Sore itu angin masih bertiup seperti kemarin. Bangku taman itu pun masih terdiam di bawah sebuah pohon rindang yang cukup besar untuk menaungi siapa pun yang duduk di bawahnya. Satu tempat yang sangat nyaman di salah satu sudut kota ini.Â
Melalui pesan singkatnya, Tyo tiba-tiba menyuruhku datang ke tempat ini. Di sini kami berdua sering berdiskusi tentang satu kasus yang sedang kami selidiki bersama. Bukan kasus yang besar, seperti yang sering ditangani Sherlock Holmes. Ini mungkin hanya rasa ingin tahu kami yang terlalu dalam.Â
Sejuknya sore ini membuatku ingin terus berada di taman ini. Entah mengapa, Tyo belum datang. Tyo adalah teman sekelasku. Sekolah kami cukup terkenal. Kata orang, sih. Tapi menurutku biasa saja. Di sekolah Tyo memang sosok yang cukup terkenal. Banyak cewek suka sama dia. Tak tampan, tapi smart.
Kami berdua mengelola mading, sekaligus majalah sekolah, tentu saja di sekolah kami. Beberapa anggotanya sudah mulai mengundurkan diri. Ada saja alasan mereka. Sekarang tinggal aku, Tyo, Nana, Fajar, dan Adit.Â
Sebenarnya aku bukan anggota resmi. Tapi, kata Tyo aku diminta masuk ke formasi redaksi majalah itu. Enggan sih, tapi, karena sepenggal cerita inilah aku mulai ikut ambil bagian.
Siang itu, aku bertemu dengan Nana. "Vin, tolong ya, kasih ini ke Tyo. Plis,..."
"Ya, emang ngapain musti aku?"
"Males aku ketemu Tyo. Trus minta tolong deh, bilang ma dia ya, Selasa ga jadi kluar. Aku ada liputan ma Fajar,"
"Tapi, Na..."
"Udah. Makasiiiii, ya..."
Kulihat dia berlari meninggalkan kelas. Aku tak mengira, Tyo ada di dalam kelas.
"Eh, Vin, mana puisi lo?" bak tukang kredit Tyo menagihku lantang.
"Rehat. Aku ga kirim puisi dulu. Nih ada surat. Jaman udah maju, masih aja tulis surat, nge chat kan bisa?"
Sebentar kemudian Tyo melipat surat itu. Oh, bukan. Tyo malah merobek dan membuangnya di tempat sampah.
"Bodo amat,"
Aku hanya melirik ke arahnya dan melanjutkan lagi keasikanku dengan novel yang baru saja kupinjam dari perpustakaan. Bel berbunyi. Istirahat siang itu berakhir, tanda kami harus berhadapan lagi dengan rumus kimia dan Pak Ary, guru yang super ganteng jadi pujaanku sepanjang masa.
Jam dinding sudah menunjuk ke angka 2.Â
"Tet...tet...tet..." bel sekolah selalu menjadi penyelamatku.
Gerbang sekolah segera dipenuhi oleh para murid yang ingin segera menyelamatkan diri dari penat di siang itu. Aku masih berjalan santai. Kalau bisa dari kelasku yang ada di lantai dua ini, aku alangsung melompat keluar gerbang.
Halte bis itu pasti sudah menungguku.
"Vin...Vina..!" ada suara Tyo di belakangku. "Tunggu bentar. Aku mo ngomong. Bentar aja."
Mataku hanya berkedip. Dengan wajah datar nan lelah aku duduk di sebuah bangku di depan kelas sebelah.
"Bikin puisi dong,...pliss"
"Ogah. Kagak ada minat"
"Kay kalo gitu, bantuin aku bikin artikel bahasa inggris dong. Kamu kan paling jago di kelas?"
"Nana aja kenapa? Biasanya dia yang bikin tuh"
"Kali ini kamu aja deh. Nana lagi ada liputan  ma Fajar soal pawai budaya, gitu."
"Oh ya, kata Nana, besok Selasa dia ga bisa kluar malem. Katanya buat liputan itu"
Wajah Tyo kembali muram.Â
"Kenapa, Yo?" Tyo tak menjawab. "Yo, kita kan kenal nih sejak SMP dulu. Sejak SD malah. Mang kenapa sih?"
"Vin, aku ga mo ngebahas itu deh. Aku tunggu artikel Inggris kamu ya. Besok. Di ruang Mading."
Dua hari berlalu. Seperti janjiku, kubawa artikelku ke ruang Mading yang tak jauh dari ruang Osis. Ruang itu kecil. Ya, cuma sepetak. Saat itu semua siswa sudah pulang. Dari luar ruangan langkah kakiku terhenti. Kulihat dari celah sempit ruang itu ada Tyo yang baru berbicara dengan Pak Teguh, kepala sekolah kami.
"Awas ya, kalau sampai kamu macam-macam, Bapak bisa mengeluarkan kamu dari sekolah ini," terdengar suara Pak Teguh begitu tinggi.
"Saya tidak akan pernah takut dengan ancaman Bapak. Kalau memang terbukti, Bapaklah yang harus siap menanggung semua resikonya," jawab Tyo tak mau kalah.Â
Entah apa yang terjadi. Tapi ketakutan itu tiba-tiba membuat jantungku berdetak lebih kencang. Aku bersembunyi dibalik celah lorong di samping ruang Mading, saat Pak Teguh keluar dari ruangan itu dengan wajah yang geram.
"Kamu ada urusan apa sama Pak Teguh, Yo?" tanyaku penasaran
"Biasa lah... Karena kamu sudah tahu, jadi sekarang aku jelaskan. Ini semua karena ada satu kasus yang akan aku selidiki. Semua sebenarnya sudah tahu ini. Tapi tak pernah ada yang bisa membuktikan kebenaran dari isu yang beredar."
"Maksudmu tentang ..."
"Dugaan suap dan korupsi Pak Teguh, "
"Gila kamu, Tyo. "
"Aku sudah punya bukti itu. Tapi, aku belum berani melangkah. Karena bukti itu ada pada Fajar."
"Tinggal minta ke Fajar dong. Kenapa bingung?"
"Fajar pernah memberikan bukti itu. Tapi entah mengapa tiba-tiba bukti yang tersimpan dalam flash disk itu hilang. Waktu itu kusimpan di laci ruang Mading ini. Tapi keesokan paginya kucari kemana-mana. Dan hasilnya nihil."
"Mengapa Fajar? Bisa jadi itu orang lain."
Tyo hanya tersenyum.Â
Dan sepulang sekolah, Tyo mengirimkan sebuah pesan singkat. Dan disinilah aku. Di taman ini. Angin masih asik mempermainkan daun-daun di pohon rindang ini. Tiba-tiba Fajar datang dan duduk di sebelahku.Â
Sikapnya yang begitu kikuk sangat membuatku bertanya-tanya.Â
"Ada apa, Vin?"Â
"Ga pa pa,"
"Kenapa chat aku pengen ketemuan di sini?"
Wajahku berubah seketika. Kulihat lagi HP ku. Benar Tyo yang mengirimkan pesan singkat itu. Tapi, mengapa...yang datang malah Fajar?Â
"Bukannya kamu ada liputan hari ini sama si  Nana?"
"Bisa ditinggal kok. Lagipula ada Tyo yang gantiin."
Oh, mengertilah aku sekarang. Semua karena si Tyo kurang kerjaan itu. Awas saja nanti. Tapi, apakah ini ada hubungannya dengan penyelidikan Tyo?
"Beeb, beep, beeb...." suara nada dering HP ku memecah lamunanku. Ada pesan singkat Tyo disana.
'tunggu aku disitu, Princes, aku sudah menemukan jawabannya'
Tak lama kemudian Tyo muncul dan dengan senyum angkuhnya, dia menjabat tangan Fajar.Â
Raut muka Fajar yang semula terlihat kikuk, berubah menjadi pucat saat Tyo memperlihatkan sebuah flash disk.
"Kamu kaget? Tenang saja, kawan. Biar aku jelaskan satu persatu. Saat kamu memberiku barang ini, aku senang, ternyata ada bukti yang kuat, yang bisa aku gunakan untuk membuktikan aksi korupsi dan suap Pak Teguh.
Tapi, bukti itu tiba-tiba hilang. Dan kau tahu, Vin, mengapa aku menuduh Fajar? Bukan menuduhnya tanpa bukti. Saat mencari flash disk itu, aku menemukan selembar kertas bergambar sketsa ini."
Ada selembar kertas bergambar sketsa seorang wanita, dan itu mirip...
"Ya, itu sketsa wajahmu, Vin. Dan aku sering melihat Fajar menggambarnya, karena dia tertarik denganmu, sahabatku. Itu mengapa aku segera membuat rencana agar kalian berdua bertemu di sini. Maaf aku membohongi kalian.
Dugaanku ternyata tepat. Flash disk ini ada di dalam tas equipment liputan. Jangan takut, Jar. Aku tak akan melibatkanmu dan tak akan kusebut namamu dalam laporan ku nanti."
"Bagaimana jika Pak Teguh nanti mengelak dari tuduhan itu? Dia pintar membuat alibi, dan bisa saja dia menyuap beberapa guru untuk..."
"Tenang, aku sudah bekerjasama dengan Pak Rangga, Bu Ratna, dan Pak Ary, mereka yang selama ini mendukungku untuk mengungkap kasus ini. Banyak uang negara yang sudah dimanfaatkan Pak Teguh untuk keperluan pribadinya. Teman-teman OSIS juga sudah gerah."
Tiba-tiba Fajar pergi begitu saja dari hadapan kami.
"Nana sama siapa"
"Adit lah,"
"Kenapa bukan kamu aja sekalian yang nemenin?"
"Ga ah. Aku harus nyelametin kamu dari Fajar, kan?"
"Bukannya kamu ma Nana..."
"Kami dah putus. Kemaren. Kamu sendiri kan yang anterin suratnya ke aku?"
"Hmmm, sudah kuduga,"
"Ke rumah Pak Ary, yuk. Antar flash disk ini,"
Wow... berbinar mataku demi mendengar ajakan Tyo kali ini.Â
"Ga jadi deh, ganjen gitu," Tyo kembali duduk di bangku.
"Giliran Fajar aja, kamu bohongin aku, Yo. Sekarang aku mo ketemu sama Pak Ary ga boleh. Gimana sih kamu? Sahabat macam apa kamu, Yo.."
"Iya, sory, aku minta maaf soal Fajar. Tapi jangan Pak Ary dong."
"Kenapa?"
"Aku tuh deketin Nana gara-gara kamu, tahu? Aku suka ma kamu,"
"Serius kamu, Yo?"
"Iya,"Â
"Tapi kan kita temenan, Yo. Temen aja kali, Yo. "
"Hmmmh...sudah kuduga. Ke rumah Pak Ary aja deh, kalo gitu."
Begitulah, kami melangkah meninggalkan cerita di bawah pohon besar itu. Saat malam mulai merayap menggantikan tugas sang senja, kami berdua menanti datangnya esok hari saat surat kabar lokal mengabarkan kasus Pak Teguh dan korupsinya yang telah terbongkar oleh siswanya sendiri.
writen by ayudiahastuti
solo, April 22, 2019
@ 17:45 waktu Indonesia bercerita.
salam Literasi anak negri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H