"Astaghfirullah!" ucapku dengan bahu terguncang.
"Duh, kenapa sih, Ris? Bikin jantungan aja," timpal Riri yang menggeser duduknya memberi jeda dariku.
"I-itu seperti ada mata yang sedang memerhatikan ke arah sini, lalu ada bayangan yang bergerak menuju ke arah tangga, Ri," jelasku pada Riri yang sedang asyik dengan ponselnya.
Jarum jam di dinding kantor sudah menunjukkan pukul delapan malam. Itu artinya akan ada tersiar kabar tentang kematian.Â
Riri adalah salah satu karyawan kantor yang ikut lembur karena tugasnya sebagai administrasi, mengurusi keperluan lembur, dan menyiapkan dana untuk jatah makan malam. Kami bertiga penanggung jawab di kantor ini sampai tabloid naik cetak.Â
Aku dan Ori menjabat sebagai layouter di tabloid BIM yang harus bergegas menyelesaikan pekerjaan sebelum pukul sembilan malam.Â
"Kang Ori, aku udah edit lagi, nih, di bagian ramalan zodiaknya. Sama letak iklan otomotif udah aku geser dan perbesar. Udah mau jam setengah sembilan pengen cepat-cepat pulang. Serem, Kang di sini," ucapku pada senior di kantor.Â
"Dia gak akan ganggu, kok, kalau kamu diam Ris. Ya sudah kirim aja ke folderku, nanti aku periksa sekali lagi sebelum besok naik cetak." Laki-laki 36 tahun itu menjawab sambil masih menatap layar monitor.
Walaupun baru dua bulan bekerja, aku sudah merasa Kang Ori itu sosok misterius karena setiap jam lembur kantor dia lebih memilih pulang paling akhir. Dalam satu bulan setidaknya kami akan lembur dua kali. Tabloid yang berisikan berbagai iklan produk-produk ataupun tempat penting di Kota Bandung, terbit setiap dua minggu.
Aku pun segera membereskan meja kerja sebelum mengusik rasa ketakutan yang berlebihan dalam diriku. Rambut sebahu yang sedari tadi tergerai dengan cepat kugelung meninggi karena tiba-tiba aku merasa kegerahan, padahal ruangan kantor ber-AC.
"Riri, aku pulang duluan, ya? Kang Ori mau cek dulu kerjaan aku katanya." Aku pamit pada ibu muda dengan satu anak itu yang mengurusi segala keperluan karyawan di sini.
"Iya, Eriska Dewanti. Aku pulang nebeng Kang Ori. Hati-hati kamu di parkiran motor." Riri memberi peringatan. Akan tetapi bagiku, itu sama saja menakut-nakuti.
Aku hanya mengacungkan jempol. Kantor yang hanya dua tingkat dengan parkiran motor yang letaknya di belakang membuatku sedikit memberikan rasa takut, padahal akan ada Pak Eman Satpam kantor yang berjaga di tempat parkir. Tempat parkir kantor BIM yang letaknya ada di belakang, bagiku memiliki hawa yang tidak biasa, mungkin karena masih ada beragam pohon yang menjulang tinggi.
Kumasukan kunci ke lubang stop kontak motor CB 150R berwana putih peninggalan Papa. Namun, tiba-tiba motorku tidak bisa distarter.Â
Kupindai area parkir, pos jaga yang berada di sebelah kanan ternyata tidak ada penampakan Pak Eman di dalamnya. Aku mengingat-ingat ketika melewati pos jaga itu, sepertinya tadi aku mengangguk memberi hormat pada Pak Eman. Kenapa sekarang dia tidak ada di sana?
Bulu kudukku mulai meremang. Kucoba menstater motor kembali, tetapi nihil. Ketika aku ingin meninggalkan motor menuju kantor lagi, aku dikagetkan oleh Pak Eman yang datang dari arah belakang.
"Neng, kenapa motornya?"
"Astagfirullah! Pak Eman ngagetin aja, dari mana, Pak?" tanyaku padanya yang tampak terlihat kusut. Tidak biasanya Pak Eman menundukkan kepala. Aku pun berusaha melihat wajahnya dengan menurunkan pandangan ingin memastikan sekali lagi.
"Coba Bapak engkol motornya." Pak Eman menengadahkan tangan meminta kunci motorku dengan tetap tertunduk.
Motor yang tadinya tidak bisa menyala, kini sudah hidup dengan bantuan Pak Eman. Aku langsung memasang helm dan melajukan motor dengan pelan setelah ku ucapkan terima kasih padanya.
"Neng ...." Pak Eman memanggil kembali setelah motorku hampir keluar dari pagar kantor.
Aku menoleh dengan hati yang tidak menentu, seolah-olah aku sedang diperhatikan sepasang mata, entah oleh siapa. Karena aku sudah mengenakan helm, hanya anggukan kepala yang kuberikan, pertanda Pak Eman yang harus menghampiri.
Di sepanjang perjalanan dari kantor ke rumah yang jaraknya cukup jauh membuatku semakin ingin menancap gas lebih kencang. Kota Bandung di Jalan Braga masih ramai dengan kendaraan yang lalu lalang, lalu mendekati Jalan Ciwastra membuat bulu kudukku berdiri. Kontrakan yang aku tempati memang daerahnya masih terbilang sepi. Kata orang kontrakanku letaknya yang menjorok ke dalam lebih cocok sebagai tempat buang jin.
Setelah sampai, aku langsung merebahkan tubuh dengan mata yang makin berat karena kantuk, tubuh lelahku yang masih belum berganti baju tidur sudah berada di atas kasur busa berukuran single, seperti hidupku yang masih saja sendiri.
***
"Eriska, kamu udah tahu kabar meninggalnya Pak Eman?" tanya Riri ketika aku baru sampai di kantor tepat pukul delapan pagi.
"Pagi-pagi udah bercanda aja, gak lucu, ah!" jawabku sambil tertawa kecil guna menetralisir perasaan takut.
"Iya, Ris. Pak Eman meninggal karena penyakit jantungnya semalam." Kang Ori menimpali dari arah belakang.
Aku terduduk lemas setelah mendengar kabar ditemukannya Pak Eman di pos jaga semalam. Kang Ori adalah orang yang pertama kali menemukan Pak Eman di pos sudah tidak bernyawa.
"Ja-jadi, Kang Ori gak tahu tepatnya jam berapa Pak Eman meninggalnya?" Aku semakin tidak karuan, jantungku berdetak lebih cepat.
Semalam yang membantu menghidupkan motorku hantunya Pak Emankah? Setelah motor menyala kenapa aku tidak tersadar saat melewati pos itu? Aku bergidik ngeri sendiri.Â
Setelah rasa takutku menghilang dan kembali normal, aku pun menceritakan kejadian yang kualami semalam. Pak Eman sempat membantu motorku yang mogok dan juga Pak Eman yang ada berucap lirih padaku.
"Neng Eris harus hati-hati, ya, di sini ada iblis yang lagi cari perempuan kesepian." Pak Eman memberi pesan sebelum aku meninggalkan kantor semalam.
Akan tetapi, apa yang diucapkan Pak Eman padaku, aku tidak memberitahu pada yang lainnya.Â
Pemilik kantor mengizinkan kami untuk melayat ke rumah Pak Eman, sebagai gantinya kami akan lembur lagi malam ini di kantor.
Kejadian aneh di kantor pun terjadi lagi. Ada bayangan melintas dari luar ruangan menuju tangga ke lantai bawah. Sekelebat bayangan hitam yang sering diduga hantu gentayangan kembali tertangkap netraku. Hanya saja semakin aku memberanikan diri melihat, justru bayangan itu tampak seperti seorang manusia, tetapi entah siapa.
"Ri, masih gak lihat siapa yang barusan lewat?" Aku bertanya pada Riri yang meja kerja di sebelah kanan mejaku.
"Aku gak lihat apa-apa, Ris. Sebaiknya kamu gak usah banyak ingin tahu. Demi keselamatanmu, Ris." Riri tampak serius memberitahuku soal penampakan itu.
Aku seperti mendapatkan kekuatan super setelah Riri bicara seperti itu, aku semakin punya nyali. Pekerjaan pun aku tinggalkan, lalu keluar membuntuti bayangan tadi menuju lantai dasar.Â
Setelah tiba di anak tangga ke sepuluh, aku langsung ditarik seseorang dari bawah. Sosok yang sudah kupastikan dia bukan hantu, tetapi manusia yang mengenakan pakaian serba hitam dengan penutup kepala berwarna senada.Â
Tubuhku diseret ke salah satu ruangan yang digunakan sebagai gudang penyimpanan tabloid BIM yang sudah lewat tanggal cetaknya. Gudang kecil berukuran 4x4cm jadi saksi bisu atas kesialanku.
"Ka-kang Ori, a-apa yang Kang Ori lakukan padaku? Aaarrgh!" Aku berusaha melepaskan cengkraman tangan Laki-laki berambut hitam itu yang sudah mencekikku begitu kuat.
"Salahmu sendiri kenapa tiba-tiba ingin tahu keberadaan bayangan hitam itu di kantor ini! Nyawamu akan jadi taruhannya," ucap Oritama padaku.
"Ta-tapi, ke-kenapa aku? Kenapa harus aku?!" Aku berusaha melawan, tetapi makin melawan tubuhku makin lemah.
"Kamu hidup sendiri bukan? Kebetulan aku hanya mencari perempuan yang kesepian karena hidup sendirian."Â
***
Ingatan itu kembali berputar dua bulan lalu setelah aku keterima bekerja di BIM, kantor yang menjadi tempat pertamaku bekerja setelah lulus dari perguruan tinggi. Namun, menjadi tempat terakhirku. Arwahku terperangkap di kantor ini. Kantor BIM kini sudah menjadi tempat bermain bagiku. Ketika lembur tiba, aku akan selalu mengintip ruang kerja di lantai dua.
Ternyata, Oritama laki-laki berperawakan tinggi dan kekar dengan wajah oriental itu adalah sosok iblis berwujud manusia yang selalu mencari mangsanya. Oritama akan menjadikan juniornya di kantor sebagai korban atas ritual yang dia kerjakan selama ini.Â
Oritama adik dari pemilik kantor majalah, ternyata sudah berusia tujuh puluh dua tahun. Namun, memiliki wajah layaknya 36 tahun.Â
Oritama akan mencari korban perempuan yang hidup seorang diri. Agar kelak kematiannya tidak dicari oleh keluarganya. Dia akan menghabisi korban dengan mence-kiknya sampai mati, lalu menyedot da-rah korban yang akan dia simpan ke dalam wadah sebagai ritual meremajakan dirinya.
***Wassalam***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H