Mengira bahwa pola indoktrinasi merupakan satu-satunya pola asuh paling tepat bagi anak. 

Dalam sebuah diskusi santai antara saya dengan rekan-rekan dalam satu teamwork, kami membincangkan pula tentang dunia kerja dan mentalitas anak jaman kiwari. 

Saya dikagetkan dengan pendapat salah satu rekan yang tetiba berpendapat, "Anak-anak sekarang perlu untuk kita gembleng dengan keras, supaya mereka siap terjun di dunia yang keras," Oh, tentu saja pernyataan ini kemudian menuai kritik dari rekan yang lain. 

Tentu kita pun sering mendengar pernyataan tersebut di atas, bukan? Apakah kalimat pernyataan tersebut didasarkan dari pemikiran rasional? Kemudian pemikiran tersebut kita putuskan sebagai tindakan kita? 

Pola pengasuhan yang beberapa tahun ini masif digaungkan, masih harus menghadapi pertentangan di masyarakat. Banyak yang berpendapat bahwa modul pengasuhan sekarang menjadikan orang tua terkesan "lemah" pada anak-anak. Sehingga mental anak tidak siap dalam menjalani kehidupan. 

Ada pula yang berpendapat bahwa pengasuhan jaman sekarang membuat anak tidak mengenal disiplin. Benarkah demikian? 

Dalam artikel saya sebelumnya kita telah belajar bagaimana kita seringkali menggunakan emosi sebagai dasar respon cepat kita. 

Betapa sering kita dapati bahwa cepatnya otak emosi, amigdala kita lebih tepatnya, memegang peranan pertama bahkan sebelum neokorteks atau pre frontal korteks kita membuat keputusan logis. 

Hal yang sama terjadi pada orang tua yang kurang dapat mengenali emosi mereka sendiri. Alih-alih mengenali emosi marah saat berteriak kepada anak yang membuat kita jengkel. Namun seringkali kita sebagai orang tua mencari pembenaran bahwa yang kita lakukan bernilai benar. Sudah seharusnya seperti itu. 

Well, iya atau iya? Coba kita cermati, apakah benar bahwa sesungguhnya kita sedang mencari pembenaran setelah kita mengurai emosi marah kepada anak kita? 

Coba kita bandingkan dengan kisah saya. Apa pendapat kita bila melihat kecelakaan di jalan? Atau ketika kita mendengar berita duka atas meninggalnya orang terdekat kita? Sedih, bukan? Nah, setelah sedih barulah kita mencari alasan logis mengapa kita bersedih. Bagaimana? Iya, atau iya? 

Proses yang sama terjadi ketika kita mencoba mencari pembenaran atas emosi marah kita kepada anak, sebagai cara mendidik mereka di dunia yang "keras".

Satu hal yang ingin saya bagikan bahwa apa pun bentuk pola asuh kita, baik dengan perilaku keras maupun dengan belajar empati bersama anak-anak, semua akan terduplikasi dengan baik dalam memori anak. 

Dalam usia dini, kognisi anak masih berada pada fase berpikir konkret dan akan beranjak pada fase abstrak pada akhir usia dini (sekitar umur 12 tahun). 

Makdarit, maka dari itu, Saudaraku semua. Pada anak usia dini, anak tidak dapat mengembangkan empati sesuai dengan perspektif mereka hingga mereka mencapai masa akhir usia dini (sekitar usia 12 tahun). 

So, bukan hal yang mengherankan bila anak-anak sangat mudah menduplikasi pemikiran dan tingkah laku, termasuk empati dari orang-orang di sekitarnya. 

Empati memungkinkan individu untuk memiliki kecerdasan interpersonal. Yaitu, kemampuan seseorang memahami perasaan dan pikiran orang lain dalam bersosialisasi. 

Seperti studi yang dilakukan oleh Leanne C. Findlay pada tahun 2006 yang lalu atas 136 responden anak-anak. Mulai dari anak-anak usia TK hingga kelas 1 SD di Kanada. 

Riset tersebut saya sajikan dari meja dapur psycnet.apa.org. Studi Findlay tersebut mengungkapkan bahwa anak dengan empati tinggi akan mempunyai kemampuan prososial tinggi dan mempunyai kepekaan terhadap pikiran dan perasaan orang lain. 

Sudahkah kita belajar membiasakan diri berempati hari ini? 

Salam sehat, salam sadar

Penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun