Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Mei 1998: Solo, Mimpi yang Tak Pernah Dirindukan

13 Mei 2020   10:10 Diperbarui: 22 Mei 2021   08:23 8947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mata mereka menelisik di sudut-sudut kampung yang sekiranya didapati ada rumah orang Cina. Sementara di dalam rumah, Mami (begitulah almarhumah ibu kami panggil) sedang berusaha menenangkan beberapa tetangga keturunan Tionghoa yang sengaja kami sembunyikan di dalam rumah. Sedang beliau sendiri juga kebingungan mencari adik saya yang entah ada di mana.

Sesekali melintas di jalan kampung Kemlayan, tempat saya masih berdiri, beberapa orang yang mulai panik berjalan dari arah Timur. Ada yang berlari panik menghindari amuk massa, namun ada pula yang bergegas mondar-mandir ikut menikmati euforia penjarahan massal.

Terdengar sayup sorakan massa, "Jawa apa Cina? Yen Cina, bakar!!!!", teriakan itu ternyata memicu pembakaran Matahari Department Store yang berada di sebelah utara simpang empat antara Jalan Gatot Subroto dan Jalan Dr. Radjiman, hanya berjarak 500 meter dari rumah saya. Semburat api serta asap hitam segera mengepul di angkasa sebelah timur dari tempat saya berdiri.

Sementara lalu lalang manusia mulai berkurang setelah portal jalan kampung dari arah utara, selatan, timur dan barat telah mulai ditutup oleh warga yang berkoordinasi dengan satuan pengamanan Babinsa Kemlayan.

Tak lama terdengar dentuman layaknya bom meledak dari arah utara tempat saya berdiri. Di langit utara kembali terlihat asap hitam mengepul tinggi di angkasa. 

Asap yang ternyata berasal dari sebuah bank swasta, Lippobank, yang terletak di Jalan Slamet Riyadi diamuk massa, terbakar habis, dengan menyisakan asap hitam yang mengubah cakrawala biru menjadi kelam menghitam. 

Selang beberapa waktu, paman saya sampai di rumah setelah menjemput Cici Xin, salah satu tetangga Tionghoa yang terjebak di ruas Jalan Yos Sudarso atau lebih dikenal sebagai kampung Nonongan, kurang lebih berjarak 1,5 kilometer dari rumah saya. 

"Owalah, Xin.....,"tanpa banyak kata, salah seorang warga segera memeluk Cici Xin, guru sekolah Minggu saya dengan air mata yang beruraian. Sedang Cici Xin langsung duduk di lantai rumah saya mencoba mengatur sakit jantungnya agar lebih nyaman.

Tak sampai lima menit kemudian, dari arah selatan saya berdiri, terdengar dentuman lebih keras. Pandangan saya beralih pada sebuah, oh bukan. 

Bahkan dua drum minyak tanah yang terangkat ke angkasa. Benar-benar mengerikan. Dua drum besar yang langsung saya kenali milik Babah Ahong agen penjual minyak dan bensin. Kios Babah ada di ruas kanan Jalan Dr. Radjiman, hanya berjarak 300 meter dari rumah saya. 

Sungguh tempat saya berdiri bagai sebuah medan perang. Mimpi yang tak pernah saya nantikan, ataupun inginkan. Benar-benar mengerikan. Bila tangan dingin Mami tak segera menggeret saya masuk ke dalam rumah, pasti kaki saya segera berlari ke arah kios Babah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun