Di dalam rumah, saya melihat ada empat orang tetangga, warga keturunan Tionghoa yang sengaja kami sembunyikan. Muka mereka pucat. Ketegangan tersirat dari pancaran wajah dan mata sipit mereka.
Karena penjarahan dan pembakaran fasilitas umum sangat tak terkendali, maka mulai malam hari tepat pukul 20:00, diberlakukan jam malam bagi seluruh warga Kota Solo. Listrik  kami padamkan. Kami hanya memakai lilin di malam hari.
Kota Solo, 15 Mei 1998, pagi hari sekitar pukul 06.00
Asap masih terlihat jelas membumbung tinggi di cakrawala sebelah timur. Meski mentari mulai menghangatkan kota kami, namun bau aksi anarkis masih tercium kental.Â
Kaki usil dan rasa ingin tahu segera membawa saya berontak dan berlari ke arah Matahari Dept. Store. Di sepanjang jalan saya sempat bertemu dengan para pemulung yang masih terus mengais bangkai-bangkai sisa barang jarahan kemarin.
Puing-puing sisa pembakaran massa ternampak jelas. Hawa panas dan bau kabel terbakar segera membawa saya menjauh, melangkah ke arah Jalan Dr. Radjiman, sebelah timur Matahari Dept. Store, yang masih dipenuhi oleh beberapa pemulung yang mengais benda-benda jarahan massa yang mungkin tercecer di lantai bawah gedung.
Sepanjang ruas Jalan Dr. Radjiman sebelah timur, adalah ruas daerah pecinan. Di sepanjang kanan dan kiri jalan berdiri bangunan toko milik warga Cina telah rusak, berubah menjadi puing-puing berantakan sebagai akhir ajang aksi penjarahan massal.Â
Meskipun begitu, saya melihat beberapa orang masih saja memungut dan mengais barang-barang elektronik hingga jam dinding yang tertinggal, sisa penjarahan kemarin.
Solo, kota nan-ramah berubah seketika menjadi ladang penghakiman massal atas warga keturunan Tionghoa. Begitu banyak, hampir semua toko di daerah Tjoyudan rusak oleh jilatan api amarah dan amuk massa.
Salah satu temuan yang mengerikan adanya mayat di toko yang diduga milik salah satu warga keturunan Tionghoa. Aparat keamanan seakan pasif tak bereaksi saat amuk massa tersebut terjadi.Â
Hampir seluruh kontur bangunan kota Solo rusak. Ada yang terbakar, ada pula yang tinggal puing-puing, sebagai saksi atas penjarahan massal di beberapa toko milik warga Tionghoa. Beberapa toko tertutup rapat dengan rolling door bertuliskan "Milik Warga Pribumi" turut menjadi ornamen bisu penghias kelamnya Solo.