Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gaslighting: Mau Hangat Berelasi? Hati-hati Aktivitas Ini

28 September 2020   11:42 Diperbarui: 28 September 2020   19:10 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
salah satu tujuan gaslighting adalah memanipulasi korban agar gaslighter selalu looks good |Sumber: pixabay.com/makunin


Hai, hai, hai...

Gile yha udah ga kerasa kita hampir menghabisi bulan September di tahun cantik ini. 

Hmm, gimana, Septembermu masih ceriakah? Jangan takut, ini bukan artikel berat amat kok. Kita ngubrulin...mmm apa yha?

Gini, nebeng nanya nih, pernah ga sih mentemen ini punya relasi, entah itu rekanan bisnis, atasan, temen sekolah, temen kuliah, atau gebetan yang ketahuan melakukan kesalahan tapi mencoba menutupinya dengan kebohongan, kemudian membuat opini kita jadi blur.

Contoh nih...

Rita (sebut saja begitu) telah berulang kali membuat janji dengan Raka untuk bertemu dengan klien tepat waktu. Namun, berulang kali pula Raka selalu datang terlambat.

Tidak hanya sekali Rita mengingatkan Raka untuk datang tepat waktu, namun tetap saja Raka datang terlambat. Hingga suatu ketika Rita menegur Raka agar datang tepat waktu. Kali ini Raka dengan kesal menjawab, "Rit, kamu ini ngapain sih? Kamu ada masalah dengan waktu, ya?"

Kemudian Rita mulai berpikir, "Mmmm, mungkin Raka benar. Mungkin saja aku yang benar-benar bermasalah dengan waktu."

Keraguan Rita, mungkin hanya termanipulasi oleh perkataan Raka. Namun apabila tindakan ini terus menerus dilakukan Raka, sehingga Rita mulai meragukan opininya sendiri, maka itulah yang dinamakan tindakan gaslighting.

Kok bisa sih dibilang gaslighting? Nah, gini ceritanya, ghez...

Istilah ini sebenarnya berasal dari sebuah film yang laris manis tanjung kimpul di tahun 1944, dengan judul Gaslighting.

Dalam film tersebut, diceritakan bagaimana seorang suami berupaya untuk memanipulasi si istri dengan kebohongan yang ia ciptakan, sehingga istrinya kehilangan keyakinan pada ingatan dan kepercayaan pada dirinya sendiri. Sehingga muncullah istilah gaslighting. Gitu ceritanya, Sobatkoe...

Nah, sekarang yuks kita sedikit ber-ba bi bu, na ni nu, ka ki kuuu.... kulik soal gaslighting ini yhe...

Tahu ga, sebenarnya, aktivitas gaslighting ini banyak dilakukan oleh mereka yang mengalami gangguan kepribadian narsisistik atau lebih ternama dengan narcissistic personality disorder (NPD). 

Perlu untuk selalu diingat bahwa penegakan diagnosa NPD ini pun kita membutuhkan pertolongan psikiater atau psikolog terkait. Don't do self diagnose, kay... 

Untuk kali ini, saya hanya akan mengulik tentang fenomena gaslighting ajha yha....

Sedikit nukil dari Psychology Today, gaslighting adalah sebuah aktivitas seseorang untuk memanipulasi dan mengontrol korban agar mau melakukan segala yang diinginkan gaslighter (pelaku gaslighting), bahkan tanpa diminta sekalipun.

But how come? Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Hmmm, kay Sobatku, markinjut...mari kita lanjuuuut...

Pada awal mula, seorang gaslighter akan berusaha untuk membangun sebuah relasi yang begitu manis. Love bombing. Gaslighter akan selalu memuji semua kelebihan korban, baik secara fisik maupun psikis. Heleeeh...gombalan mulu tuh...so, beware...

Semakin cepat korban terjebak dalam rasa percaya kepada gaslighter, semakin cepat pula aksi manipulasi dilancarkan.

Seorang gaslighter adalah master dalam hal kebohongan. Dia bukan seseorang yang bertampang sangar, atau seseorang yang bertingkah laku kasar. Ia adalah seorang pemimpin yang berkarisma, atau seseorang yang terlihat selalu hangat dalam pergaulan.

Gaslighting merupakan salah satu alat bagi seorang narsisistik yang pada dasarnya membutuhkan pujian tanpa mau menerima kritik dalam kehidupannya. Alat ini digunakan agar ia selalu terlihat baik di mata publik. Empati pada sesama? Wew, seorang narsisistik kurang atau bahkan tidak mempunyai empati terhadap sesama.

Can you imagine that? No empathy at all... semua hanya untuk memuaskan keinginannya; for being looks good, untuk mendapatkan pujian bagi dirinya sendiri. So, watch out!

Menurut beberapa pakar, aktivitas gaslighting ini jamak dilakukan oleh pria, karena perempuan lebih sering menggunakan perasaannya. Alasan lainnya karena budaya atau kepercayaan yang diyakini publik, bahwa wanita harus selalu menurut pada pria. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan kaum wanita pun akan melakukan hal yang sama. 

Saya akan beri contoh kasus yang lain, coba perhatikan yang satu ini ya, Sobs...

Arda dan Tirsa menjalin hubungan kasih cukup lama. Namun Arda semakin tidak nyaman dengan Tirsa dikarenakan Arda semakin jarang berkomunikasi dan menikmati quality time mereka. Berulang kali Arda membicarakan hal ini dengan Tirsa, namun Tirsa selalu mengelak dari perbincangan tersebut.

Di suatu kesempatan, Tirsa mencoba berdalih,"Kenapa sih kamu jadi kayak gini? Kamu sensitif banget."

Kata-kata Tirsa lantas membuat Arda mulai meragukan dirinya, meragukan pemikirannya, pendapatnya, bahkan merasa bersalah atas peristiwa tersebut. 

And guess what? Arda has been trapped. 

Bayangkan saja bila hal ini dilakukan secara terus menerus. Apa yang akan terjadi pada kesehatan mental sang korban?

Pertama, melemahkan emosi korban. Semakin lama korban termanipulasi oleh tindakan gaslighter, maka korban semakin merasa tidak yakin pada perasaannya sendiri. 

Ia meragukan emosi yang datang dalam dirinya. Marah, takut, gembira, sedih, dan aneka emosi lain semakin tidak terasa kehadirannya. Kepekaan emosional menurun dan semakin menurun.

Kedua, menurunnya self esteem korban. Tingkat rasa percaya pada diri sendiri akan semakin menurun akibat dari kehilangan keyakinan pada memori diri sendiri. Ini dikarenakan adanya pembelokan kebenaran yang diyakini korban oleh aktivitas gaslighting secara masif.

Keraguan pada olah pikir dan kesadaran diri inilah yang kemudian sedikit demi sedikit akan membuat korban menjadi tergantung pada gaslighter. Korban akan merasa bahwa apa pun yang ia lakukan atau pikirkan adalah salah. Dengan demikian, pemikiran gaslighter sajalah yang benar.

Ketiga, korban terancam kehilangan kewarasan. Berulangnya aktivitas pembelokan realita oleh gaslighter menyebabkan korban akan sering mempertanyakan realita ingatan, persepsi, dan meragukan segala kemampuannya.

Inilah sebabnya korban seringkali meminta maaf. Tidak jarang pula korban merasakan cemas yang berlebihan, yang dalam beberapa kejadian korban akan merasa depresi.

So, gimana nih caranya lepas dari hubungan toxic ini?

Seorang ahli sekaligus praktisi psikologi, juga penulis buku "Should I Stay or Should I Go?" Dr. Ramani Durvasula mengatakan bahwa satu-satunya jalan agar kita tidak terjebak dalam hubungan dengan seorang gaslighter adalah tetap menyadari realita kita. 

Bila perlu, kita melakukan rekaman, entah dengan pencatatan manual atau pun digital atas kejadian yang bersangkutan dengan gaslighter.

Selain itu, tinggalkan saja dan jangan mencoba untuk memperpanjang pembicaraan dengan seorang gaslighter. Bila kita telah terlampau jauh terkena dampak dari gaslighter, maka sangat disarankan untuk menemui psikolog atau psikiater guna mendapat pertolongan. 

Andai saja kita kesulitan untuk menjangkau bantuan ahli kesehatan mental tersebut, paling tidak, kita dapat meminta bantuan orang-orang terdekat, seperti keluarga, teman dekat, atau sanak saudara.

Yang menarik dari pendapat profesor cantik ini, adalah bagaimana bila kita berada dalam hubungan pernikahan? Mungkin alasan anak, norma agama atau budaya yang tidak memungkinkan kita memutus begitu saja hubungan tersebut, maka satu-satunya jalan adalah kita harus mampu mengelola ekspektasi kita terhadap sang gaslighter.

Membangun relasi dengan lingkungan itu baik. Tentu saja, kita, manusia saling membutuhkan keterhubungan satu dengan yang lain. Namun apabila relasi tersebut merusak jiwa kita, diri kita sendiri, mari lekas sadari, bahwa kehangatan relasi bukan berarti saling meracuni.

"someone can try to gaslight you, but it can't happen unless you allow it" (Ariel Leve)

See you on my next post... jiayou....tetap semangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun