Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cancel Culture Saipul Jamil: Mampukah Hentikan Pelecehan Seksual dan Kembali Peduli Penyintas Trauma?

8 September 2021   07:07 Diperbarui: 8 September 2021   10:58 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: rasa cemas, stres, bahkan depresi pada penyintas trauma | via unsplash @ priscilla du preez

"Your responses are normal reaction to abnormal events" (anonim)

Membaca kembali kasus perundungan dan pelecehan seksual yang hingga kini masih menjadi isu pelik di masyarakat, sempat membuat saya harus melakukan grounding lebih lama. Betapa tidak? 

Dua berita viral yang menggoncang norma dalam tatanan masyarakat, kembali mencuat, menggurat sebuah tuntutan hebat di antara masyarakat. Hingga petisi bertajuk cancel culture menjadi pilihan yang dirasa tepat. 

Faktor-faktor penting layaknya regulasi yang tidak bias substansi belum juga beranjak dari meja panjang legislator negeri. 

Ah, tapi kali ini saya tidak akan menguliti masalah regulasi. Mohon maaf, kalau Anda berkenan hadir, silakan kunjungi artikel sederhana saya yang satu ini... 

Baca : RUU PKS, Masuk Antrean Nomor Berapakah?

Meskipun telah mampir ke meja rembug Baleg, mampukah janin norma hukum yang satu ini --yang kemudian berubah judul dari RUU-PKS menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual--merupakan pertanda bahwa "obat pembasmi serangga" telah dipastikan ampuh membasmi penyakit sosial semacam pelecehan seksual? Entah. Mungkin deretan waktu sajalah yang mampu membuktikan. 

Sekali lagi, kali ini saya tidak berbincang menyoal yustisi negeri ini, mari kita bergeser sedikit ke arah hegemoni permasalahan sosial yang sedang viral terjadi. 

Artikel saya hari ini, sebenarnya lebih tepat bila saya persembahkan bagi mereka yang peduli pada korban perundungan dan pelecehan seksual, serta seluruh penyintas trauma yang berani mengambil langkah untuk speak up, berbicara di hadapan publik. Ketahuilah, kalian telah melakukan hal yang hebat. 

Mengulik Sedikit tentang Trauma

Trauma, menurut definisi dari American Psychological Association merupakan setiap pengalaman yang tidak nyaman, menimbulkan rasa takut, putus asa, hilang fokus, disosiasi, perasaan mengganggu dengan intensitas tinggi, sehingga mengakibatkan sikap, perilaku negatif seseorang, dan kinerja aspek lainnya. 

Dalam salah satu literasinya, Sigmund Freud pernah menyatakan bahwa trauma pada dasarnya adalah sebuah pengalaman helplessness, tanpa pertolongan, yang berasal dari dalam diri seseorang maupun dari kejadian di luar pribadi tersebut. 

Sebagian besar dari masyarakat mungkin sudah paham bahwa salah satu dampak dari aksi perundungan dan atau pelecehan seksual adalah trauma. 

Menilik dari helpguide.org sebenarnya ada 3 kategori situasi bagaimana sebuah peristiwa menjadi pemicu seseorang pada trauma. 

Trauma mungkin saja terjadi karena satu kali peristiwa yang membekas dalam ingatan. Misalnya kecelakaan, bencana alam, pelecehan seksual atau bisa juga kejadian masa kecil yang menimbulkan luka. 

Bukan hanya itu, trauma terpicu dari peristiwa yang on going, terus-menerus terjadi dalam durasi yang panjang. Seperti perundungan (baik pada ranah privat maupun pribadi), pengabaian terhadap anak, maupun KDRT. 

Meski ada pula trauma yang berasal dari sebuah kejadian yang datang hanya sekali namun tidak terduga, datang secara tiba-tiba dan mengejutkan seseorang. Seperti kematian seseorang yang dekat dengan kita, perpisahan dengan orang yang kita cintai, maupun perceraian. 

Meski demikian, penyebab trauma tidak harus dimulai dari perkara besar. Seperti misalnya saat kita tenggelam di kolam renang mampu menjadi pemicu aquaphobia. 

Seseorang yang sedang mengalami trauma, peristiwa pemicu datang bukan sebagai sebuah rangkaian peristiwa secara kronologis. Peristiwa atau kejadian tersebut datang begitu saja, just like flashback. Sekilas, dan terasa sebagai kejadian yang hadir pada masa kekinian. 

Bagi para penyintas trauma, kejadian tersebut begitu nyata. Bukan dari masa lalu, meskipun kejadian tersebut berasal dari masa lalu. 

Bila Anda penggemar drakor, pasti tidak asing bila saya menyebutkan judul, "It's Okay To Not Be Okay". 

Ya... Salah satu scene yang menarik perhatian saya adalah saat Mun Yeong, pemeran wanita, sang penulis tenar tersebut tetiba terbangun di tengah malam, histeris, seakan kejadian masa lalu yang membangunkannya dari tidur adalah benar-benar nyata. 

Pengalaman buruk dari peristiwa traumatis termanifestasi, salah satunya dalam gejala-gejala seperti flashback atau mimpi.

Apa yang Terjadi pada Seseorang Ketika Mengalami Trauma? 

Tahukah Anda apa yang terjadi ketika seseorang sedang dalam masa "kelam" trauma? Ada tiga hal penting yang ingin saya bagikan, supaya kita bersama belajar dari penyintas trauma. 

Pertama, seorang penyintas trauma akan selalu merasa waspada. Sistem kewaspadaan dalam tubuhnya akan bekerja secara terus-menerus, sehingga rasa takut, cemas, khawatir, berjaga-jaga, selalu ada dalam dirinya. 

Mengapa ini bisa terjadi? Amygdala, salah satu bagian otak yang bekerja bila ada stimulan yang datang sebagai ancaman, sehingga kita dapat mengambil keputusan untuk fight, flight, or freeze, bekerja begitu luar biasa. Bahkan sangat aktif. 

Tubuh fisik seseorang yang mengalami trauma akan terus-menerus bekerja sedemikian rupa supaya selalu berjaga-jaga.

Kedua. Pernahkah kita mendapati seseorang yang sedang mengalami trauma tetiba tidak mampu berkata-kata, atau mengekspresikan emosinya? 

Ya, ternyata respon penyintas trauma bukan saja menunjukkan kepanikan. Bahkan dalam beberapa kasus, penyintas trauma lebih memilih untuk diam. Baik diam karena ada perasaan takut dan malu yang teramat dalam, maupun diam karena tidak mampu lagi merasakan emosinya. Numb! 

Seorang korban pelecehan seksual maupun perudungan akan merasa lebih (ny)aman bila menekan perasaannya, menyembunyikan ketakutannya, dan mencoba melupakan apa yang telah terjadi di masa lalunya. Bayangkan saja seseorang yang tidak mampu merasakan emosi apa pun. Datar... 

Akan tetapi, siapa yang dapat melupakan sebuah kejadian yang menyakitkan? 

Dalam budaya masyarakat kita seringkali memandang korban pelecehan seksual dan atau perundungan adalah pihak yang "dipersalahkan". Coba perhatikan, seberapa sering kalimat berikut ini kita dengarkan, 

"Udahlah, lupain aja. Ga usah dipikir."

"Makanya, jadi perempuan itu mustinya bisa jaga diri, biar engga dilecehin."

Seakan korban adalah pihak yang harus menderita, baik luka fisik maupun batin, harus dengan legowo (oh, apakah ini kata yang pantas?) untuk membiasakan diri, meniadakan emosi, hingga mati emosi, dengan kejadian kelam yang dialaminya. 

Kasus pelecehan seksual Saipul Jamil dan perundungan yang melibatkan beberapa oknum KPI --yang telah dibebastugaskan-- merupakan dua contoh dari sekian kasus terlapor maupun tidak, di mana tersirat fakta bahwa korban penyintas belum mendapatkan ranah perlindungan yang nyaman. Bahkan, menyisakan trauma panjang yang tidak mudah disembuhkan. 

Biarlah waktu yang menyembuhkan? 

Ya, kita masing-masing mempunyai daya self healing; meski dengan cara yang berbeda untuk mengobati luka batin. Tetapi bila bukan kita yang peduli pada para penyintas trauma, siapa lagi yang ada untuk mereka? 

Para penyintas pelecahan seksual dan atau perundungan membutuhkan circle, lingkungan yang mendukung proses penyembuhan trauma. Seperti misalnya, endorong korban menemui ahli terapi yang dapat dipercaya, dalam hal ini psikiater atau psikolog. 

Sebuah petisi mungkin bisa menjadi harga mati di saat semua serba tak belum pasti.

Mungkin sebuah petisi mampu membatalkan ataupun membekukan aktivitas publik figur, atau seseorang yang sedang dalam "penghukuman sosial" oleh massa.

Baca juga : Teori Konspirasi: Baca Ini Dulu Sebelum Percaya Hoaks

Satu pertanyaan yang pasti, apakah kita akan berani berempati atau memilih menyembunyikan diri, bila pelecehan seksual dan atau perundungan terjadi di hadapan kita sendiri? 

Sekiranya boleh saya mengajak, paling tidak jangan anggap mati atau sesegera mungkin beranjak, dari seruan mereka yang ingin secuil harapan dari kekusaman episode hidup yang pernah mereka alami dan rasakan. 

Salam penuh hormat, 

Penulis

*sumber: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun