Mataku hanya berkedip. Dengan wajah datar nan lelah aku duduk di sebuah bangku di depan kelas sebelah.
"Bikin puisi dong,...pliss"
"Ogah. Kagak ada minat"
"Kay kalo gitu, bantuin aku bikin artikel bahasa inggris dong. Kamu kan paling jago di kelas?"
"Nana aja kenapa? Biasanya dia yang bikin tuh"
"Kali ini kamu aja deh. Nana lagi ada liputan  ma Fajar soal pawai budaya, gitu."
"Oh ya, kata Nana, besok Selasa dia ga bisa kluar malem. Katanya buat liputan itu"
Wajah Tyo kembali muram.Â
"Kenapa, Yo?" Tyo tak menjawab. "Yo, kita kan kenal nih sejak SMP dulu. Sejak SD malah. Mang kenapa sih?"
"Vin, aku ga mo ngebahas itu deh. Aku tunggu artikel Inggris kamu ya. Besok. Di ruang Mading."
Dua hari berlalu. Seperti janjiku, kubawa artikelku ke ruang Mading yang tak jauh dari ruang Osis. Ruang itu kecil. Ya, cuma sepetak. Saat itu semua siswa sudah pulang. Dari luar ruangan langkah kakiku terhenti. Kulihat dari celah sempit ruang itu ada Tyo yang baru berbicara dengan Pak Teguh, kepala sekolah kami.