"Maaf bukan maksudku seperti itu"
"Ya. Aku mengerti maksudmu. Sungguh aku tidak apa-apa. Jangan mengasihaniku karena kekuranganku ini."
Aku semakin merasa kalah dibandingnya, "maksudku mengapa kau berjalan sendiri malam-malam begini?"
Lagi-lagi dia menghiasi wajahnya yang cantik dengan senyuman, "Aku sudah biasa ke sini. Bagi orang buta sepertiku apa bedanya pagi, siang atau malam? Ya bukan?"
Oh ya aku mengerti maksudnya. Aku bangga mempunya teman seperti dia. Ya, teman. Dialah Dara, si gadis buta itu. Dara tidak pernah mengeluh atas kekurangannya itu. Dara dilahirkan di dunia tanpa pernah diberikan kesempatan untuk melihat indahnya dunia ini. Bahkan Dara belum sempat melihat wajah Ibunya yang telah meninggal dunia akibat kecelakaan mobil 6 bulan yang lalu. Â
***
      Lembayung di pojok timur mulai menggeser ke barat dengan perlahan. Semakin gelap dan gelap tapi setelah itu berangsur terang kembali dan akan tetap begitu seterusnya.
"Hmm apa bisa?"
"Tentu. Mengapa tidak?" begitulah Dara, dia selalu meyakinkanku
Itu adalah pertemuan terakhirku dengan Dara sebelum aku pergi ke Yogyakarta. Dengan tidak begitu yakin aku coba mendaftarkan diri pada Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta untuk mengambil fakultas seni. Dara selalu meyakinkanku jika aku akan lolos ke universitas itu. Dara juga yang selalu mengajariku untuk selalu menghargai setiap hembus nafas ini.
***