Hatiku jadi tidak karuan mendengar Amar memperkenalkanku pada temannya itu.
Ada rasa senang yang membuncah, sepertinya wajahku tampak merah merona karena malu. Aku mengulurkan tangan padanya dengan percaya diri.
Rani tampaknya terkejut, dia sepertinya tidak menduga akan bertemu denganku sebagai calon istri Amar. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang tidak suka padaku.
***
Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam, menunggu penjelasan dari Amar. Di awal jemput, Amar belum bicara apa-apa selain menawariku makan. Aku menolak karena ingin sekali mendengar penjelasannya saat dia mengenalkan diriku sebagai calon istrinya.
"Ti yang tadi maaf ya, aku nggak bilang dulu sama kamu. Untuk kejadian tadi siang gimana menurutmu?" Amar bertanya balik padaku.
"Maksudnya gimana, Mas? Justru aku yang ingin tahu, kok Mas Amar ngenalin aku sama Mbak Rani tadi sebagai calon istri, Mas."
"Iya, aku ingin melamar kamu jadi istriku bagaimana, Tisya sayang?" tanyanya padaku.
"Hah? Aku nggak salah dengar, Mas? Jangan buat perempuan baper, deh," rajukku membuat hati berbunga, terlebih di saat Amar menyebut kata sayang.
"Iiih, siapa juga yang mau bikin kamu baper doang. Aku serius Ti, hari ini aku jemput kamu sekalian aku mau ijin sama Ibu Marwah untuk melamar anaknya." Amar tersenyum padaku.
"Oh iya, nanti kalau kamu udah jadi istriku, kamu masih boleh kerja kok. Lagi pula pekerjaanmu sebagai konsultan desain sangat membantu pekerjaan aku juga, kan?" Amar lagi-lagi tersenyum. Dan aku hanya mengangguk.