Di sepanjang perjalanan dari kantor ke rumah yang jaraknya cukup jauh membuatku semakin ingin menancap gas lebih kencang. Kota Bandung di Jalan Braga masih ramai dengan kendaraan yang lalu lalang, lalu mendekati Jalan Ciwastra membuat bulu kudukku berdiri. Kontrakan yang aku tempati memang daerahnya masih terbilang sepi. Kata orang kontrakanku letaknya yang menjorok ke dalam lebih cocok sebagai tempat buang jin.
Setelah sampai, aku langsung merebahkan tubuh dengan mata yang makin berat karena kantuk, tubuh lelahku yang masih belum berganti baju tidur sudah berada di atas kasur busa berukuran single, seperti hidupku yang masih saja sendiri.
***
"Eriska, kamu udah tahu kabar meninggalnya Pak Eman?" tanya Riri ketika aku baru sampai di kantor tepat pukul delapan pagi.
"Pagi-pagi udah bercanda aja, gak lucu, ah!" jawabku sambil tertawa kecil guna menetralisir perasaan takut.
"Iya, Ris. Pak Eman meninggal karena penyakit jantungnya semalam." Kang Ori menimpali dari arah belakang.
Aku terduduk lemas setelah mendengar kabar ditemukannya Pak Eman di pos jaga semalam. Kang Ori adalah orang yang pertama kali menemukan Pak Eman di pos sudah tidak bernyawa.
"Ja-jadi, Kang Ori gak tahu tepatnya jam berapa Pak Eman meninggalnya?" Aku semakin tidak karuan, jantungku berdetak lebih cepat.
Semalam yang membantu menghidupkan motorku hantunya Pak Emankah? Setelah motor menyala kenapa aku tidak tersadar saat melewati pos itu? Aku bergidik ngeri sendiri.Â
Setelah rasa takutku menghilang dan kembali normal, aku pun menceritakan kejadian yang kualami semalam. Pak Eman sempat membantu motorku yang mogok dan juga Pak Eman yang ada berucap lirih padaku.
"Neng Eris harus hati-hati, ya, di sini ada iblis yang lagi cari perempuan kesepian." Pak Eman memberi pesan sebelum aku meninggalkan kantor semalam.