"Mungkin secangkir coklat panas akan membuat bebanmu sedikit ringan. Kau mau, Jessie?" kuangkat kepalaku sesaat, bagaimana mungkin pelayan itu tahu namaku? Ia masih tersenyum di hadapanku. Dan senyum itu, seperti .....
"Boleh," jawabku singkat, dengan segera kusenbunyikan keterkejutanku.
"Sepotong pie susu hangat dengan taburan ceri merah dan bubuk cinamon di atasnya, apakah kau suka, Nona?" sekali lagi aku dibuatnya terkejut. Itu pie kesukaanku buatan Tante Lia.Â
Ya, aku ingat, Tante Lia juga punya senyum yang sama.
Tante Lia adalah orang tua angkatku. Aku diadopsi Tante Lia dari sebuah panti asuhan. Mungkin aku cukup beruntung bertemu Tante Lia dan Paman Dareau Mereka berdua berjuang cukup keras hingga membantuku mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Kanada.
"Boleh," jawabku singkat, tanpa lupa memberinya seulas senyum hangat.
Di dalam kedai bernuansa retro dengan lampu kuning temaram, hanya didatangi oleh beberapa orang. Aku duduk di ujung ruang, jadi dari tempat ini aku mampu melihat dengan jelas ke seluruh ruangan.Â
Dari mesin pemutar musik di dekat meja pelayan terdengar samar Crazy Little Things Called Love-nya Queen.
Sungguh dunia yang sangat aneh. Aneh karena kedai ini hanya satu-satunya kedai di pinggir hutan pinus. Semua membawaku kembali ke lima tahun yang lalu, sebuah tempat yang sering kudatangi bersama Edwin. Ya, pria pintar itu rupanya masih menghuni ruangan ingatanku. Tempat bersalju, putih, dengan hutan pinus perkasa di sepanjang jalan. Hmm, Kanada.
Dua orang lelaki duduk saling berhadapan di samping jendela kedai. Tubuh mereka tegap. Keduanya sedang menikmati semangkuk sup dengan sangat lahap. Sesaat kemudian lelaki yang lebih muda segera menyulut rokok yang ia ambil dari saku bajunya.
Di sudut lain, memilih tempat yang lebih terang, sepasang pasutri sedang menikmati makan malam mereka. Agaknya sedang ada sedikit ketegangan. Mungkin mereka sedang tak sepaham. Meributkan sesuatu. Sayup, pelan, namun tetap kudengar mereka memperdebatkan tetang hal yang menurutku hanya sederhana.