Derit bangku tua ditarik terdengar dari pendopo depan. Tatkala dua pasang mata menggulung keinginan.
"Dhi, adhi kan sudah tahu, kalau sebenarnya aku dulu sudah ada keinginan buat nglamar adhi, to?" suara lelaki dewasa antara usia empat puluhan terdengar memecah kesunyian pendopo.
Laki-laki itu meletakkan bungkus rokok dan korek api gasnya di atas meja marmer yang dingin, sedingin tatapannya pada Ragil yang menyibukkan diri, menyingkirkan kain-kain lurik yang masih berserakan di dekat meja. Ia tak memperdulikan semua kata-kata kekasihnya.
"Apa yang kau inginkan lagi, Dhi?" lelaki matang usia itu kembali berusaha berpikir keras. Batinnya ia sejajarkan dengan wanita pujaanya yang kini tak jua berujar sepenggal kata pun.
"Saya juga tahu, Mas Hermawan juga sudah menunggu lama. Tapi....mas Hermawan pasti juga tahu, keluarga Suryodiningrat ini sedang sakit. Kami harus memulihkan nama baik kami, mas," sahut Ragil.
"Bukan berarti Ragil trus ga nikah, kan?" Hermawan menyulut sebatang rokok di atas meja marmer. Dihisapnya pelan, kepulan asap keluar dari mulutnya.
"Mas Her jangan banyak merokok, to. Sudah dipesen sama dokter Anna, kan?" Ragil berusaha mengalihkan pembicaraan.
Hermawan memandang pasak di bagian atas pendhopo yang bertuliskan aksara jawa. Kerap kali ia menemukan sesuatu yang agung dalam tiap goresan pada kayu jati kuno berwarna coklat tua itu. Matanya terus memandang pasak yang hanya bertuliskan "ma ga ba tha nga" tanpa perdulikan Ragil yang tengah diam dalam benaknya.
"Ibuk kirim salam, Dhi. Beliau bilang kapan mampir Surabaya. Mau diajak ke pasar Turi lagi," tiba-tiba Hermawan pun ikut mengalihkan pembicaraan. "Kapan kamu bisa ke sana?"
Ragil tak serta merta menjawab. Di tangannya penuh nota-nota pembelian bahan pewarna baju dan nota hasil penjualan kain lurik dari pegawainya, Sumi yang ia terima sore ini.
Hermawan tak pernah keberatan bila kedatangannya disambut Ragil yang masih sibuk dengan urusan kiosnya di pasar Klewer. Tapi sore ini lain. Niatnya dari Surabaya ke Solo, hanya untuk satu tujuan. Memastikan Ragil menjadi istrinya.
Sedang Ragil masih enggan menjawab maksud Hermawan. Bukan karena ia tak cinta, hanya sikap Hermawan yang entah mengapa membuatnya selalu minder dan merasa harus selalu bergantung pada kekasihnya itu.
Teringat ia akan perbincangannya dengan Mbok Ruminah di belakang rumah kemarin malam, usai makan malam yang dihabiskannya sendirian.
"Yang simbok tahu cuman masak sayur buat Den Roro sama Ndoro Kakung," jawab Mbok Nah pelan.
"Mbok, Ibu sudah meninggal. Sedang Rama sudah sepuh, Mbok. Sementara utang keluarga menumpuk. Kalau aku menikah sama mas Hermawan trus siapa yang ngurusin kios di Klewer, Mbok? Siapa yang mau mbayar semua utang kita, Mbok?Â
"Coba Mbok, nanti Pak Dhe Darman, Pak Dhe Janto, sama buruh yang lain, siapa yang mau kasih kerjaan? Semua sedang sepi sekarang, Mbok,"
"Lha Simbok ini harus gimana, Den Roro?"
"Aku ndak mau nikah sama mas Her,"
Mbok Nah pun hanya tertunduk. Ia sadar, ia hanyalah seorang batur, pembantu yang merasa terhormat sudah bisa mengabdi pada keluarga kraton meski hanya berpangkat Kanjeng Raden Tumenggung Haryo. Gelar bagi abdi dalem Kanjeng Gusti Pangeran.
Mbok Nah tak pernah mau banyak berkomentar. Ia tak mau jadi tombak cucukan, meleter ke sana sini menebar berita dari dalem kanjengan.
"Lha kok ndak mau itu gimana to, Den Roro?"
"Nikah itu bakal punya anak, Mbok, aku pasti bakal ndak punya waktu ngurusi kiosnya Rama,"
"Setiap rejeki itu datang sendiri sesuai Yang Ngatur, Den Roro....itu mature Ndoro Kakung dulu,"
"Rama ndak bilang apa-apa soal itu, Mbok. Rama cuma sibuk sama burung-burung sama ikan-ikan di kolamnya," protes Ragil dengan dahi yang mengerut.
"Nggih, Den Roro,"
"Sudahlah, Mbok. Besok, mas Her mau ke sini. Pasti mo ngomongin itu lagi. Aku bosan, mbok,"
" Nggih Den Roro,"
Ragil tak dapat menuntut lebih dari sikap hormat Mbok Nah. Bagi Ragil, Mbok Nah adalah seorang pelayan yang ia anggap lebih dari saudara. Namun Mbok Nah tetaplah batur, hanya pelayan yang merasa perkewuh, sungkan untuk menjawab pertanyaan Ragil.
Ragil pun tahu benar batasan itu, meski sejak dari kecil ia selalu crigis, dengan bawelnya menumpahkan apa yang dialaminya seharian pada mbok Nah. Dan akhirnya semua sambatan itu hanya seonggok curahan hatinya yang sedang gundah.
Seperti sore ini. Ragil mengurungkan niat untuk menyelesaikan pekerjaan kiosnya. Nota-nota itu kembali ditali dengan karet, dimasukkan kembali ke dalam kaleng bekas roti Lebaran dua tahun yang lalu.
Jemarinya di atas meja. Ditelangkupkan, seperti ia akan berdoa di gereja. Tetapi diam menyelimutinya. Hatinya gelisah, tak mengerti harus berkata apa.Â
"Mas,..."
"Dalem, Dhi ?"
"Adhi minta waktu lagi, mas,"
"Dhi, ini sudah tahun ke lima kita bersama. Kau tahu, aku pun tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Bisa jadi aku pun akan berhenti."
Dalam sekejap, Ragil merasa terhenyak. Kalimat yang tak pernah dilontarkan oleh kekasih hatinya. Biasanya Hermawan akan berusaha membujuknya. Tapi tidak untuk kali ini.
Mata Ragil menatap Hermawan yang sibuk mematikan rokok di asbak berukir kembang wijayakusuma. Perasaan Ragil terasa kecut. Baru kali ini ia merasakan aneh dalam batinnya. Pertanyaan demi pertanyaan memberangus emosinya saat itu.
Darah mengalir lebih cepat dalam tubuhnya. Ada rasa tak begitu jelas dalam benak yang tak segera berlalu. Pikirannya dengan cepat menghentak kacau. Ia tak pernah menyangka Hermawan setegas itu.
Debar jantung memompa adrenalinnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Bukankah ini yang ia harapkan? Selama ini ia jenuh dengan tuntutan keluarga Hermawan untuk cepat menikahinya.
Ia bahkan bosan ketika berulang kali Bu Dhe Tantri di Surabaya selalu menggunjingkan hal ini setiap kali ada pertemuan keluarga besar Suryodiningrat.
Apakah ini menjadi kesempatan baginya untuk mengatakan yang sebenarnya pada Hermawan? Tapi....mengapa masih ada tapi dalam benaknya? Mengapa sulit sekali ia jujur pada Hermawan untuk mengakhiri hubungan mereka dan menjemput kemerdekaan yang ia idamkan selama ini.
Ragil tetap membisu. Ruangan pendhopo pun sunyi. Hanya sebentar terdengar suara burung tekukur yang menyela perhelatan batin Ragil.
'Duh, Kanjeng Ibu, kok susah ini,' batin Ragil menjerit walau hanya sampai pada lehernya saja. Sementara dadanya sesak, dalam kepalanya ada begitu banyak hal yang bermunculan, sama seperti pembeli yang wara-wiri di depan kios pasarnya
"Sesulit itukah kau menentukan jawabanmu, Dhi?" pertanyaan Hermawan memudarkan lamunan Ragil.
Ragil tetap diam. Ingatannya yang bagai foto dalam frame, kembali membukakannya pada mbakyu Sita. Kakak perempuan semata wayangnya yang kini tinggal bersama keluarganya di Bali.
"Gil,...semesta itu adil. Renungkan itu. Jika kau bertemu seseorang, saat itu pula kau harus siap melepasnya. Ikhlaskanlah.
"Bila kau memilih, kau pun harus paham, bahwa konsekuensi akan mengikuti apa pun pilihanmu." lanjut Sita waktu mengantar anaknya libur Lebaran kemarin.
Sepotong kata-kata Galuh sahabatnya pun terngiang padat di telinganya,"Aku tahu, Gil. Emang ga mudah memutuskan untuk pasangan seumur hidupmu.Â
"Bahkan di usia kita yang tak muda lagi. Cuman, siapa pun itu, kau berhak mendapat yang terbaik. Apa Hermawan yang terbaik itu? Kau yang menentukan,"
Ragil masih terdiam. Matanya terpejam. Hatinya gundah. Batinnya gelisah.
"Mas Her, ..." ucap Ragil sangat pelan.
"Yha?"
"Mas Hermawan tahu aku harus menjaga Rama, bukan? Tapi itu bukan alasan utamaku. Aku ingin sendiri dulu, mas,"
"Aku sudah menunggu lama, Dhi...,"
"Nyuwun ngapunten, mas. Adhimu ini harus memilih. Jika Mas Her berniat untuk berhenti, maka, sudahlah, kita berhenti saja, Mas,"
Hermawan menarik nafas dalam, dan membuangnya kembali. "Sudah kau pikirkan lagi, Dhi?"
"Mas...aku putuskan untuk kita berhenti di sini saja. Nyuwun ngapunten, mas. Saya punya mimpi yang ingin saya wujudkan. Saya butuh seseorang yang mau dengan ikhlas membantu saya mewujudkannya, bukan meniadakannya,"
Hermawan menatap Ragil yang kembali menundukkan wajah dan menata kain-kain lurik yang masih ada di ruangan itu.
"Nak Her, sebaiknya Nak Her segera pulang, saya titip salam, buat Mbakyu Retna dan Kangmas Wartaseno di Surabaya," suara berat terdengar tegas muncul di balik pintu kamar di sisi selatan Pendopo.
"Rama," Ragil terkejut, tak mengira Rama nya yang selama ini diam tak pernah ikut campur urusan antara dia dan Hermawan tiba-tiba datang dan duduk diantara mereka berdua.
Hermawan pun segera menyadari kehadirannya tak lagi diinginkan di ruangan itu. Dengan kemaraha yang tersimpan di ubun-ubunnya, ia berkata, "Sudah cukup semua, Dhi. Aku sudah terlalu lama menunggumu. Ini sudah cukup,"segera Hermawan meninggalkan rumah joglo itu bersama mobilnya yang terpacu kencang.
"Mas Her...." panggil Ragil pelan. Ingin hatinya berlari meminta Hermawan kembali.Â
"Ragil,"cegah sang Rama. "Rama sudah tahu semua, anakku. Sudahlah. Kau anakku. Kau adalah hakku. Kau putriku. Rama tak akan membiarkanmu menikah dengan seseorang yang selalu membuatmu menangis."
"Bagaimana Rama tahu?"
"Rama selama ini diam, bukan berarti Rama acuh. Rama hanya tak mau mencampuri urusanmu dengan Hermawan. Tapi hari ini kau membuat keputusan. Dan Ramamu ini siap mendukungmu, putriku," Pak Menggung, begitulah orang-orang biasa memanggilnya, duduk di kursi kebanggaannya.Â
Ragil menunduk menangis, di sebuah kursi yang lebih pendek dari Ramanya. Segelas teh hangat dari Mbok Nah menelusup masuk ke dalam organ tubuh Ragil. Sedikit menenangkan pikirannya.
"Ramamu ini tak melarangmu menikah. Kau sudah cukup umur. Tapi Rama tak mau punya pikiran seperti Kangmas Tjokrokusumo, yang memang sejalan dengan istrinya, Bu Dhe Tantrimu itu. Anak kok dipaksa nikah. Ya, tapi memang harus begitu, suami istri harus satu pemikiran.
"Kalau kau mau, Rama masih punya stok kenalan banyak. Teman-teman Ramamu ini punya anak lelaki yang top. Itu kalau kau mau, gimana, Gil?"
Ragil masih tak menjawab. Ia seperti awan yang kehilangan angkasa.Â
"Cinta itu tidak buta, Gil. Cinta itu hidup dan menghidupi. Apa bersama Hermawan selama ini kau merasa hidup? Atau kau lebih merasa hidup dengan kios dan buruh-buruh kita?
"Jangan terlalu percaya diri sama pikiranmu sendiri, punyailah kemampuan untuk wani dewe, jangan merasa hidup harus sama Hermawan saja, kau bisa berdiri sendiri, Gil. Bukan bergantung pada Hermawan saja, trus susah....apa itu namanya...anak muda sekarang itu...kau ini jadi susah..."
"Move on, Rama," jawab Ragil pelan dalam senyumnya yang dipaksa. Setetes air mata segera ia usap kala mengalir di pipinya.
"Lha yha itu tadi. Wes, kalau mau nangis, sedih, yo nangiso, ndak pa pa. Tapi trus ajak dirimu kembali lagi, sadar kau ada di sini, bukan di saat tadi. Sudah, yo Gil," Pak Menggung membelai rambut putri bungsunya. Tangis Ragil semakin pecah.
Sesaat ia berhenti, Dan memandangi kain lurik yang berserakan di lantai pendipo."Besok biar Ragil dianter sama Pak Dhe Janto saja, Rama. Ragil mau mulai lagi ke langganan kita yang dulu," entah mengapa, kain-kain lurik itu mulai memicu benak Ragil kembali.
"Pergilah, Rama memberimu pangestu, cah ayu. Jemput mimpimu, Rama mendukungmu," Ragil masih gundah, mencoba berteman dengan satu rasa ikhlas.
Ia harus berdiri meski sendiri, walau ia tahu ketidakpastian itu ada di depan mata, namun Ragil percaya, ada mimpi yang ingin diraihnya.Â
Untuk  meneruskan hidup para buruh luriknya, untuk Mbok Nah yang gaji tiap bulan ditunggu keluarganya di rumah, untuk Pak Dhe Janto, dan Darman, serta cinta tulus Ramanya, juga mimpi yang selalu menyelubungi tidur malamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H