"Mas, kamu beneran mau pindah ke rumah ini?" tanyaku pada Saka, lelaki yang baru menikahi aku dua minggu lalu.Â
"Iya Sekar sayang, ini sekarang jadi rumahmu, suka, kan? Kita tinggal disini aja, ya," balasnya dengan lembut.Â
Rumah bernuansa retro. Bangunan yang terlihat tua dengan dinding cat berwarna putih gading, terukir ornamen bunga di daun pintu dan jendela. Nampak pepohonan rimbun yang beragam jenis berjajar rapi di halaman depan rumah, menjadikannya terlihat sejuk.
Rumah warisan dari almarhum Papi Saka, yang terletak jauh dari perkotaan. Hiruk pikuk dan keramaian tidak dirasakan di kampung Lontar ini. Syarat dari Mami Saka, kalau ingin menikahiku harus mau tinggal di rumah ini.Â
**
"Aku laper Mas, tapi aku males masak, pesan antar aja, ya?" rengekku.Â
"Disini jauh kemana-mana, sayang, nggak akan bisa pesan makanan. Aku yang masak, ya? kamu mau makan apa? kebetulan semua persediaan kebutuhan dapur sudah lengkap, diisi kemarin sama Pak Han." Balasnya dengan mengusap rambutku.Â
"Baiklah, apa pun yang kamu masak, aku pasti suka."
Aku duduk tak jauh dari Saka memasak. Gerak-geriknya sangat luwes saat di dapur, aku pun memperhatikan dengan takjub, dia seperti layaknya koki bintang lima. Di mataku, ketika apron hitamnya membungkus tubuh bagian depan Saka terlihat semakin rupawan.Â
Baru kali pertama aku merasakan jatuh cinta dengan laki-laki yang menikahiku. Jujur saja ini pernikahanku yang ketiga. Dua suamiku meninggal dunia setelah memasuki usia pernikahan di tahun pertama.Â
Hanya satu tahun saja aku bisa merasakan indahnya menjadi sepasang suami-istri. Sedih sudah pasti aku rasakan, tapi jika mengingat kekayaanku akan bertambah tiap tahun, membuat rasa cinta itu menjadi hambar layaknya sayur tanpa garam.Â