Kopimu adalah distorsi, ketika uapnya merubah menjadi distraksi dalam alam monarki imaji, yang kugulati di halte ini.
Bait yang baru saja saya anggit di ruang WAG tersebut hampir saja mengunci kemungkinan teman- teman lain untuk ikut menyambar. Mungkin juga karena waktu pun beringsut melegam.Â
Pukul  22:13 di hp saya. Namun, apa yang menjadi rintangan dalam alam kemustahilan? Semua bisa saja terjadi.
Akhirnya, dengan beragam syarat dan ketentuan agar saya bertanggung jawab bila terjadi anaphilaktik shock (semacam alergi) pada Mba Dewi Leyly yang biasa saya panggil Ibu Peri Gigi, satu bait indah menjalari WAG Kenthir yang belum pula purna bersawala.
Usai menjalani beragam perawatan endodontik, terciptalah sebait puisi dari bu dokter cantik. Tentu saja kemudian saya posisikan di antara bait saya dan Bang Jack. Suwun, Bu Peri....
Sunyi menemani riuhnya hati yang bersenandung. Ditemani piano yang mendenting.
Menghentak!
Menyentak!
Menghanyutkan tepian rasa yang tak berujung.
Tak terasa waktu terus bergulir. Saya menawarkan kembali kesempatan bagi yang masih ingin melebarkan sayap syairnya di malam yang semakin menghitam.
Dewa Indra akhirnya diutus turun dari nirwana. Lewat guratan rada humor ala seorang Arjuna (kata orang di tikungan Gang Kenthir), Bang Indra Rahardian yang selalu humble (ga ngerti real life-nya gimana, hehehehe) ternyata berbesar hati menurunkan aksara dari angkasa malam.