Kulihat dia berlari meninggalkan kelas. Aku tak mengira, Tyo ada di dalam kelas.
"Eh, Vin, mana puisi lo?" bak tukang kredit Tyo menagihku lantang.
"Rehat. Aku ga kirim puisi dulu. Nih ada surat. Jaman udah maju, masih aja tulis surat, nge chat kan bisa?"
Sebentar kemudian Tyo melipat surat itu. Oh, bukan. Tyo malah merobek dan membuangnya di tempat sampah.
"Bodo amat,"
Aku hanya melirik ke arahnya dan melanjutkan lagi keasikanku dengan novel yang baru saja kupinjam dari perpustakaan. Bel berbunyi. Istirahat siang itu berakhir, tanda kami harus berhadapan lagi dengan rumus kimia dan Pak Ary, guru yang super ganteng jadi pujaanku sepanjang masa.
Jam dinding sudah menunjuk ke angka 2.Â
"Tet...tet...tet..." bel sekolah selalu menjadi penyelamatku.
Gerbang sekolah segera dipenuhi oleh para murid yang ingin segera menyelamatkan diri dari penat di siang itu. Aku masih berjalan santai. Kalau bisa dari kelasku yang ada di lantai dua ini, aku alangsung melompat keluar gerbang.
Halte bis itu pasti sudah menungguku.
"Vin...Vina..!" ada suara Tyo di belakangku. "Tunggu bentar. Aku mo ngomong. Bentar aja."