Ragil tetap diam. Ingatannya yang bagai foto dalam frame, kembali membukakannya pada mbakyu Sita. Kakak perempuan semata wayangnya yang kini tinggal bersama keluarganya di Bali.
"Gil,...semesta itu adil. Renungkan itu. Jika kau bertemu seseorang, saat itu pula kau harus siap melepasnya. Ikhlaskanlah.
"Bila kau memilih, kau pun harus paham, bahwa konsekuensi akan mengikuti apa pun pilihanmu." lanjut Sita waktu mengantar anaknya libur Lebaran kemarin.
Sepotong kata-kata Galuh sahabatnya pun terngiang padat di telinganya,"Aku tahu, Gil. Emang ga mudah memutuskan untuk pasangan seumur hidupmu.Â
"Bahkan di usia kita yang tak muda lagi. Cuman, siapa pun itu, kau berhak mendapat yang terbaik. Apa Hermawan yang terbaik itu? Kau yang menentukan,"
Ragil masih terdiam. Matanya terpejam. Hatinya gundah. Batinnya gelisah.
"Mas Her, ..." ucap Ragil sangat pelan.
"Yha?"
"Mas Hermawan tahu aku harus menjaga Rama, bukan? Tapi itu bukan alasan utamaku. Aku ingin sendiri dulu, mas,"
"Aku sudah menunggu lama, Dhi...,"
"Nyuwun ngapunten, mas. Adhimu ini harus memilih. Jika Mas Her berniat untuk berhenti, maka, sudahlah, kita berhenti saja, Mas,"