“sudah Salwa, ayo tekan tombolnya…”
“satu… dua… tiga………. Ahhhh…… tidak dapat Ayah…. Heheheh.. sekarang giliran ayah…”
“yups.. lihat nih.. Salwa mau boneka yang mana?”
“yang itu ayah…, boneka meong itu Yah, yang dipinggir…. “
“siap tuan putri.. eeeng ing eeeng… lihat… satu… dua….tigaaa...”
“ayo ayah.. tekan tombolnya…. Hups… angkat Yah.. Angkaaat.. Yaaa.. Horeeee dapaaatttt….. !!!”
Tawa girang Syahid dan Salwa pecah memenuhi arena, mengalahkan bising suara mesin-mesin permainan itu. Merekapun melanjutkan pemancingan berikutnya. Koin demi koin terus dimasukkan, hingga tanpa terasa kini hanya tersisa satu Koin saja. Tangan lembut Salwa memberikannya untuk Syahid dengan harapan bisa kembali memancing boneka yang dipilihnya…
“ini Ayah.. Koinnya tinggal satu….”
Dalam hati Syahid, rasa bahagia campur haru berkecamuk tidak rupa bentuk lagi. Kali ini ia benar-benar merasakan dirinya ada, dibutuhkan dan sangat berarti, bagi seorang anak kecil bernama Salwa. Tidak terasa air mata mengalir tipis di pipinya. Sebelum Salwa melihatnya, buru-buru Syahid menghapus dengan punggung tangannya.
Begitu terharunya Syahid hingga tanpa disadari tiga orang berbadan kekar berambut cepak dan stelan jaket kulit hitam, sudah mengelilinginya. Mereka sangat tenang dan dingin menyapa Syahid.
“selamat siang Saudara Syahid, atas nama hukum negara kami harus membawa Anda ke kantor untuk menjalani pemeriksaan” Pria ini merapat ke Syahid sambil menodongkan pistol dari balik jaket kulitnya.