"Kau gila. Aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku. Bagaimana kita bisa melunasi sewa rumah, membayar cicilan mobil, membayar tagihan listrik, hanya dengan gaji mengajarmu itu?" sahut sang istri.
"Aku hanya ingin kau berhenti dan mencoba mengurus rumah. Mungkin dengan begitu, kita bisa dapat lekas punya anak, sayang," penjelasan lazim sang suami cukup mengesahkan bahwa mereka pasutri yang belum mempunyai keturunan.
Di dekat meja pelayan, duduk seorang gadis, oh, entah. Sepertinya bukan. Celana jeans membungkus kaki kurus dengan beralas sepatu boot usang.
Topi baseball berwarna biru tua menutupi wajah bulat anak muda itu, Â seakan memang ingin menyamarkan identitasnya. Menurutku, dia seorang gadis. Usianya mungkin masih 16-17 tahun. Ia kini sedang asik dengan sepiring kentang goreng dan segelas minuman bersoda.
Dan oh, kemana Josh? Mengapa tiba-tiba ia menghilang begitu saja? Gila. Jangan-jangan....
Aku berlari membuka pintu kedai. Dengan segera udara dingin menusuk pori-pori kulitku, lalu merebak masuk ke dalam kedai, melewati sela tubuhku yang tak terbungkus jaket tebal.
Oh, ok. Mobil 4WD hitam itu masih tegar berdiri di pelataran kedai.
"Kau pikir, aku pergi meninggalkanmu sendiri di sini, Jess?" suara Josh terdengar lirih menjijikkan di telingaku.
Ia menarikku ke meja kami. Sebentar kemudian ia dengan lahap menghabiskan semangkuk sup jagung hangat beserta segelas air putih hingga tandas. Entah mengapa, malam ini hujan mengguyur tipis di sekeliling kedai.
"Dengar, kita harus cepat meninggalkan tempat ini," bisik Josh di sela kepulan asap rokoknya. Sambil melihat ke arah luar kedai, ia membuka ponselnya, lalu ia sodorkan padaku, "Ini. Lihat. Aku temukan ini di gudang."
Mataku membelalak melihat tampilan gambar di layar ponselnya. Seseorang dalam keadaan terikat, mulut tersumpal kain, tergeletak di lantai dengan leher yang hampir putus. Darah segar membanjiri mayat itu.