Hari itu, 4 Desember 2017, malam telah turun, sederas hujan yang turun mengguyur atap RSU Brayat Minulya, Solo. Pukul 21.45 WIB saya masih merekamnya kuat.Â
Penghuni Ruang Joseph sebagian telah tertidur, berselimutkan dinginnya suhu yang terurai dari alat pendingin ruangan. Ibu pun tertidur dalam ruang tanpa sadarnya. Seharian? Bukan. Hampir satu bulan penuh Ibu tertidur pulas dalam sopor-nya.
Kesadarannya telah direnggut diabetus militus. Makn beliau pun harus kami berikan lewat sonde. Sedangkan untuk berkomunikasi, kami hanya mampu membisikkan kata-kata yang tidak mungkin dapat diresponnya secara normal. Ia hanya tertidur. Hanya suara mesin EKG sajalah yang meyakinkan kami bahwa Ibu masih hidup atau tidak.
Minggu itu, lelah dengan kesibukan pelayanan gereja, saya seorang diri, duduk dan tertidur di samping bed, di mana tangan kanan Ibu yang menghangat malam itu saya peluk erat.Â
Dingin udara kamar membangunkan saya. Sempat mendapatkan waktu telah beranjak, 22.10 WIB. Namun, yang terdengar dari mesin EKG hanya satu bunyi datar dengan satu garis linier pada layarnya, "tuuuuuuuuut". Tidak ada lagi nada kehidupan yang terdengar. Tidak ada lagi denyut nadi yang mampu teraba. Tidak ada.
Histeria dan tangis saya tetap tidak mampu membawa Guru dan sahabat karib --yang menyewa ruang hati saya selamanya--meninggalkan saya sendiri di ruang itu. Untuk selamanya.
***
Ibu saya bukan seseorang dengan gelar kesarjanaan tinggi. Beliau bahkan hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 2 SD, itu pun tidak tamat. Maklumlah ibu hanyalah sosok wanita penggembala kambing di desanya, Sukoharjo.
Berangkat dari kerinduan beliau untuk menjadi pintar, hanya satu impian yang terbersit dalam benak beliau. Bahwa semua anak-anaknya harus duduk dan belajar hingga bangku perguruan tinggi.
Ibu adalah guru pertama? Ya. Tentu saja, Kawan.Â
Beliaulah yang mengajarkan bagaimana saya harus mau merendahkan hati saat belajar sesuatu. Seperti teladannya, pada suatu ketika. Saat itu, beliau sangat ingin membaca Alkitab. Satu-satunya orang yang beliau harapkan untuk mengajarnya membaca adalah saya yang  kala itu masih duduk di kelas 6 SD.