Mohon tunggu...
Diah Ayu Candra
Diah Ayu Candra Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Halo selamat datang di duniaku...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu di Rintik Hujan

10 Desember 2022   20:12 Diperbarui: 10 Desember 2022   20:26 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Ada guru sejarah baru mengajar di kelasku, begitu yang kudengar dari percakapan mereka. Ehm teman-teman maksudku, mungkin. Bagiku mereka hanyalah anak-anak yang kebetulan dikelompokkan bersama denganku dalam kelas ini. XII IPS2, ya ini kelasku. Mereka? Teman? Kupikir bukan. Bahkan aku lupa kapan terakhir aku punya seseorang yang bisa kusebut teman. Ada pepatah ada pertemuan, ada juga perpisahan. Karena itu aku tidak mau memulai sebuah pertemuan lagi. Aku takut bahkan terlalu takut untuk menerima perpisahan itu. Mungkin aku pengecut, tapi itulah aku. Orang-orang yang aku sayang selalu akan meninggalkan aku sendiri. Dengan mudahnya mereka membuatku menangis. Dimulai dari Ayah, beliau pergi. Pergi jauh sekali, Tuhan yang telah mengajaknya pergi. Dulu Ayah janji padaku akan selalu menemaniku, ingatkah kau Ayah? Mengapa kau ingkari itu Ayah?

            Aku ingat saat terakhir melihat wajahnya yang kuning sawo matang, dengan rambut lurusnya yang tetap terlihat rapi,  wajahnya begitu berkilauan sungguh tampannya Ayahku. Saat itu aku baru duduk dikelas 1 SMA, berarti itu dua tahun yang lalu. Kamis tanggal 21 Mei 2010, masih pukul 08.45 WIB tapi aku diharuskan pulang karena ada telefon dari rumah. Aku belum tahu mengapa aku dipulangkan lebih awal, hanya sedikit terselip rasa takut. Hah aku tidak tahu apa itu dan mengapa.  Sesampainya di rumah jantungku hampir berhenti berdetak, langkahku terhenti saat ada bendera warna kuning yang dikibarkan di rumah. Aku hanya diam tak mengeluarkan sepatah katapun hanya diam berdiri mematung perhatikan bendera kuning itu. Ada mama yang datang menghampiriku dan langsung memelukku.

"Ayah... telah pergi nak." bisik mama padaku.

Taukah bagaimana rasanya? Seperti terhempas oleh kereta api dan menjadikanku serpihan-serrpihan kecil. Seperti kau memotong aliran nadiku hingga membuat darah ini berhenti mengalir, buatku tak berdaya atas tubuh ini. Dan aku hanya diam, menangispun tidak. Aku mencoba menutup mata berharap saat kubuka kembali mata ini, semua ini tak nyata. Bodoh! Ini nyata.  Aku berjalan perlahan memasuki rumah. Memperhatikan orang-orang yang ada saat itu. Mereka menangis, berdoa sembari menangis. Sesekali mereka menghampiriku yang hanya berdiri diam melihat tubuh yang terkujur kaku berselimutkan kain batik yang cantik.

"Aldia.. yang kuat ya" selalu itu yang mereka ucapkan. Seolah aku yang saat itu jatuh terpuruk dalam sebuah jurang kesedihan. Aku baik-baik saja. Tidakkah mereka tahu?

***

            Guru baru itu datang. Perlahan ia memasuki ruangan kelasku. Kalau tidak salah namanya Pak Sutedjo. Kulitnya bersih kuning langsat. Wajahnya lumayan untuk lelaki usia sekitar 30-an itu. Kelasku begitu gaduh saat Ia datang.

"Pagi anak-anak!" sapa Pak guru baru itu. Malang, tidak ada yang menghiraukannya. Ada yang sibuk membicarakan model baju yang tertera pada majalah bulanan. Beberapa  asyik dengan handphone di tangannya. Ada yang sibuk memainkan potongan-potongan kertas berwarna yang kemudian ditaburkannya ke lantai.  Ada pula Mia yang jadi bulan-bulanan anak laki-laki yang iseng menakut-nakuti Mia dengan kecoa. Dan aku? Hanya diam. Tenggelam dalam pikiranku yang hening.

"Harap tenang anak-anak!" nampaknya guru itu mulai merasa kalah dengan situasi ini. Mereka yang semakin gaduh dengan kesibukannya masing-masing.

Ah.. tidakkah mereka sadar ada seorang guru yang siap menanti perhatian dari kami?

"Brrraaakkkkk..." spontan tanganku menggebrak meja di hadapanku dan pergi meninggalkan kelas tanpa sepatah katapun. Aku tak peduli mereka yang langsung diam terpaku padaku. Jangankan mereka, akupun tak mengerti perasaanku saat itu. Rasanya sungguh muak, muak sekali dengan semua keributan yang mereka buat.  

***

            Langit malam ini sungguh cerah, bintang-bintang dan bulannya terlihat jelas menerangi gelap bumi dimana aku berada sekarang. Aku lebih suka memandanginya sendiri. memperhatikannya satu-persatu. Kadang berusaha menghitung berapa jumlah bintang yang ada saat itu "haha" aku tertawa sendiri. mataku terus memandang ke atas jauh di sana, sampai tak sadar telah berjalan jauh.

"Aww..." aku sedikit meringis karena terjatuh, tak sadar telah menabrak seseorang yang berlawanan arah denganku. Seorang gadis, mungkin seusia denganku. Cantik, rambut ikalnya  menari-nari dimainkan angin malam. Dia memakai baju tipis lengan pendek berwarna violet dengan rok motif bunga-bunga selututnya.

"Maaf"  dia mencari tanganku dan berusaha membantuku untuk berdiri.

"Hey.. kamu ini punya mata tidak?"

Dia tersenyum dan berkata, "Aku sungguh menyesal, seandainya mataku ini bisa kugunakan untuk melihatmu. Sekali lagi aku minta maaf". Gadis itu kembali tersenyum manis padaku dan melanjutkan langkahnya.

Aku diam dan terus memperhatikannya. Gadis buta itu berjalan tanpa tongkat di tangannya. dia pasti gadis yang sangat tegar. Tidak sepertiku.

"Hey tunggu sebentar!"

Gadis itu membalikkan badannya dan berkata lembut, "Ya? Ada apa?"

"Ehm maaf aku tidak tahu kalau kau..."

"Buta?" Dia melanjutkan ucapanku. Kembali dia tersenyum.

"Maaf bukan maksudku seperti itu"

"Ya. Aku mengerti maksudmu. Sungguh aku tidak apa-apa. Jangan mengasihaniku karena kekuranganku ini."

Aku semakin merasa kalah dibandingnya, "maksudku mengapa kau berjalan sendiri malam-malam begini?"

Lagi-lagi dia menghiasi wajahnya yang cantik dengan senyuman, "Aku sudah biasa ke sini. Bagi orang buta sepertiku apa bedanya pagi, siang atau malam? Ya bukan?"

Oh ya aku mengerti maksudnya. Aku bangga mempunya teman seperti dia. Ya, teman. Dialah Dara, si gadis buta itu. Dara tidak pernah mengeluh atas kekurangannya itu. Dara dilahirkan di dunia tanpa pernah diberikan kesempatan untuk melihat indahnya dunia ini. Bahkan Dara belum sempat melihat wajah Ibunya yang telah meninggal dunia akibat kecelakaan mobil 6 bulan yang lalu.  

***

            Lembayung di pojok timur mulai menggeser ke barat dengan perlahan. Semakin gelap dan gelap tapi setelah itu berangsur terang kembali dan akan tetap begitu seterusnya.

"Hmm apa bisa?"

"Tentu. Mengapa tidak?" begitulah Dara, dia selalu meyakinkanku

Itu adalah pertemuan terakhirku dengan Dara sebelum aku pergi ke Yogyakarta. Dengan tidak begitu yakin aku coba mendaftarkan diri pada Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta untuk mengambil fakultas seni. Dara selalu meyakinkanku jika aku akan lolos ke universitas itu. Dara juga yang selalu mengajariku untuk selalu menghargai setiap hembus nafas ini.

***

            Sebulan sebelum tes aku sudah berada di Yogyakarta untuk mengikuti bimbingan-bimbingan belajar sebelum tes masuk diadakan dan juga agar lebih mengenal kota yang akan aku tempati selama kurang lebih 4 tahun ke depan.  Nampaknya aku sudah mulai menyukai kota ini, tapi tanpa Dara serasa ada yang kurang. Ah apa kabarnya dia? Bagaimanakah dia sekarang? Pastilah makin cantik. Sengaja semenjak di Yogyakarta aku belum pernah menghubunginya, supaya ini menjadi kejutan baginya. Pastilah dia akan senang jika mengetahui aku diterima di perguruan tinggi ini. Hmm aku tak sabar menunggu minggu depan. Aku akan pulang ke Jakarta untuk mengambil syarat-syarat registrasi ulang dan tentunya untuk menemui sahabat tercintaku Dara.                                                          

                                                                        *****

"Asalamualaikum.."

"wa'alaikumsalam.."

"Om.. Dara ada?" tanyaku tak sabar. Mendadak wajahnya muram. Aku tak mengerti apa yang telah terjadi sesungguhnya. Matanya seperti menahan sebuah kesedihan yang sangat mendalam. Dengan sedikit tersenyum Ayahnya mengajakku masuk dan menunjukkan sebuah kamar. Kamar itu bernuansa violet. Ehm mungkin ini kamar Dara karena setauku Dara sangat menyukai warna violet. Kamarnya tertata rapi dengan lampu hias cantik yang menggantung di langit-langitnya. Tak lama aku memandangi kamar ini, Ayah Dara memberiku sebuah surat kecil berwarna violet

                                    Untuk sahabatku. Aldia

Langit muram

            Terusik awan nakal

            Mentaripun seolah enggan menemani

            Semalam hujan, kawan

            Kubiarkan ia membasuh jiwaku yang lara

            Kuhitung rintik hujan yang jatuh

            Kutitipkan rindu pada setiap rintiknya

            Adakah telah sampai padamu?

            Kau di sana, tetaplah di sana.

            Maafkan aku yang harus pergi.

                                    Salam sayang. Dara.

Ia telah pergi tak kuat menahan kanker di otaknya 3 minggu yang lalu. Aku terjatuh tak kuat menahan tangis.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun