Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kesah Distorsi dalam Secangkir Kopi

26 Agustus 2021   18:16 Diperbarui: 27 Agustus 2021   03:54 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi secangkir kopi | via unsplash.com @ Karl Chor

Ini bukan cerita dari kamp Auschwitz, bukan pula perumahan elit. Hanya sebuah perkampungan rakyat di bawah kolong langit.

Gang Kenthir, merupakan gambaran semesta penuh rupa dan warna. Perbincangan di atas jembatan algoritma ternyata membawa saya memasuki ranah perkampungan indah ini.

Seperti halnya hari Rabu, 25/08/2021 waktu setempat.

Pukul 18.54 saya berkunjung ke ruang WAG. Dari perbincangan yang tak tentu arah, akhirnya secangkir kopi hangat diseduhkan Bang Jack, begitulah kenarsisan beliau yang tempo hari hampir saja mendapat gelar Kompasianer Award untuk kategori fiksiana. Siapa lagi kalau bukan Zaldy Chan.

Redup mentari mendaki pundak hari. Pagi tak sempat berucap selamat tinggal pada secangkir kopi. Dan genangan sisa mimpi, terjerembab gerimis sepi. Di sini. Di halte ini.

Alih-alih saya minum, kopi sederhana Bang Jack membawa saya pada sebuah ingatan. Sebuah proses hidup dari kesederhanaan yang di masa kini menjadi barang yang langka. 

Ya, di kala semua orang sibuk mengejar gelar, prestasi, atau kedudukan tertinggi, kesederhanaan perlahan redup dan ditinggalkan.

Aku menunggu waktu, saat musim mulai meninggalkan rinai hujan yang meluruh dalam deru. Kala itu, mentari menepi,di batas denting sepi, hinggap pada sebuah dimensi. Suatu ruang tanpa sisi....

Apa kau dengar rintihan awan yang menghujan? Kala ia lepaskan air begitu saja di kalangan tanah kering, pecah tanpa tuan. Demi sebuah hidup yang tiada pernah mampu tertawan oleh gaduhnya bising suara tirani tanpa lawan

Semula saya ingin menghentikan jemari yang terus menggelitik keyboard hp saya. Tak mampu menahan berhamburnya ide di angan, maka saya pun menambahkan,

Kopimu adalah distorsi, ketika uapnya merubah menjadi distraksi dalam alam monarki imaji, yang kugulati di halte ini.

Bait yang baru saja saya anggit di ruang WAG tersebut hampir saja mengunci kemungkinan teman- teman lain untuk ikut menyambar. Mungkin juga karena waktu pun beringsut melegam. 

Pukul  22:13 di hp saya. Namun, apa yang menjadi rintangan dalam alam kemustahilan? Semua bisa saja terjadi.

Akhirnya, dengan beragam syarat dan ketentuan agar saya bertanggung jawab bila terjadi anaphilaktik shock (semacam alergi) pada Mba Dewi Leyly yang biasa saya panggil Ibu Peri Gigi, satu bait indah menjalari WAG Kenthir yang belum pula purna bersawala.

Usai menjalani beragam perawatan endodontik, terciptalah sebait puisi dari bu dokter cantik. Tentu saja kemudian saya posisikan di antara bait saya dan Bang Jack. Suwun, Bu Peri....

Sunyi menemani riuhnya hati yang bersenandung. Ditemani piano yang mendenting.

Menghentak!

Menyentak!

Menghanyutkan tepian rasa yang tak berujung.

Tak terasa waktu terus bergulir. Saya menawarkan kembali kesempatan bagi yang masih ingin melebarkan sayap syairnya di malam yang semakin menghitam.

Dewa Indra akhirnya diutus turun dari nirwana. Lewat guratan rada humor ala seorang Arjuna (kata orang di tikungan Gang Kenthir), Bang Indra Rahardian yang selalu humble (ga ngerti real life-nya gimana, hehehehe) ternyata berbesar hati menurunkan aksara dari angkasa malam.

Anda tidak percaya? Coba bacalah syair beliau yang indah dan menggelitik namun penuh aroma distraksi. Kiranya akunmu segera membiru, Bang....

Bus kota sudah lewat. Hujan belum reda. Kuseduh kembali kopi dan menanti bus selanjutnya. Kupastikan beranjak sebelum tumbuh jerawat. Menikmati penantian tanpa arah tujuan. "Sayang, aku lelah bertualang."

Arus distorsi malam terus melayang. Usulan pun melenggang agar saya segera membungkus rapi deretan syair yang tertuang. Tapi, tidak. Termin waktu belum bergulir, saya hanya membiarkannya mengalir, hingga pukul 24 waktu setempat.

Rupa-rupanya Mas Han yang semula mengaku tak mampu memberi saweran puisi, bergegas mengemas aksara yang entah dari mana ia gali. Ekskavasi syair tetiba digelar. 

Entah senyawa kimia apa yang mengalir dalam lobus frontal-nya, tanpa saya duga, dua bait puisi tercipta begitu saja. Wah, Pemilik Aksaraku, begitulah gelar saya untuknya, you always do something nice for me and everyone.

Halte ini kembali sepi, seperti kopi pertama malam ini. Hitam pekat, gelap pada malam yang tak sempat berjabat. Seperti siluet yang melukis pelukan untuk saling berpamitan.

Pisah. Dalam desah yang tak tersampaikan. Peluh dalam keluh. Lalu menghilang dalam ingatan. Membuai lalu menghilang dalam lamunan. Sepi lagi, berulang seperti penantian yang tak terkabarkan. Ah, semua tentang kehilangan.

Arkeolog satu ini memang selalu membuat saya menjadi terbata. Pantas saja banyak yang ingin berkolaborasi dengannya, hehehe. Mungkin saya termasuk salah satu yang beruntung bisa mengenal dan bekerja sama memilin bahasa dalam estetika dan karya. 

Ndoro Tuan, Penilik Masa, Pemilik Aksara, setidaknya itulah gelar yang sempat saya sematkan untuk arkeolog yang telah membuat saya merasa berharga. May God bless your way....

Proses distorsi ternyata masih terus berjalan. Dari kejauhan benua, notifikasi Mbak Widz tergopoh menghentikan sejenak pagi saya. Dengan kehalusan budi pekerti dalam balutan sastra, akhirnya sebait syair penutup mengeksekusi puisi " Distorsi dalam Secangkir Kopi". Hmmm....a dazzling drops, Mba Widz....

Andai aku Iblis, kan kucipta semua yang bikin tangis. Andai aku Dewa, takkan kucipta semua yang bikin aku luka. Agar kau tahu, kopi ini nikmat. Dan rindu ini semakin dahsyat.

Siang ini, entah pukul berapa, namun ah,......secangkir kopi memang nikmat. Layaknya seuntai sesap distraksi pada masa pandemi yang serba menyesakkan ini. 

Distraksi seringkali dipilih sebagai opsi. Untuk mendistorsi segala perih, saat hidup berasa sebagai sebuah penderitaan. Hingga pada akhirnya, penderitaan menjadi sebuah kenikmatan, menuju proses bertemunya kita dengan makna kehidupan.

"Apapun bisa dirampas dari manusia, kecuali satu: Kebebasan terakhir seorang manusia....kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri." (Viktor E. Frankl- Man's Search for Meaning)

 *Solo,.....Bersama Itu Indah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun