Mohon tunggu...
Dhe Wie S
Dhe Wie S Mohon Tunggu... Penulis - Kang Baca Tulis

personal simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Barang Haram Untuk Anakku

1 September 2023   04:22 Diperbarui: 1 September 2023   05:10 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berawal dari rasa cinta yang menggebu pada sosok laki-laki berpostur tubuh tinggi dengan kulit kecoklatan. Perempuan mana pun akan terpesona olehnya, keramah-tamahan yang dia punya juga perhatiannya padaku terasa begitu tulus, dan mampu membuat diriku jatuh pada pelukannya.

Dito Kasyavani orang pertama yang mengenalkan aku pada cinta. Saksi bisu-nya ada pada seragam putih abu-abu kala itu. Dia adalah seniorku di kelas Dua belas, sedangkan aku masih duduk di kelas sepuluh.

Bruukk!

"Duh, maaf ya, aku nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa?" Dito menabrakku di lorong kelas.

"Ah, iya nggak apa-apa, Kak. Maaf juga, aku yang terburu-buru," jawabku sambil membawa tumpukan lembar kerja siswa dari ruang guru.

Aku sudah kenal dia sejak pertama kali menginjakkan kaki di SMU Satya Kencana ini karena aku pernah di ospek olehnya. Anak jurusan IPA yang kata orang-orang menjadi idola para cewek-cewek, baik itu senior maupun junior. Keramahan juga senyum manisnya seolah-olah menjadi senjata ampuh dari seorang Dito.

"Kamu Sarah ya? aku Dito, sekali lagi maaf, ya?" tanyanya seraya mengulurkan tangan mengajakku berkenalan.

Hatiku berbunga karena Dito mengetahui namaku. Hanya anggukan kepala saja yang kuberikan padanya.

"Maaf kak, aku buru-buru." Aku pergi meninggalkan Dito yang sekilas masih bergeming di tempatnya.

Semenjak peristiwa itu, setiap jam istirahat, Dito sering menghampiriku, dia begitu cuek pada sekitar yang selalu memperhatikan gerak-geriknya saat di kantin, terutama anak perempuan seolah-olah begitu cemburu padaku.

Walaupun tidak setiap hari, Dito tak segan untuk mengajakku pulang bersama dengan berboncengan mengendarai sepeda motor.

Seiring waktu berjalan, hubunganku dengan Dito terbilang dekat. Di sekolah aku jadi buah bibir yang dikenal sebagai pacar Dito. Padahal kami tidak secara resmi berpacaran. Dia tidak pernah sekalipun mengutarakan cinta dan bilang ... kita pacaran. Namun, bisa dipastikan perhatian Dito melebihi dari sekedar teman biasa.

Setelah lulus sekolah Dito tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Dia langsung bekerja di salah satu bengkel besar milik temannya. Setiap bulan saat gajian, Dito langsung mengajakku makan dan terkadang kami belanja membelikan berbagai aksesoris untukku.

Ayah Dito menikah lagi dan tak pernah menemuinya. Sedangkan ibunya meninggal saat dia masuk sekolah menengah pertama. Dito dibesarkan oleh paman dan bibinya yang hidup tanpa seorang anak, sejak duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.

Hingga suatu hari.

"Halo, ini dengan Saudari Sarah Sunandi?" suara asing menyapa melalui ponselku.

"Iya betul, ini dengan siapa, ya, Pak?" jawabku.

"Kami dari pihak kepolisian, ingin menyampaikan informasi bahwa Saudara Dito Kasyavani ada di kantor polisi, karena terlibat perkelahian. Mbak Sarah, saya minta tolong datang sekarang juga ke kantor kami."

Deg!

Hatiku berdegup kencang, keringat dingin membanjiri kening. Baru kali pertama aku terlibat dengan hal seperti ini. Aku pun tidak berani bercerita pada Papa dan Mama, karena hubungan aku dengan Dito selama ini berjalan secara sembunyi-sembunyi.

***

Dito dibebaskan dengan uang jaminan. Selama ini memang dia selalu menyetorkan setengah dari gajinya setiap bulan yang didapat kepadaku. Aku pun menyimpannya selama ini.

Paman dan bibinya juga tidak pernah tahu soal Dito berbuat ulah. Hanya aku dan dia yang selalu bersama, saling dukung dan saling memberi perhatian.

Setelah lulus sekolah aku pun lebih memilih bekerja di kawasan pabrik tekstil. Dua tahun aku bekerja, Dito melamarku, awalnya Mama dan Papa tidak setuju. Entah kenapa, kata Mama, Dito bukan laki-laki yang baik. Akan tetapi, aku bersikeras untuk menerima lamarannya.

***

Pernikahan kami yang baru menginjak di bulan ke enam sebelumnya masih terbilang harmonis. Namun, di bulan ke tujuh ini aku baru mengetahui kalau Dito seorang pe/ma/kai. Tanpa sengaja ketika dia sedang tertidur lelap, ponselnya bergetar menandakan ada pesan masuk.

[Bang, besok sore jangan lupa bawa ma ri ju ana ke basecamp ya? Ada anak baru, nih, orang tajir.]

Awalnya aku mengira itu adalah nama seorang wanita. 'Dito selingkuh' pikirku. Hingga akhirnya saat dia terbangun, langsung saja aku menanyakan tentang perihal Ma ri ju ana. Namun, bukan penjelasan yang aku dapat, tetapi tamparan keras mendarat di pipiku.

Plaakk!

Langsung saja aku menangis sejadinya. Selama aku mengenalnya belum pernah Dito berlaku kasar. Bahkan kedua orangtuaku pun tidak pernah membentak apalagi menamparku.

"Ma-maaf sayang ... aku minta maaf. Itu bukan nama perempuan. Aku berani sumpah, kalo aku nggak pernah selingkuh dari kamu. Aku akan jelasin, ya ... tapi kamu janji jangan marah?" Dito memelukku. Aku kembali tenang dalam pelukannya.

Bagai tersambar petir di siang hari mendengar penjelasan darinya. Dito seorang pe/ma/kai dan itu sejak duduk di bangku SMP. Aku dibuatnya tak berkutik, di satu sisi aku masih sangat mencintainya. Akan tetapi, disisi lain sudah pasti aku sangat membenci barang haram itu.

Namun, pada akhirnya aku memaafkan dia dan kini menyandang status sebagai istri dari seorang pe/ma/kai juga pe/nge/dar.

Setahun aku menikah, Dito mulai sakit-sakitan. Semenjak itu dia berjanji padaku untuk meninggalkan barang haram tersebut untuk menjauh dari lingkaran setan itu. Namun, baru satu minggu Dito tidak berurusan dengan mereka gangguan selalu datang.

Ponselnya selalu ramai dengan notifikasi pesan masuk maupun telepon. Ada yang memintanya meengirim barang, mengajaknya bertemu. Ada juga yang memaksa untuk kembali berkumpul bersama menikmati barang haram itu.

"Sayang, maafin aku, ya? Aku sudah membuatmu hidup susah." Dito meratapi nasibnya yang terbaring di kasur.

"Kamu harus kuat, Kak. Aku akan selalu mencintaimu. Karna, aku akan selalu memaafkanmu." Aku menjawab lirih sambil memegang jemarinya yang tampak kurus.

Cobaan kembali menghampiri hidupku. Dito terkena virus H I V. Bukan karena dia sering berganti pasangan karena jajan di luar. Suntikan yang silih pakai antar kawan penyebabnya. Satu tahun bertarung dengan penyakit mematikan itu, akhirnya ajal menjemput dirinya.

"Kak, aku harus gimana? Aku hamil." Aku terisak dalam tangis yang panjang sambil menatap foto Dito dalam bingkai hitam berukuran 5R.

Karena, sudah barang tentu, aku pun positif tertular olehnya. Penyesalan terdalam hadir di sisa usiaku kini yang tengah mengandung anak pertama dari Dito.

Aku kini pasrah, hanya Mama yang mau menerima dan mengasihi ku juga membantu pengobatan atas diriku. Setidaknya sampai anakku dilahirkan.

Papa berusaha tegar menerima nasib putri semata wayangnya. Papa dan Mama dengan sekuat tenaga menemaniku tanpa ada rasa putus asa, sampai cucu pertama mereka terlahir ke dunia ini.

Danish Putra Kasyavani terlahir sebagai anak yatim, seorang anak yang harus menanggung beban derita dalam hidupnya sebagai anak dari penderita H I V dan aku menjadi seorang ibu yang keji karena telah mewariskan virus dari barang haram itu dalam darahnya.

--------------------------------------------------------------

'Maafin Ayah dan Ibu, Nak. Kami bukan orang tua yang baik untukmu. Maafin Ibu sudah melahirkan kamu ke dunia ini. Ibu selalu berdoa semoga kamu jadi anak yang kuat dan sehat. Serta menjadi anak yang selalu bahagia. Ibu sangat mencintai kamu. Tolong jangan benci kami. Walaupun kata maaf tak pantas kami terima darimu. Tapi bagi Ibu, kamu adalah cahaya hidup di dunianya Ibu yang tak akan pernah tergantikan oleh apa pun juga.'

----------------------------------------------------------------

Diary berwarna merah kini menjadi satu-satunya warisan yang Danish punya yang diberikan oleh kakek dan neneknya saat usia Danish menginjak sepuluh tahun. Sebagai penawar rindu agar dibacanya. Kini Danish sudah beranjak remaja, walaupun hidup dengan penyakit hasil dari darah orang tuanya. Namun, bisa dipastikan Danish bukan seorang pe/ma/kai.

Danish selalu didampingi kakek dan neneknya yang tak pernah putus asa selama ini menemani memberikan terapi antiretroviral, juga mengkonsumsi obat-obatan herbal demi kelamgsungan hidup Dito melawan virus dalam dirinya, karena Danish bertekad kuat ingin tetap sehat dari virus yang bersarang di tubuhnya semenjak dilahirkan dan akan hidup bahagia sesuai permintaan ibunya.

***Wassalam***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun