Mataku terpejam. Aku masih tersadar. Hanya saja aku ingin memejamkan mataku. Duduk terdiam di deret jok bagian belakang mobil Joshua yang melaju entah dengan kecepatan berapa kilometer per jam.
Malam membelenggu kami berdua di tengah hutan pinus. Hanya beberapa mobil saja yang berpapasan dengan kami. Kini aku bahkan tak pernah tahu ke arah mana Josh akan membawaku.
Yang jelas aku ingin pulang, mandi, membasuh lelah yang menggantung di pundakku, menikmati peradaban, jauh dari pohon-pohon yang berjajar di tengah hutan.
Untung saja musik mp3 Josh agak bersahabat dengan kupingku. Jika tidak, mungkin ia akan mampus kuracun dengan racun Shakespeare tua dalam segelas anggur merah.
"Kita istirahat dulu, Jess," mobil Josh berhenti di halaman depan kedai kecil di pinggir jalan. Oh, tubuhku terasa begitu berat kuangkat. Hanya dua bola mataku yang kugerakkan memandang sosok Josh dari spion depan. " Hei, Jessie! Â Kamu tidak turun? Terserahlah."
Hhggh... Dasar manusia purba!" umpatku kesal. Kulihat Josh tersenyum memuakkan. Andai kami hidup di jaman dinosaurus baru belajar senyum, mungkin akan kuumpankan Josh menjadi santapan T-Rex.
Udara benar-benar terasa sangat dingin. Entahlah. Kata Profesor Edgar, bulan ini adalah puncak kemarau, jadi suhu udara di bumi sedang turun karena pada malam hari energi bumi terlepas secara maksimal ke angkasa, sehingga... ah, entahlah. Otakku sudah lelah.
Atau hatiku yang lelah? Liputan seharian ini membuatku harus tunduk pada otoritas kampungan Josh. Hari libur yang seharusnya kuhabiskan di taman kota, duduk di pinggir kolam, membaca, mendengarkan musik digitalku memainkan lagu Patience G 'n R, beserta sejumput kenikmatan coklat panas, hmmm, kenikmatan yang direnggut manusia berlogo human doing, Joshua. Menyebalkan!!!
Kubuka pintu kedai. Hhhh, akhirnya kutemukan duniaku. Suasana yang begitu hangat. Aroma cinamon merebak menusuk hidungku. Wanginya tercium begitu lekat. Seperti....mmm, wangi dapur Tante Lia.
Seorang pelayan perempuan tua, dengan rambut yang dipenuhi uban, mendekatiku. Kulitnya berkeriput, tulang pipinya menonjol. Senyumnya sedikit mengembang menyambutku layaknya pemilik kedai kecil di tengah hutan yang kedatangan tamu.
"Udara malam ini sangat dingin, Nona," sapanya ramah. Aku hanya tersenyum.Â
"Mungkin secangkir coklat panas akan membuat bebanmu sedikit ringan. Kau mau, Jessie?" kuangkat kepalaku sesaat, bagaimana mungkin pelayan itu tahu namaku? Ia masih tersenyum di hadapanku. Dan senyum itu, seperti .....
"Boleh," jawabku singkat, dengan segera kusenbunyikan keterkejutanku.
"Sepotong pie susu hangat dengan taburan ceri merah dan bubuk cinamon di atasnya, apakah kau suka, Nona?" sekali lagi aku dibuatnya terkejut. Itu pie kesukaanku buatan Tante Lia.Â
Ya, aku ingat, Tante Lia juga punya senyum yang sama.
Tante Lia adalah orang tua angkatku. Aku diadopsi Tante Lia dari sebuah panti asuhan. Mungkin aku cukup beruntung bertemu Tante Lia dan Paman Dareau Mereka berdua berjuang cukup keras hingga membantuku mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Kanada.
"Boleh," jawabku singkat, tanpa lupa memberinya seulas senyum hangat.
Di dalam kedai bernuansa retro dengan lampu kuning temaram, hanya didatangi oleh beberapa orang. Aku duduk di ujung ruang, jadi dari tempat ini aku mampu melihat dengan jelas ke seluruh ruangan.Â
Dari mesin pemutar musik di dekat meja pelayan terdengar samar Crazy Little Things Called Love-nya Queen.
Sungguh dunia yang sangat aneh. Aneh karena kedai ini hanya satu-satunya kedai di pinggir hutan pinus. Semua membawaku kembali ke lima tahun yang lalu, sebuah tempat yang sering kudatangi bersama Edwin. Ya, pria pintar itu rupanya masih menghuni ruangan ingatanku. Tempat bersalju, putih, dengan hutan pinus perkasa di sepanjang jalan. Hmm, Kanada.
Dua orang lelaki duduk saling berhadapan di samping jendela kedai. Tubuh mereka tegap. Keduanya sedang menikmati semangkuk sup dengan sangat lahap. Sesaat kemudian lelaki yang lebih muda segera menyulut rokok yang ia ambil dari saku bajunya.
Di sudut lain, memilih tempat yang lebih terang, sepasang pasutri sedang menikmati makan malam mereka. Agaknya sedang ada sedikit ketegangan. Mungkin mereka sedang tak sepaham. Meributkan sesuatu. Sayup, pelan, namun tetap kudengar mereka memperdebatkan tetang hal yang menurutku hanya sederhana.
"Kau gila. Aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku. Bagaimana kita bisa melunasi sewa rumah, membayar cicilan mobil, membayar tagihan listrik, hanya dengan gaji mengajarmu itu?" sahut sang istri.
"Aku hanya ingin kau berhenti dan mencoba mengurus rumah. Mungkin dengan begitu, kita bisa dapat lekas punya anak, sayang," penjelasan lazim sang suami cukup mengesahkan bahwa mereka pasutri yang belum mempunyai keturunan.
Di dekat meja pelayan, duduk seorang gadis, oh, entah. Sepertinya bukan. Celana jeans membungkus kaki kurus dengan beralas sepatu boot usang.
Topi baseball berwarna biru tua menutupi wajah bulat anak muda itu, Â seakan memang ingin menyamarkan identitasnya. Menurutku, dia seorang gadis. Usianya mungkin masih 16-17 tahun. Ia kini sedang asik dengan sepiring kentang goreng dan segelas minuman bersoda.
Dan oh, kemana Josh? Mengapa tiba-tiba ia menghilang begitu saja? Gila. Jangan-jangan....
Aku berlari membuka pintu kedai. Dengan segera udara dingin menusuk pori-pori kulitku, lalu merebak masuk ke dalam kedai, melewati sela tubuhku yang tak terbungkus jaket tebal.
Oh, ok. Mobil 4WD hitam itu masih tegar berdiri di pelataran kedai.
"Kau pikir, aku pergi meninggalkanmu sendiri di sini, Jess?" suara Josh terdengar lirih menjijikkan di telingaku.
Ia menarikku ke meja kami. Sebentar kemudian ia dengan lahap menghabiskan semangkuk sup jagung hangat beserta segelas air putih hingga tandas. Entah mengapa, malam ini hujan mengguyur tipis di sekeliling kedai.
"Dengar, kita harus cepat meninggalkan tempat ini," bisik Josh di sela kepulan asap rokoknya. Sambil melihat ke arah luar kedai, ia membuka ponselnya, lalu ia sodorkan padaku, "Ini. Lihat. Aku temukan ini di gudang."
Mataku membelalak melihat tampilan gambar di layar ponselnya. Seseorang dalam keadaan terikat, mulut tersumpal kain, tergeletak di lantai dengan leher yang hampir putus. Darah segar membanjiri mayat itu.
Kuusap pelan wajahku. Tersadar mungkin itu ulah jahil Josh. Mungkin itu hanya gambar yang ia ambil dari internet. Tapi, Josh bukan orang seperti itu. Sebengis-bengisnya atasan, ia bukan tipe orang yang senang iseng.
Pula, dari mana ia mendapatkan sinyal internet? Kudengar sepanjang perjalanan kami, lelaki berkulit kuning itu terus-menerus mengumpat karena sinyal tak segera ia dapat.
"Kamu temukan mayatnya? Di mana?"
"Gudang !!" katanya tegas namun lirih hampir tak terdengar. Matanya melotot hampir keluar.
"Lalu? Apa yang kau pikirkan?"
"Entahlah aku tak mau ikut terlibat,"
"Penakut," seringaiku. "Hei, di luar hujan, Tuan. And we're in the middle of this unkonown forests,"
"Jessie, dasar wanita sok tahu," umpat Josh seketika. Baru kali ini aku melihat kegentaran di raut wajah Josh. Agaknya ia serius saat ini.
"Hei mau ke mana?"
"Toilet. Mau ikut?"
"Bila diijinkan,"
"Only in your dream," bisikku di telinga Josh.Â
"Tunggu aku di sini atau kau yang akan jadi mayatnya," ancamku.
Tentu saja aku berbohong. Aku hanya ingin memastikan di gudang sebelah mana mayat itu berada.
[bersambung]
*Solo....just another pillow talk, mulai dari titik nadir....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H