Mohon tunggu...
Dhimas Soesastro
Dhimas Soesastro Mohon Tunggu... -

Dhimas Soesastro; ini bukan nama sebenarnya, tetapi hanyalah sebuah Nama Pena untuk menulis sastra. Nama pena ini kupilih untuk menyatukan aku,ayah dan kakek.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Koin Terakhir Untuk Ayah

17 April 2012   07:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:31 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14215111611322937955

Syahid tampak sangat gembira bermain-main dengan bidadari kecilnya, Salwa. Sesekali bola-bola mini aneka warna tersebut dilempar-lemparkannya ke badan Salwa. Siang itu, arena mandi bola seakan menjadi milik mereka berdua. Ia sengaja tidak mengajak serta Istrinya, Umi Aisyah. Suasana ini benar-benar menjadi miliknya berdua dengan Salwa.

“Ayo Yah.. lempar lagi bolanya…he he he he he”

“ Uppps… woods… kena.. kena kena… heheheheh….” Bola warna warni itu kembali dilempar-lemparkan Syahid ke tubuh Salwa.

“tidak kena ayah, tidak kena tidak kena….” Lincah sekali gerakan Salwa menghindari lemparan bola Syahid.

Inilah pertama kali Syahid bisa mendekap Salwa untuk melepas kerinduan setelah dua tahun lebih ia meninggalkannya untuk sebuah perjalanan panjang dan kehidupan lain yang serba keras. Saat itu Salwa baru berumur dua tahun ketika Syahid pemit pada Istrinya Umi Aisyah pergi tanpa pernah memberi tahu kemana dan untuk tujuan apa.

Kini Salwa sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang pintar, lucu dan sangat menggemaskan. Usianya belum genap lima tahun, lidahnya semakin jelas mengucapkan kata “ayah”. Salwa telah mengubah tekad Syahid untuk berhenti dari semuanya dan memulai hidup baru.

“…hihihihihihihihi….. ayah payah… lempar lagi ayah, ayo lempar lagi ayah…” Tawa renyah Salwa seperti membuyarkan lamunan Syahid..

“.. hehehe… akhh… ukhh…. Ayah sudah capek.. nih.. kita keluar yuk.. ganti mainan mancing boneka aja, ayo.. ayo.. yuks…”

“Horeeee... ayo ayah…,.. Salwa suka mancing bola, tapi kalau sama Umi tidak pernah dapat bonekanya… aahhh…”

Syahid dan Salwa segera keluar ruang jaring-jaring kotak berisi ribuan bola bola kecil warna-warni tersebut. Guratan gembira masih terbambar diraut wajah mereka berdua.

“ayah.. ayah.. sini biar Salwa aja yang beli koinnya.. sini Ayah, minta uangnya……”

“.. Salwa berani?”

“..berani.. Ayah.. hehheh”

“…wahh!!?? Salwa Anak ayah yang hebat!!, ini uangnya.., ayah tunggu sana ya”

“baik Ayah..”

Salwa segera berlari ke kasir. Syahid tidak melepaskan sedetikpun pandangannya dari langkah demi langkah kaki-kaki Salwa yang mungil. Tak lama berselang, tangan halus Salwa sudah mengulurkan Koin untuk Syahid..

“ini ayah.. Salwa sudah dapat koinnya..”

“ayo.. ayo.. mari kita mulai memancing.. hehehehe.. Salwa yang pancing dulu… nanti baru gantian Ayah ya…”

“.. Ayah, angkat Salwa dong..., soalnya gak sampe nih.. kurang tinggi qiqiqiqiqiqi gak bisa lihat bonekanya hi hihihihi…“

Sambil setengah menggendong Salwa, Syahid begitu antusias memandu arah gerakan stick kontrol permainan tersebut..

“ayo.. terus... terus.. geser kekanan sedikit.. ya, maju sedikit… nah pas, itu arahkan ke boneka panda yang gemuk itu Salwa..”

“ya ayah…., sudah pas ini ayah?”

“sudah Salwa, ayo tekan tombolnya…”

“satu… dua… tiga………. Ahhhh…… tidak dapat Ayah…. Heheheh.. sekarang giliran ayah…”

“yups.. lihat nih.. Salwa mau boneka yang mana?”

“yang itu ayah…, boneka meong itu Yah, yang dipinggir…. “

“siap tuan putri.. eeeng ing eeeng… lihat… satu… dua….tigaaa...”

“ayo ayah.. tekan tombolnya…. Hups… angkat Yah.. Angkaaat.. Yaaa.. Horeeee dapaaatttt….. !!!”

Tawa girang Syahid dan Salwa pecah memenuhi arena, mengalahkan bising suara mesin-mesin permainan itu. Merekapun melanjutkan pemancingan berikutnya. Koin demi koin terus dimasukkan, hingga tanpa terasa kini hanya tersisa satu Koin saja. Tangan lembut Salwa memberikannya untuk Syahid dengan harapan bisa kembali memancing boneka yang dipilihnya…

“ini Ayah.. Koinnya tinggal satu….”

Dalam hati Syahid, rasa bahagia campur haru berkecamuk tidak rupa bentuk lagi. Kali ini ia benar-benar merasakan dirinya ada, dibutuhkan dan sangat berarti, bagi seorang anak kecil bernama Salwa. Tidak terasa air mata mengalir tipis di pipinya. Sebelum Salwa melihatnya, buru-buru Syahid menghapus dengan punggung tangannya.

Begitu terharunya Syahid hingga tanpa disadari tiga orang berbadan kekar berambut cepak dan stelan jaket kulit hitam, sudah mengelilinginya. Mereka sangat tenang dan dingin menyapa Syahid.

“selamat siang Saudara Syahid, atas nama hukum negara kami harus membawa Anda ke kantor untuk menjalani pemeriksaan” Pria ini merapat ke Syahid sambil menodongkan pistol dari balik jaket kulitnya.

“…sebaiknya Anda tidak melakukan perlawanan! Ingat keselamatan Anda, putri Anda dan anak-anak di arena permainan ini!” laras pistol terasa semakin kuat menekan perut Syahid.

“.. baik.. baik…, saya tidak akan melakukan perlawanan, tetapi bagaimana dengan anak saya???” Syahid setengah menahan teriakannya.

“ayah.. ayah.. ada apa ayah…?? mereka ini siapa ayah… kenapa mereka mau jahat kepada Ayah??” Salwa mulai curiga dan perlahan histeris.

“tidak nak.. tidak.. mereka teman ayah.. Salwa jangan takut ya…, nanti juga om om ini akan pergi….”

“… ayo, sebaiknya cepat ikuti kami!!! Kami sudah tidak punya cukup waktu, anda harus segera kami bawa ke kantor untuk menjalani pemeriksaan…”

“ya.. tapi bagaimana dengan anak saya..???!!!”

“jangan banyak pertanyaan!!, ikut kami atau kami akan tembak ditempat!!”

“ayaah…. jangan tembak ayah saya….!!” Salwa meronta-ronta dalam cengkraman lelaki kekar lainnya.

" Kamu jahat!! Om Jahat!! Kalian semua jahaaaat!!”

Para lelaki kekar berambut cepak itu tidak memperdukikan tangisan histeris Salwa… mereka segera membekuk tangan Syahid.

Orang orang di sekitar arena permainan hanya terdiam heran. Sebagian menyingkir menjauhi lokasi, sebagian lagi memandangi penuh rasa ingin tau dengan mimik tegang. Sementara itu, di luar beberapa mobil Polisi sudah dalam kondisi siap siaga. Nyala lampu sirinenya kelap kelip menyilaukan.

“Salwa! Salwa!! anak saya, bagaimana dengan anak saya??!! Ini negara hukum tidak berarti mengabaikan kemanusiaankan!!?? Dia masih kecil!! Dia tidak berdosa!! Bagaimana dengan anak saya?? Siapa yang akan bertanggung jawab jika nanti dia hilang…???!!!!!!” Syahid meronta-ronta, tangannya sudah tidak lagi mempu bergerak leluasa karena kedua lelaki kekar itu telah memitingnya.

“.. putri Anda sudah ada yang urus..!!! anak buah saya akan mengantarnya pulang sekalian memberikan surat perintah penagkapan anda untuk keluarga!”

“… ayaah… ayah…ayahh… jangan ambil ayah Salwa.... mau dibawa kemana ayah saya… ayaahh… ayah… ayah…….. ayaaaaaaahhhh, ayyyaaaaaaaahhhhh…….”

Suara tangisan Salwa terdengar terus melirih. Raungan sirine mobil polisi seakan telah menelannya. Di dalam mobil, tangan Syahid masih menggenggam erat koin terakhir yang diberikan Salwa. Ia masih dapat merasakan hangatnya bekas genggaman tangan Salwa pada koin itu. Diam-diam Syahid memasukkan koin itu ke dalam saku kemeja putih berkera sanghai itu sesaat sebelum polisi memborgol kedua tangannya, dan membawa Syahid dalam ruang interogasi yang menyeramkan.

Dalam ruang interogasi yang pengap penuh asap rokok yang bergulung-gulung, pertanyaan demi pertanyaan dari petugas begitu rupa menghujani Syahid. Tetapi semua dijawabnya dengan tenang dan penuh kepasrahan. Tidak tampak sama sekali ekspresi gugup ataupun takut. Dan tanpa terasa, sembilan jam sudah ia menjawab seratusan pertanyaan.

“silakan tandatangani BAP ini!, kami diburu target waktu! minggu depan Jaksa harus sudah segera mengajukan tuntuan terhadap Anda di Pengadilan!” Penyidik setengah memaksa dan seolah tidak memberikan kesempatan kepada Syahid untuk membaca satu persatu isi BAP yang harus ditandatanganinya itu.

“sebelum menandatanganinya, bolehkah saya membacanya?” Syahid meminta haknya.

“Sebaiknya Anda jangan mempersulit diri! Sejauh ini Anda kami nilai sudah sangat koperatif. Anda tidak perlu membaca terlalu detil! Cepat saja bacanya! Kami tidak punya cukup waktu!! Jika ada yang tidak sesuai, Anda bisa menolak dan mencabut BAP di persidangan nanti!

“baiklah.. baiklah… !! Syahid membaca cepat, dan segera membubuhkan tandatangannya.

Seketika ruangan hening. Para penyidik segera membawa Syahid dalam ruang tahanan pengap dibelakang gedung oval itu. Menanti pelimpahan kasusnya kepada Jaksa untuk diperiksa dalam sidang Pengadilan. Hari-hari dalam ruang tahanan ini bagi Syahid begitu hening, ia masih duduk diam dan termangu ketika menyadari telah mendekam lebih tiga minggu disitu.

Sepertinya baru kemarin bercengkrama dengan Salwa di arena permainan itu, tanpa terasa hari ini sudah memasuki masa persidangan terakhir yang sangat menentukan. Pembacaan putusan! Selama ini tiada satupun sanak keluarga, sahabat dan handai taulan membesuknya. Syahid memang memilih untuk tidak mau dijenguk oleh siapapun selama dalam tahanan. Ia juga memilih untuk menghadapi sendiri tuntutan Jaksa di Pengadilan, tanpa seorang pembela, sekalipun Polisi sudah menawarkan jasa pendampingan secara gratis dari seorang Advokat terkenal. Karena, bukan main-main, ancaman hukuman untuknya adalah Hukuman Mati! Tetapi bagi Syahid, pembelanya hanyalah Allah! Ya! Ia sangat yakin Allah akan membela dan menyelamatkannya dari ancaman hukuman mati itu. Dan hari inilah sidang penentuannya!

“dengan ini, skors dicabut, dan sidang pembacaan putusan atas terdakwa Syahid Bin Abdul Rozak dibuka kembali!!” dok! Dok!! Dok!! Ketua Majelis Hakim, suaranya parau dan meyakinkan memecahkan kebekuan ruangan sidang yang penuh sesak dengan wartawan media cetak juga elektronik dalam dan luar negeri.

Persidangan Syahid memang menjadi perhatian, tidak hanya media nasional tetapi juga internasional. Inilah persidangan pertama yang kembali digelar untuk seorang teroris, setelah sepuluh tahun lebih tidak terdengar kasus-kasus terorisme.

Syahid memang bukan pelaku yang meledakan langsung klub tari telanjang itu. Tetapi Syahid-lah yang menyusun rencana, taktik dan strateginya, sehingga peledakan klub tari telanjang di malam Ramadhan itu menewaskan ratusan pengunjung yang sedang pesta pora didalamnya. Tetapi, pembunuhan tetaplah pembunuhan! Kecuali negara dengan alas hukum yang sah, tidak satu orang boleh membunuh untuk alasan apapun dan atas nama siapapun! Oleh karena itulah Jaksa Penuntut Umum dengan tegas tanpa ragu menuntut Syahid dengan hukuman mati!

“... setelah mendengarkan tuntutan Jaksa dan pembelaan terdakwa, ... Menimbang.. Bahwa... Memutuskan Terdakwa Syahid Bin Abdul Rozak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana terorisme! Dan oleh karenanya menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa!”
Dok dok dok! Suara ketukan palu dirasakan begitu ringan oleh Syahid. Kerlap kerlip cahaya blizt kamera wartawan memenuhi ruang sidang. Syahid tetap tenang dan tidak tampak gugup apalagi shock! Ia seakan sudah menyadari hukuman mati adalah bagian dari konsekswensi atas pilihannya menjadi teroris. Mati di arena pertempuran dengan mati didepan regu tembak nilainya sama-sama mati syahid. Demikianlah keyakinan yang dipegang teguh Syahid.

Tetapi seketika hatinya hancur berkeping-keping ketika mengingat bagaimana wajah lucu Salwa. Anak perempuan semata wayangnya yang baru beranjak tumbuh lucu-lucunya itu. Masih terngiang di telinga Syahid suara tangisannya Salwa di arena permainan itu. Syahid tampak tidak terlalu siap menghadapi kenyataan harus meninggalkan Salwa. Iapun kemudian tertunduk dan diam membisu.Terselip juga rasa penyesalan dihatinya.

“saudara terdakwa, apakah akan menerima putusan, mengajukan upaya hukum banding atau fikirfikir dulu?!" Pertanyaan hakim ketua memecah keheningannya.

“saya dengan haqul yakin, menerima putusan majelis Hakim!, Bagi saya mati hari ini atau besok adalah sama saja, dan saya tidak akan pernah memperoleh keadilan didunia karena hakikat keadilan sejati adanya diakhirat, milik Allah!!” Suara Syahid begitu mantab tetapi terasa begitu berat. Keputusannya sudah bulat, menghadapi regu tembak, betapapun itu sangat menyakitkan karena harus meninggalkan aanak semata wayangnya, Salwa.

Tetap saja Syahid tidak dapat menyembunyikan kegalauan hatinya. Membayangkan akan meninggalkan Salwa selamanya. Hingga menanti hari-hari terakhirnya, ditengah kepedihan itu, Syahid terus berusaha menyelimuti hatinya dengan ketabahan. Sampai-sampai tidak mendengar langkah Jaksa menghampirinya.

“.. Saudara Syahid, apakah Anda memiliki permintaan terakhir sebelum eksekusi hukuman mati ini dijalankan?”

“berapa permintaan yang bisa saya ajukan, Pak Jaksa??”

“tidak lebih dari tiga permintaan, sepanjang permintaan Saudara tidak bertentangan dengan Undang-Undang”

“Baiklah, saya akan mengajukan dua permintaan saja”

“silakan, apa permintaan terakhir Saudara?”

“..pada saat eksekusi dilaksanakan saya ingin mengenakan kemeja yang terakhir saya pakai saat bermain dengan Salwa anak saya, ketika Polisi anti teror menangkap saya di mall”

“baik, permintaan Saudara sudah saya catat dan dapat disetujui, pakaian Saudara tersebut masih utuh dalam lemari penyimpanan barang bukti, permintaan kedua??”

“saya ingin, proses eksekusi saya dirahasiakan dari keluarga, anak saya Salwa tidak perlu mengetahui jika saya sudah ditembak mati”

“baik, permintaan Saudara kami catat dan disetujui! Jika demikian, apakah Saudara saat ini sudah siap menjalankan hukuman??”

"Allah senantiasa bersama orang-orang yang syahid! Saya sudah lama merindukan ini!! Saya bahkan sangat siap!!" Syahid berusaha menyembunyikan kegalauannya karena harus berpisah dengan Salwa selamanya.

Diujung sana, lima belas orang anggota regu tembak telah siap mengokang senjata. Diantara lima belas laras senapang itu, hanya ada satu yang diisi peluru tajam, selebihnya peluru kosong. Senapang-senapang ini akan diacak sehingga tidak satupun diantara kelima belas orang tersebut yang tau apakah senapang yang mereka pegang berisi peluru tajam yang akan menembus jantung Syahid atau hanya peluru kosong yang hanya berisi letusan suara saja.

Kini kelima belas anggota regu tembak, sudah berbaris rapi. Senapang sudah diacak dan dibagikan. Dari ujung lokasi tempak, Syahid berjalan mantab, mengenakan kemeja putih yang sudah tampak agak lusuh. Kemeja itulah yang terakhir dikenakannya ketika bermain di arena mandi bola dengan Salwa, anak semata wayangnya.

“regu tembak, siaap!!!!!!”

“siapp!!!”

“kokang senjata, siaap!!!!”

“siapp!!!”

krak krak krakkk…!! Seluruh senjata sudah tertokang, siap untuk memuntahkan timah panas tepat didada dan menembus jantung Syahid.. hanya satu peluru yang akan mencapainya!

Meskipun kepala Syahid ditutup kantong hitam, didalam ia sama sekali tidak memejamkan mata. Seakan ia ingin memastikan peluru itu benar-benar tepat menembus jantungnya! Bibirnya melafazkan doa penyerahan diri yang penuh kepasrahan. Selamat tinggal Salwa!! Anakku sayang.. Ayah akan menunggumu di syorga, kita pasti akan berkumpul lagi disana!

Dooorrrrrrrrrrrr!!!!!

Asap mesiu membumbung tinggi memenuhi langit pada malam itu. Syahid merasakan dirinya ringan sekali, tubuhnya melambung seperti balon udara, makin lama makin tinggi, sehingga iapun bisa melihat bagaimana tubuhnya sendiri yang terkulai lemas dalam kondisi terikat pada sebuah tiang eksekusi. Orang-orang segera bergegas berjalan menuju jasadnya yang tidak bergerak.

Syahid kini mulai merasakan tubuhnya memasuki lorong panjang dan sangat dalam, menembus lapisan-lapisan awan putih. Burung-burung dengan bulu beraneka warna, harum aromanya terbang mengitarinya seakan menuntun untuk menelusuri lorong-lorong yang tepat. Hingga Syahid tiba di ujung lorong, dua sosok berpakaian putih-putih sudah menunggunya..

"Inilah saatnya!" Gumam Syahid!

Dua sosok berpakaian putih-putih tersenyum ramah, wajahnya berbinar-binar penuh cahaya..

"Mari.. Silakan.. wahai jiwa yang tenang..."

Syahid masih terdiam! Ia seperti tidak percaya.. Lamat-lamat ia mendengar suara Salwa memanggil-manggil lirih..

"Ayaah... Ayaah.. Jangan pergi.. Jangan pergi..."

Syahid menoleh ke belakang! Tetapi ia tidak melihat bayangan Salwa ada disitu!

"Syahid! Apakah engkau masih ragu?!"
Sosok berpakaian putih-putih itu bertanya dengan mimik yang sangat serius..

"Tidak sekalipun saya ragu! Tetapi mengapa saya masih bisa mendengar suara anak sayaa, Salwa?? Apakah itu nyata?! Atau hanya bagian dari ilusi masa lalu saya??"

"Syahid!! Suara anakmu itu nyata adanya!! Kembalilah padanya!!"

Tiba-tiba, gumpalan gumpalan awan putih itu berubah menjadi pusaran yang sangat hebat. Seperti pusaran air yang menyedot dan membawa kembali Syahid ke dasar bumi.. Lamat-lamat Syahid kembali mendengar suara Salwa..

"Ayaah.. Bangun Ayah.. Jangan mati Ayaah...."

Syahid berusaha membuka kelopak matanya! Samar-samar ia dapat melihat bayangan Salwa dan Umi Aisyah istrinya yang sedang terisak-isak.. Semakin jelas, semakin jelas. Sampai akhirnya Syahid menemukan dirinya terbaring diatas tempat tidur sebuah ruang perawatan rumah sakit kepolisian!!

"Ayaaaah...."
"Abaah....."
Salwa dan Umi Aisyah memeluk erat-erat tubuh Syahid, menggoyang-goyangkannya serasa tidak percaya! Syahid sudah tersadar dari komanya!

Subhanallah!! Allahuakbar!! Gema takbir memenuhi ruang perawatan itu.. Tak lama berselang, terdengar langkah-langkah sepatu bergegas mendekati tempat tidur Syahid! Rupanya rombongan Jaksa dan Polisi yang tadi malam mengeksekusi Syahid.

"Syahid! Atas nama hukum negara, Anda kini dinyatakan bebas karena telah menjalani eksekusi mati! Koin dalam saku kemeja itu telah menyelamatkan Anda! Peluru Regu Tembak tidak mampu menembus ke jantung! Tubuh Anda hanya mengalami shock dan trauma, tidak sadarkan diri selama lebih sepuluh  jam"

Syahid hanya bisa tersenyum, ia tatap langit-langit kamar rumah sakit sembari melafazkan syukur. Hari ini tanggal 8 bulan 8 tahun 2088, ia bertekad memulai hidupnya yang baru bersama Salwa dan Umi Aisyah!! Syahid resmi berhenti menjadi teroris!!
TAMMAT

Kaki Merapi,
17-04-2012
Cerpen Karya; Dhimas Soesastro..

sumberPhotoIlustrasi:http://metaldetectingforum.com/showthread.php?t=116467

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun