***
Bagi Ibu perihal lamaran Amar, tentunya menjadi sebuah angin segar. Tanpa ragu ibu mengiyakan, bahkan langsung menanyakan kapan akan menikah.
Satu bulan setelah lamaran, aku mendapat telepon dari Rani dan memintaku untuk bertemu. Rani pun berpesan, agar tidak memberitahu Amar. Aku menemuinya di tempat yang sama saat pertama kali berkenalan.
"Maaf ya Tisya, aku minta waktumu sebentar, karena ada hal yang harus kamu tahu dan itu penting bagiku!" seru Rani.
"Ada apa memangnya, Mbak?"
 "Aku lagi ha mil, dan itu anak dari Amar!" ketusnya padaku.
Bagai tersambar petir di siang hari bolong aku mendengarnya. Aku pun berusaha bersikap tenang sambil memegang hasil USG atas nama dirinya.
"Maaf, bukannya Mbak Rani sudah menikah ya?" tanyaku.
"Iya, tapi tepatnya pernah menikah. Aku sudah ce rai dua bulan lalu, dan itu sebelum aku ketemu sama kamu tempo hari," tegasnya lagi.
"Hubunganku dengan Amar semakin dekat setelah aku ber ce rai. Aku pernah menjadi te man satu ma lam nya," ucap Rani penuh keyakinan. Dan berita yang dia bawa membuat hatiku hancur.
Aku pergi meninggalkan Rani tanpa sepatah kata pun lagi.