Begitulah kita yang ingin mendapatkan kepastian. Manusia pada umumnya ingin merasa nyaman dan aman. Berada dalam kondisi yang pasti.Â
Ketika kita berjumpa apa yang tidak pasti, kita lebih sering untuk menghindari. Namun, jika pun tak mampu hindari, maka akan timbul pertanyaan tentang ketidakpastian tersebut.Â
Ada yang berselingkuh dengan dalih sedang dalam puber kedua. Atau karena si istri yang terlalu mengekang suami. Atau si istri sibuk kerja, lupa ngurus suami dan anak-anak. Wah, wah, wah... apa hubungannya? Nape bapak kaga ikut bantuin istri ngurus anak?Â
Sama seperti mas Aris yang selalu pintar; cerdas berbohong dan cepat tanggap untuk mengelak dari pertanyaan mbak Kinan, sang istri. Mas Aris kreatif siii; cerdas? Emmh, cerdas berbohong, kalee.Â
Beragam gagasan atau idealisme pun seringkali muncul dalam diri sendiri tentang cinta yang sekiranya menjadi bagian hidup kita.Â
Sudah barang tentu kita masing-masing mempunyai standar suksesi sebuah relasi, bukan?Â
Dari standar tersebut, kemudian muncul harapan bahwa kita adalah satu-satunya pihak yang dipercaya oleh pasangan kita.Â
Sehingga tak ayal sebagai pihak yang diselingkuhi akan merasa rendah diri. Bahkan tidak jarang timbul rasa gagal dan tidak berguna.Â
Perasaan tidak berharga ini muncul karena merasa kehilangan keyakinan bahwa ternyata dirinya bukan satu-satunya pribadi yang menjadi kepercayaan pasangan.Â
Lalu, apakah perselingkuhan adalah sebuah relasi yang hanya didasarkan atas alasan kausalitas pada hubungan utama?Â
Tidak jarang kita mendengar beragam alasan yang muncul baik dari pihak yang melakukan perselingkuhan maupun pihak lain di luar kasus perselingkuhan ini. Coba lihat contoh ujaran berikut.Â