"Setiap rejeki itu datang sendiri sesuai Yang Ngatur, Den Roro....itu mature Ndoro Kakung dulu,"
"Rama ndak bilang apa-apa soal itu, Mbok. Rama cuma sibuk sama burung-burung sama ikan-ikan di kolamnya," protes Ragil dengan dahi yang mengerut.
"Nggih, Den Roro,"
"Sudahlah, Mbok. Besok, mas Her mau ke sini. Pasti mo ngomongin itu lagi. Aku bosan, mbok,"
" Nggih Den Roro,"
Ragil tak dapat menuntut lebih dari sikap hormat Mbok Nah. Bagi Ragil, Mbok Nah adalah seorang pelayan yang ia anggap lebih dari saudara. Namun Mbok Nah tetaplah batur, hanya pelayan yang merasa perkewuh, sungkan untuk menjawab pertanyaan Ragil.
Ragil pun tahu benar batasan itu, meski sejak dari kecil ia selalu crigis, dengan bawelnya menumpahkan apa yang dialaminya seharian pada mbok Nah. Dan akhirnya semua sambatan itu hanya seonggok curahan hatinya yang sedang gundah.
Seperti sore ini. Ragil mengurungkan niat untuk menyelesaikan pekerjaan kiosnya. Nota-nota itu kembali ditali dengan karet, dimasukkan kembali ke dalam kaleng bekas roti Lebaran dua tahun yang lalu.
Jemarinya di atas meja. Ditelangkupkan, seperti ia akan berdoa di gereja. Tetapi diam menyelimutinya. Hatinya gelisah, tak mengerti harus berkata apa.Â
"Mas,..."
"Dalem, Dhi ?"