Bulan Mei menyisakan kisah tersendiri untuk saya. Kisah yang tak mungkin saya lupakan begitu saja.
Kecut hati saya tatkala secarik kertas pengumuman yang hampir saja membawa mimpi melanjutkan sekolah di luar kota harus saya urungkan dalam-dalam.
Kota Solo, 14 Mei 1998, hampir pukul 12.30 siang hari.Â
Siang itu kami dikagetkan oleh kabar dari cici keturunan Tionghoa yang bekerja di salah satu agen kain di Pasar Klewer.
"Pak!! Pak!! Itu... Klewer geger, Pak. Toko-toko semua tutup, Pak. Ini Solo geger, Pak," teriak seorang tetangga depan rumah saya. Kepanikan jelas terlihat di wajahnya. Sepeda motornya disandarkan begitu saja di depan rumah saya. Kulit wajahnya yang kuning langsat berubah menjadi pucat pasi.Â
Maraknya aksi massa telah terbaca mencapai puncak pada tanggal 12 Mei di mana media massa menyuarakan begitu banyaknya gelombang aksi demonstrasi mahasiswa melawan rezim yang 32 tahun berkuasa di Indonesia. Percik api perlawanan mulai terlihat di Jakarta dan berbagai kota lainnya.Â
Upaya Sang penguasa yang tak begitu saja bergeming menambah ketegangan iklim keamanan sosial masyarakat saat itu. Olah show up kesaktian pemegang otoritas pemerintahan yang merasa masih mandraguna hendak diejawantahkan atas suara-suara perlawanan massa terhadap tirani rezim penguasa. Tercium dari berita beberapa aktivis mahasiswa yang tetiba menguap tanpa kabar alias menghilang dari garis edar aktivitasnya. Â
Munculnya aksi people power di berbagai daerah dengan satu misi yang sama, turun ke jalan dengan satu tujuan, lengserkan Soeharto dari singgasana pemerintahan RI menegaskan kembali keinginan kaum tertindas yang tak mau lagi tergilas.
Kembali ke kota Solo. Berbagai satuan lembaga senatorium kemahasiswaan bergabung menjadi satu, menyuarakan tuntutan reformasi. Turunkan Soeharto, hapuskan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), dan turunkan harga.Â
Namun demikian, bergeraknya aksi demonstrasi mahasiswa yang terkonsenstrasi di kampus Universitas Muhammadiah Surakarta (UMS) ini pada dasarnya merupakan reaksi solidaritas mahasiswa sebagai aksi protes terhadap tindak kekerasan aparat atas tragedi Trisakti 12 Mei 1998, dua hari sebelumnya.
Pergerakan mahasiswa yang terpusat di kampus UMS di daerah Pabelan diusung sebagai aksi damai para mahasiswa, yang kemudian melakukan longmarch di bawah Sang Saka Merah Putih di sepanjang ruas Jalan Slamet Riyadi.
Namun naas, demonstrasi dengan niat luhur kaum civitas akademika harus tercemari oleh aksi beberapa oknum yang disinyalir menyusupi perjuangan anak negri. Rombongan semakin bertambah banyak, sehingga aksi yang disususpi provokator-provokator tak terdeteksi merubah aksi damai menjadi tindakan anarki.
Rumah saya kala itu berada di Kemlayan, tepat di jantung kota Solo. Sehingga pada saat konvoi anarkis massa dari arah Pabelan mulai meringsek masuk ke jantung kota, suasana terasa sangat mencekam. Sungguh, semua bagai mimpi buruk di siang hari.Â
Setelah cici tetangga yang histeris, ada beberapa orang yang sudah mulai berlalu lalang dengan wajah panik dan tegang melewati jalan kampung rumah saya.Â
Ada pula yang sibuk berpeluh membawa barang-barang jarahan mulai dari sepeda motor, TV, komputer, lemari es, AC, hingga barang-barang kebutuhan pokok seperti detergen, sabun mandi, beras, minyak, bahkan ada pula yang menenteng baju-baju, dan lain sebagainya. Pemandangan yang sangat mengerikan.
Saya sengaja keluar rumah, hanya berdiri di samping kiri rumah saya yang merupakan jalan kampung, sebagai akses bagi mereka yang ingin melintasi keempat jalan protokol kota Solo.
Bapak beserta beberapa kepala rumah tangga yang lain segera berkoordinasi dengan Babinsa setempat untuk dengan segera menutup portal kampung yang mungkin dijadikan akses keluar masuk oknum tak bertanggung jawab.Â
Maklum jalan kampung kami hanya selebar 2-3 meter. Namun jalan kampung kami merupakan akses alternatif tercepat yang menghubungkan empat jalan protokol di Kota Solo, Jalan Slamet Riyadi, Jalan Honggowongso, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Dr. Radjiman.
Sesaat mata saya menangkap dua mobil pick up berwarna putih berlalu lalang melintasi jalan kampung kami. Masing-masing membawa dua orang yang bertelanjang dada duduk di bagian belakang mobil yang terbuka, sorot mata mereka nyalang, bola mata mereka memerah sangat menakutkan.Â
Dengan jelas saya melihat mereka masing-masng membawa beberapa bom molotof siap lempar. Penampilan mereka jauh dari penampakan kaum civitas akademika.
Mata mereka menelisik di sudut-sudut kampung yang sekiranya didapati ada rumah orang Cina. Sementara di dalam rumah, Mami (begitulah almarhumah ibu kami panggil) sedang berusaha menenangkan beberapa tetangga keturunan Tionghoa yang sengaja kami sembunyikan di dalam rumah. Sedang beliau sendiri juga kebingungan mencari adik saya yang entah ada di mana.
Sesekali melintas di jalan kampung Kemlayan, tempat saya masih berdiri, beberapa orang yang mulai panik berjalan dari arah Timur. Ada yang berlari panik menghindari amuk massa, namun ada pula yang bergegas mondar-mandir ikut menikmati euforia penjarahan massal.
Terdengar sayup sorakan massa, "Jawa apa Cina? Yen Cina, bakar!!!!", teriakan itu ternyata memicu pembakaran Matahari Department Store yang berada di sebelah utara simpang empat antara Jalan Gatot Subroto dan Jalan Dr. Radjiman, hanya berjarak 500 meter dari rumah saya. Semburat api serta asap hitam segera mengepul di angkasa sebelah timur dari tempat saya berdiri.
Sementara lalu lalang manusia mulai berkurang setelah portal jalan kampung dari arah utara, selatan, timur dan barat telah mulai ditutup oleh warga yang berkoordinasi dengan satuan pengamanan Babinsa Kemlayan.
Tak lama terdengar dentuman layaknya bom meledak dari arah utara tempat saya berdiri. Di langit utara kembali terlihat asap hitam mengepul tinggi di angkasa.Â
Asap yang ternyata berasal dari sebuah bank swasta, Lippobank, yang terletak di Jalan Slamet Riyadi diamuk massa, terbakar habis, dengan menyisakan asap hitam yang mengubah cakrawala biru menjadi kelam menghitam.Â
Selang beberapa waktu, paman saya sampai di rumah setelah menjemput Cici Xin, salah satu tetangga Tionghoa yang terjebak di ruas Jalan Yos Sudarso atau lebih dikenal sebagai kampung Nonongan, kurang lebih berjarak 1,5 kilometer dari rumah saya.Â
"Owalah, Xin.....,"tanpa banyak kata, salah seorang warga segera memeluk Cici Xin, guru sekolah Minggu saya dengan air mata yang beruraian. Sedang Cici Xin langsung duduk di lantai rumah saya mencoba mengatur sakit jantungnya agar lebih nyaman.
Tak sampai lima menit kemudian, dari arah selatan saya berdiri, terdengar dentuman lebih keras. Pandangan saya beralih pada sebuah, oh bukan.Â
Bahkan dua drum minyak tanah yang terangkat ke angkasa. Benar-benar mengerikan. Dua drum besar yang langsung saya kenali milik Babah Ahong agen penjual minyak dan bensin. Kios Babah ada di ruas kanan Jalan Dr. Radjiman, hanya berjarak 300 meter dari rumah saya.Â
Sungguh tempat saya berdiri bagai sebuah medan perang. Mimpi yang tak pernah saya nantikan, ataupun inginkan. Benar-benar mengerikan. Bila tangan dingin Mami tak segera menggeret saya masuk ke dalam rumah, pasti kaki saya segera berlari ke arah kios Babah.Â
Di dalam rumah, saya melihat ada empat orang tetangga, warga keturunan Tionghoa yang sengaja kami sembunyikan. Muka mereka pucat. Ketegangan tersirat dari pancaran wajah dan mata sipit mereka.
Karena penjarahan dan pembakaran fasilitas umum sangat tak terkendali, maka mulai malam hari tepat pukul 20:00, diberlakukan jam malam bagi seluruh warga Kota Solo. Listrik  kami padamkan. Kami hanya memakai lilin di malam hari.
Kota Solo, 15 Mei 1998, pagi hari sekitar pukul 06.00
Asap masih terlihat jelas membumbung tinggi di cakrawala sebelah timur. Meski mentari mulai menghangatkan kota kami, namun bau aksi anarkis masih tercium kental.Â
Kaki usil dan rasa ingin tahu segera membawa saya berontak dan berlari ke arah Matahari Dept. Store. Di sepanjang jalan saya sempat bertemu dengan para pemulung yang masih terus mengais bangkai-bangkai sisa barang jarahan kemarin.
Puing-puing sisa pembakaran massa ternampak jelas. Hawa panas dan bau kabel terbakar segera membawa saya menjauh, melangkah ke arah Jalan Dr. Radjiman, sebelah timur Matahari Dept. Store, yang masih dipenuhi oleh beberapa pemulung yang mengais benda-benda jarahan massa yang mungkin tercecer di lantai bawah gedung.
Sepanjang ruas Jalan Dr. Radjiman sebelah timur, adalah ruas daerah pecinan. Di sepanjang kanan dan kiri jalan berdiri bangunan toko milik warga Cina telah rusak, berubah menjadi puing-puing berantakan sebagai akhir ajang aksi penjarahan massal.Â
Meskipun begitu, saya melihat beberapa orang masih saja memungut dan mengais barang-barang elektronik hingga jam dinding yang tertinggal, sisa penjarahan kemarin.
Solo, kota nan-ramah berubah seketika menjadi ladang penghakiman massal atas warga keturunan Tionghoa. Begitu banyak, hampir semua toko di daerah Tjoyudan rusak oleh jilatan api amarah dan amuk massa.
Salah satu temuan yang mengerikan adanya mayat di toko yang diduga milik salah satu warga keturunan Tionghoa. Aparat keamanan seakan pasif tak bereaksi saat amuk massa tersebut terjadi.Â
Hampir seluruh kontur bangunan kota Solo rusak. Ada yang terbakar, ada pula yang tinggal puing-puing, sebagai saksi atas penjarahan massal di beberapa toko milik warga Tionghoa. Beberapa toko tertutup rapat dengan rolling door bertuliskan "Milik Warga Pribumi" turut menjadi ornamen bisu penghias kelamnya Solo.
Bangkai mobil dan sepeda motor yang dirusak massa maupun yang hangus terbakar menghiasi ruas jalanan. Benar-benar rusuh, bak kota luluh lantak seusai diserang musuh.
Kejadian kelam yang saya pikir telah berakhir, ternyata masih berlanjut. Di daerah Balong, kampung pecinan sekitar Pasar Gede menjadi ajang pelampiasan nafsu laknat.Â
Penjarahan, pelecehan seksual, terhadap  warga keturunan Tionghoa terjadi secara masif. Issue penjarahan dan pembakaran toko juga rumah-rumah warga keturunan Tionghoa masih terus dihembuskan.
Salah seorang teman gereja sempat bercerita, bagaimana massa mengepung rumahnya yang ada di daerah Balong, dan mencoba menjarah rumah kawan saya yang kebetulan adalah warga yang cukup mampu namun dikenal dermawan di kampungnya.
Santun kota budaya tak lagi kentara. Dilindas habis oleh kepentingan durjana sebagai bagian pelampiasan konflik rasial yang terakumulasi sejak masa kolonial Belanda berkuasa, antara warga pribumi dengan warga keturunan Tionghoa.Â
Konflik rasial yang kemudian berkembang mengakibatkan gab atau jarak yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin yang ditunggangi oleh kepentingan licik politik berlandaskan sifat adigang, adigung, lan adiguna menggerayangi dan menelanjangi kearifan lokal masyarakat Solo.
Ya, cukup Mei 1998 saja. Cukuplah goresan kelam hanya tersimpan dalam ingatan kami. Berharap anak cucu tak akan menjumpai kengerian itu kembali. Jadilah hanya sebagai mimpi kelam yang tersimpan di kedalaman sejarah kami.Â
Kini kami membangun kembali senyum yang telah porak poranda dua puluh dua tahun yang lalu. Saat ini kami mulai bangkit dari keterpurukan ekonomi semenjak masa kerusuhan Mei 1998. Perlahan kami bangkit untuk aksi restrukturisasi serta renovasi fisik dan mental, menghimpun energi sebagai sebuah kesatuan yang bersinergi dalam bentukan budaya dan keanggunan luhur pekerti bangsa.
*Solo,....kala serat halus syaraf amygdala memberi percik listrik, mengurai kembali ingatan kelam, sebuah kisah yang tak pernah diinginkan mimpi. Terimakasih untuk segala dukungan dari @kompasianacom (IG) yang satu tahun lalu ikut ngomporin saya menulis artikel ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H