Paman dan bibinya juga tidak pernah tahu soal Dito berbuat ulah. Hanya aku dan dia yang selalu bersama, saling dukung dan saling memberi perhatian.
Setelah lulus sekolah aku pun lebih memilih bekerja di kawasan pabrik tekstil. Dua tahun aku bekerja, Dito melamarku, awalnya Mama dan Papa tidak setuju. Entah kenapa, kata Mama, Dito bukan laki-laki yang baik. Akan tetapi, aku bersikeras untuk menerima lamarannya.
***
Pernikahan kami yang baru menginjak di bulan ke enam sebelumnya masih terbilang harmonis. Namun, di bulan ke tujuh ini aku baru mengetahui kalau Dito seorang pe/ma/kai. Tanpa sengaja ketika dia sedang tertidur lelap, ponselnya bergetar menandakan ada pesan masuk.
[Bang, besok sore jangan lupa bawa ma ri ju ana ke basecamp ya? Ada anak baru, nih, orang tajir.]
Awalnya aku mengira itu adalah nama seorang wanita. 'Dito selingkuh' pikirku. Hingga akhirnya saat dia terbangun, langsung saja aku menanyakan tentang perihal Ma ri ju ana. Namun, bukan penjelasan yang aku dapat, tetapi tamparan keras mendarat di pipiku.
Plaakk!
Langsung saja aku menangis sejadinya. Selama aku mengenalnya belum pernah Dito berlaku kasar. Bahkan kedua orangtuaku pun tidak pernah membentak apalagi menamparku.
"Ma-maaf sayang ... aku minta maaf. Itu bukan nama perempuan. Aku berani sumpah, kalo aku nggak pernah selingkuh dari kamu. Aku akan jelasin, ya ... tapi kamu janji jangan marah?" Dito memelukku. Aku kembali tenang dalam pelukannya.
Bagai tersambar petir di siang hari mendengar penjelasan darinya. Dito seorang pe/ma/kai dan itu sejak duduk di bangku SMP. Aku dibuatnya tak berkutik, di satu sisi aku masih sangat mencintainya. Akan tetapi, disisi lain sudah pasti aku sangat membenci barang haram itu.
Namun, pada akhirnya aku memaafkan dia dan kini menyandang status sebagai istri dari seorang pe/ma/kai juga pe/nge/dar.