"Hhhh, dasar Ryu," kuhempaskan tubuhku di sudut sofa cafe.
Aku diam. Sengaja memang. Aku ingin duduk dengan lelaki pujaanku ini. Bukan hanya aku. Ia adalah pujaan seluruh gadis kampus.
Aroma tubuhnya selalu membiusku. Aku menyukainya.Â
"Kenapa cemberut begitu, Ren?" sapanya sambil membalikkan badannya ke arahku.Â
Dan oh, kaos polo putih dan celana pendek santai yang dikenakannya membuat tubuh bidangnya sangat mempesonaku.
Dimas, andai saja kau tahu, aku tak ingin pergi dari tempatku sekarang. Ah, tapi kau hanya menganggapku sebagai teman. Kalau tidak, ....
Dalam sekejap pesona Dimas membuat kekesalanku pada Ryu teralihkan. Jantungku ini serasa ingin melompat saja. Aliran darahku terpompa sangat cepat. Kucoba alihkan pandanganku ke dinding cafe yang tiba-tiba menjadi lebih menarik dari pada wajah Dimas pagi itu.
Reni, kau harus bisa mengendalikan diri...
"Dim...proposal ku ditolak Ryu. Dasar Ryu ketua apaan. Masak aku sudah bikin proposal itu bagus-bagus, dananya udah ku bikin bagus, semua gambar kubuat menarik. Masih kurang aja....Hhhh," kembali wajah Ryu menghiasi kepalaku dan mendadak kekesalanku bertambah.
"Aku harus menyerahkan proposal ini ke meja Pak Wiyanto besok. Kau tahu kan Dim, padahal hari ini aku sudah ada janji dengan pimpinan perusahaan sponsor kami untuk acara itu. Gimana dong..," aku mencoba meminta bantuannya.Â
Sengaja lagi? Memang iya. Bukan karena aku tak bisa merevisinya, tapi aku hanya ingin bertemu dengan Dimas.Â