Ini bukan cerita dari kamp Auschwitz, bukan pula perumahan elit. Hanya sebuah perkampungan rakyat di bawah kolong langit.
Gang Kenthir, merupakan gambaran semesta penuh rupa dan warna. Perbincangan di atas jembatan algoritma ternyata membawa saya memasuki ranah perkampungan indah ini.
Seperti halnya hari Rabu, 25/08/2021 waktu setempat.
Pukul 18.54 saya berkunjung ke ruang WAG. Dari perbincangan yang tak tentu arah, akhirnya secangkir kopi hangat diseduhkan Bang Jack, begitulah kenarsisan beliau yang tempo hari hampir saja mendapat gelar Kompasianer Award untuk kategori fiksiana. Siapa lagi kalau bukan Zaldy Chan.
Redup mentari mendaki pundak hari. Pagi tak sempat berucap selamat tinggal pada secangkir kopi. Dan genangan sisa mimpi, terjerembab gerimis sepi. Di sini. Di halte ini.
Alih-alih saya minum, kopi sederhana Bang Jack membawa saya pada sebuah ingatan. Sebuah proses hidup dari kesederhanaan yang di masa kini menjadi barang yang langka.Â
Ya, di kala semua orang sibuk mengejar gelar, prestasi, atau kedudukan tertinggi, kesederhanaan perlahan redup dan ditinggalkan.
Aku menunggu waktu, saat musim mulai meninggalkan rinai hujan yang meluruh dalam deru. Kala itu, mentari menepi,di batas denting sepi, hinggap pada sebuah dimensi. Suatu ruang tanpa sisi....
Apa kau dengar rintihan awan yang menghujan? Kala ia lepaskan air begitu saja di kalangan tanah kering, pecah tanpa tuan. Demi sebuah hidup yang tiada pernah mampu tertawan oleh gaduhnya bising suara tirani tanpa lawan
Semula saya ingin menghentikan jemari yang terus menggelitik keyboard hp saya. Tak mampu menahan berhamburnya ide di angan, maka saya pun menambahkan,