Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Asrama Putri

14 September 2019   20:57 Diperbarui: 14 September 2019   21:01 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Malam ini Sundari baru saja sampai di kota yang ia impikan sejak dari dulu. Tiba di depan sebuah rumah dengan pagar bercat kuning gading, langkahnya terhenti. Sejenak ia memastikan apakah tempat ia berdiri saat ini adalah alamat yang diberikan oleh eyang putrinya.

Hanya berbekal secarik kertas yang bertuliskan Jl. Menoreh Raya No. 108 ia memberanikan diri melangkah ke kota kecil tempat ia pernah tinggal bersama neneknya dahulu, sebelum sekarang berpindah ke rumah Tantenya.

"Anda siapa?" seorang gadis bermata sipit, berkulit kuning langsat tiba-tiba berdiri di belakang, dan membuat Sundari terkejut.

"Saya Sundari. Saya mau bertemu ibu Jannah yang punya rumah ini."

"Kakak mau tinggal di sini juga?"

Sundari tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Sekali saja. 

"Lyn!!" suara kecil melengking tinggi memanggil dari kejauhan. "Ada siapa? Tamu, ya?" tak lama muncul dari dalam rumah seorang wanita muda, berambut ikal digelung sembarang. Tubuhnya yang ramping hanya dibalut kaos oblong tipis dan celana jeans pendek.

"Iya, Kak Devi" jawab gadis yang bernama Lyn dengan polos.

Tak lama, Sundari segera masuk ke dalam rumah yang lebih mirip bangunan kuno ala zaman Belanda. 

Meja tamunya pun sederhana. Hanya terbuat dari kayu jati tua, seperti milik neneknya di kampung. Lantai rumah pun bukan keramik cantik model sekarang. Hanya keramik yang polos berwarna abu-abu.

Beberapa benda antik tertata apik di ruang yang terkesan kecil dan sempit. Semua foto yang menempel di dinding menunjukkan wajah-wajah kuno, bukan foto seperti jaman sekarang. 

Tak lama, keluar seorang wanita tua berbaju kebaya. Senyum manisnya membawa keteduhan tersendiri bagi Sundari. 

Setelah membaca sepucuk surat dari neneknya, mata wanita itu berkaca-kaca. Apa gerangan yang ditulis neneknya, Sundari pun tak ingin tahu lebih banyak, namun yang pasti, wanita itu lalu menuntunnya menuju sebuah kamar, yang letaknya tak jauh dari ruang tamu tadi. 

"Kamu, boleh tinggal di sini. Ini kamarmu," kata ibu Jannah.

Sundari lega. Akhirnya ia menemukan tempatnya berteduh. Ia bukan gadis yang mendambakan kemewahan. Kamar itu hanya mempunyai satu tempat tidur, satu almari, dan satu meja untuk belajar di dekat almari. Semua terbuat dari kayu jati kuno.

"Nanti sore, ada acara berkumpul bersama. Tiap Selasa sore, ibu pengen semua berkumpul di halaman belakang. Itu harus. Wajib," ujar Bu Jannah tegas.

Dalam hitungan hari Sundari mulai mengenal satu per satu penghuni asrama tersebut.

Ternyata gadis yang dipanggil Lyn punya nama agak sedikit panjang, Evelyn Purnama. Gadis itu sangat ramah, seluruh asrama mengenalnya. Mata sipit, kulit yang lebih cerah dari yang lain, rambutnya hitam lurus legam, dan logat bicara yang terdengar mempunyai aksen yang sedikit berbeda, membuatnya mudah dikenal oleh siapa pun. Sungguh tampak jelas ia keturunan Tionghoa.

Bagi Sundari, Lyn seperti putri Babah Ong yang ternama dengan warung Chinese Food di kampungnya.

Ada lagi Devi. Ia tak terlalu ramah. Devi adalah wanita muda yang terlihat sangat mandiri. Sangat jauh berbeda dari Lyn. Devi terlihat begitu dewasa. Pekerjaannya di sebuah agen properti. Setiap pagi ia selalu berpenampilan lebih rapi dari pada semua penghuni asrama putri Bu Jannah lainnya.

Devi lebih tersohor di kalangan para lelaki. Maklum saja. Ia sesosok wanita yang berparas cukup cantik, bertubuh langsing, dan berpenampilan selalu menarik. Jika ia tersenyum, sepertinya dunia ini pun runtuh. Namun senyum itu sangat mahal, kata teman-temannya. Ia terkenal sebagai seorang wanita yang sangat pendiam. Berbicara seperlunya saja.

Sundari hanya sekali saja melihat Devi tersenyum. Ya, pada waktu pertama kali ia dikenalkan dengan semua penghuni asrama.

Berkenalan dengan semua wanita di asrama itu membuatnya sangat senang. Terkadang ada beberapa dari mereka yang berkumpul di kamarnya. 

Hanya bercanda. Berbincang tentang pekerjaan mereka, lelaki yang mereka sebut sebagai pacar, atau masih dalam incaran, sampai kepada hal-hal yang terkadang sangat tidak penting, seperti bagaimana menjaga kaki supaya tidak berbulu. Untuk satu topik itu, biasanya Nala yang paling jago.

Nala adalah seorang gadis berumur 20-an. Pekerjaannya sebagai seorang penyiar radio, membuat gadis itu lebih banyak bercerita dan punya banyak sekali tema. Bahkan teman-temannya lebih mempercayakan semua informasi terbaru darinya dari pada melihat tayangan entertainment di televisi.

Tubuhnya yang sedikit gempal tak membuatnya lantas bermuram dan tidak percaya diri. Ia seringkali diundang oleh beberapa event organizer sebagai pemandu acara di berbagai event penting di kota ini. 

Pengetahuannya luas, pembawaannya yang selalu ceria membuat semua orang ingin selalu berdekatan dengannya. Keramahannya selalu membuat hangat semua orang di sekitarnya.

Satu orang lagi, yang selalu ikut meramaikan pesta kecil di kamar Sundari. Nama gadis itu Seruni. Seringkali teman-teman memanggilnya dengan nama Runi. 

Umurnya sepantaran dengan Sundari. Namun ia gadis yang sangat pendiam. Kadang tingkah lakunya terlihat aneh.

Runi jarang sekali bercerita. Sepertinya ia hanya ingin melengkapi suasana saja. Sundari lah yang seringkali mengajak Runi berbicara. Namun biasanya, hanya di jawab dengan kata "iya" atau "tidak". Tak lebih dari itu.

Semua orang tak pernah mengerti kebiasaan aneh Runi, saat ia berbicara pada ikan-ikan di akuarium Bu Jannah, atau pada anjing golden retriever milik Pak Joni di sebelah rumah. Kadang saat teman-temannya asik berbincang tentang pria idaman atau artis nan tampan, ia hanya memandangi semut yang berarakan di dinding kamar.

Pernah suatu kali Devi mencoba membunuh seekor kecoa yang tiba-tiba masuk dalam kamar. Tanpa takut Runi melompat dan menghalangi niat Devi. 

"Jangan,"teriak Runi. Tiba-tiba ia melompat menghalangi Devi yang sudah memegang sandal untuk membunuh kecoa itu.

"Itu, kecoa, Runi. Kasihan apa?" sahut Devi tak kalah jengkel.

"Itu juga hewan hidup. Bagaimana kalau... Bagaimana kalau..."

"Kalau apa?"sahut Devi makin geram. "Sudah minggir sana!"

"Jangan Kak Devi. Dia bisa terbang sendiri. Dia bisa keluar sendiri, dia ga usah dibunuh,"

Sundari dan Lyn hanya diam menempel di dinding seperti cicak ketakutan. Antara takut kecoa, dan takut pertengkaran dua sahabat ini berubah menjadi sebuah pertempuran yang sengit.

"Itu kecoa juga punya keluarga, Kak Dev. Masak Kakak ga kasihan. Biarin hidup knp sih?"

"Itu kecoa, hanya kecoa, binatang menjijikan tak berguna, Runi. Minggir....minggir...," desak Devi yang tak mau kalah, masih dengan sandal sebelah yang ada di tangan kanannya.

"Engga, biar dia hidup!" teriak Runi tak mau kalah.

Tiba-tiba, Pak Maman, suami Bu Jannah masuk dan mengambil kecoa yang sedari tadi pun masih menantikan vonis hidupnya dari pertikaian dua manusia bernama Devi dan Runi.

Tak ada yang berani melarang Pak Maman. Melihat sekelebat Pak Maman, maka meredalah pertikaian Devi dan Runi.

"Sudah. Semua kembali ke kamar," kata Pak Maman..Tanpa diulang, para gadis itu pun kembali  ke kamar mereka masing-masing.  

Pak Maman seorang pensiunan TNI AL.Tak pernah ada yang berani padanya. Jangankan melawan, hanya berdehem saja, anak-anak asrama tak pernah ada yang berani bersuara. Semua patuh pada apa pun yang dikatakan beliau. 

Hingga di usia lanjut Bu Jannah dan Pak Maman tak juga dikaruniai anak, mereka lebih memilih untuk menghabiskan sisa waktu berdua dengan menyewakan rumah warisan dari keluarga Bu Jannah.

Selain sebagai kegiatan sampingan, Bu Jannah seringkali merasa nyaman bersama penghuni asrama putri. Baginya mereka berlima adalah anak-anaknya sendiri. 

Pak Maman hanya beberapa kali saja ke asrama. Kadang hanya setiap hariSelasa, saat semua berkumpul bersama. Tetapi akhir-akhir ini Pak Maman sering ke luar kota untuk ikut festival jemparingan.

Kegiatan jemparingan , adalah olah seni memanah ala Jawa yang di dalamnya sarat dengan falsafah Jawa, di mana para pemanah harus duduk bersila,  dan berusaha untuk memusatkan perhatian pada target panahannya. 

Pak Maman seringkali menghabiskan waktu bersama kawan-kawannya . Sejak masa muda dulu, Sudarman Wiryopranoto, yang sering dikenal dengan Pak Maman bahkan sempat menjuarai beberapa lomba olah seni panahan Jawa tersebut. 

Malam ini, Selasa malam. Para gadis di asrama putri telah bersiap dan ikut menyiapkan hidangan ala kadarnya di halaman belakang. Mbok Tuminem chef terhebat di asrama putri sejak siang tadi sudah memasak beraneka ragam masakan. 

"Malam ini Bapak ikut datang, ya Budhe?" tanya Sundari pada Mbok Tuminem, yang biasa dipanggil Budhe.

"Iya, sepertinya ada hal penting," sahut Lyn

"Sebenarnya ada apa yo, Budhe? Kok Bapak kelihatan sangat serius gitu?" tanya Sundari lagi.

"Bapak mana pernah sih ga serius? Mukanya aja ga pernah senyum," sahut Lyn yang langsung tertunduk, menyadari ada Devi di ruangan itu.

"Yang ini Budhe ga tahu," jawab Mbok Tum singkat sambil merapikan meja makan yang telah terlihat manis dengan berbagai hidangan dan lilin yang telah dibiarkan menyala.

Makan malam itu segera selesai. Entah mengapa, Pak Maman terkesan terburu-buru. Memburu apa? Waktu? 

Selasa malam bukanlah waktu bagi Pak Maman untuk terburu-buru. Beliau selalu menyempatkan waktu untuk berbincang bersama anak-anak asrama bersama Bu Jannah. Tapi lain dengan malam itu.

"Ehem,"dehem Pak Maman makin menambah kaku suasana malam itu. Tak ada yang berani bersuara. Kecoak yang terlepas dari amukan Devi pun tak berani bergerak.

"Bapak, mau krama lagi,"sepatah kata dari Pak Maman terlontar bagai meriam, menghantam semua yang hadir, kecuali Bu Jannah yang tertunduk lesu.

"Krama?" suara Lyn memecah kebekuan malam di halaman belakang.

"Iya. Bapak akan menikah lagi, Lyn," jelas Pak Maman.

Semua hanya diam. Devi yang biasanya tak pernah mau tahu urusan orang lain, kini wajahnya menahan amarah yang sangat hebat. Namun ia hanya diam.

Yang paling terpukul adalah Nala. Ia memang anak asrama yang paling dekat dengan Pak Maman. Di asrama ini, dia lah yang pertama kali menempatinya. 

Saat itu, Pak Maman dan Bu Jannah masih menempati rumah yang sekarang dirubah menjadi asrama tersebut. Nala kecil saat itu berusia 6 tahun. Ia hanya seorang anak kecil lusuh, mengemis di pinggir jalan tanpa ada yang memperhatikan. Pak Maman dan Bu Jannah-lah yang kemudian mengasuh dan mendidiknya.

Bagi Nala, Pak Maman dan Bu Jannah adalah orang tua yang hilang dan tak pernah dikenali selama hidupnya. Hingga saat ini Nala menjadi wanita mandiri. 

Maka tak heran Nala yang pertama berdiri dan dengan uraian air mata, ia menjerit tak terima pernyataan Pak Maman.

"Bapak jahaaaat!" teriak Nala. "Kenapa? Hanya karena Ibu tak bisa punya anak? Bukankah kami pun anak-anak Bapak? Kenapa? Kenapa Bapak?"

Tak jua sepatah kata pun keluar dari mulut bijak Sudarman Wiryopranoto. Nala menghambur pergi dari halaman belakang, disusul Bu Jannah yang juga tak mampu menahan sedih dan air mata yang tertumpah.

Keheningan tercipta di ruang itu. Benar-benar hening. Sepi. Semua tak ada yang berani bertanya tentang alasan Pak Maman yang ingin menikah lagi.

Satu per satu meninggalkan Pak Maman yang berdiam dalam kebekuan malam. Bahkan Mbok Tum yang sering dipanggil Budhe pun juga tak berani mendekati ruang yang biasanya hangat dengan canda dan tawa anak-anak asrama putri.

Selasa malam itu asrama putri kembali sepi.

*Solo, saat hati ini ingin menyeka luka dengan cerita cinta. Ini cerbung, silahkan tunggu lanjutnya esok hari.... :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun