PROSA KEDUA
TUNAS YANG BERSEMI
7
Takdir setiap anak manusia memang sudah digariskan, namun setiap insan berhak menentukan langkahnya, Bara dan Badai. Keduanya pun masing-masing menata langkah.
Pertemuan dengan Sudjarwo, seolah membuka pintu bagi Badai. Pintu menuju masa depan gemilang, setidaknya demikian pemikiran Badai. Akhirnya, selain berkeras menyelesaikan TA, Badai pun secara aktif berpolitik di bawah bimbingan Sudjarwo. Tentang Rossa, yang satu ini tetaplah prioritas utama. Toh, seandainya kelak Badai menjadi seorang wakil rakyat (minimal), pasti kedua orangtua Rossa akhirya akan setuju pada hubungan mereka.
-
Sementara Badai telah menemukan dunianya, Bara masih berusaha menggapai cita. Sempat datang tawaran dari Badai untuk bergabung dengan dirinya di partai yang dipimpin Sudjarwo. Namun Bara yang kebetulan lebih cenderung kepada fraksi agamis, tanpa mengurangi arti persahabatan mereka menolak dengan halus.
Bara tetap berusaha fokus pada TA. sebagai mahasiswa teknik, dalam waktu singkat bara larut dalam penelitian terkait TA-nya.
-
Akhirnya, di penghujung tahun 1998 keduanya mampu menyelesaikan kuliah. Agak terlambat sedikit, namun mereka berdua lulus dengan nilai yang fantastis.
"Gimana prend? Selamat, rencana kamu?"
"Alhamdulillah saudaraku. Kita bisa lulus, sementara aku mungkin akan mencoba cari lowongan kerja. Kamu Dai? Fokus dengan partai?"
"Yup, sepertinya begitu. Iya tidak sayank?" kerling Badai kepada Rossa yang mendampingi Badai saat wisuda .
"Aku sih ikut aja Kak, oh iya Kak Bara selamat ya? Ngomong-omong mana PW (Pendamping Wisuda) nya nih?"
"Hahaha, ada mana dia ya? Nah itu, lagi sibuk foto-foto. Gar, Togar!" seru Bara, seraya menunjuk Togar yang sibuk dengan kegiatannya, ambil foto kanan-kiri untuk koleksi pribadi.
"Oala Bara, Bara. Masak PW-nya si Togar," ucap Badai.
"Ga papa kawan, Togar sip kok. Bisa diandalkan. Ini jas, serta kelengkapan wisuda, semua dia yang upayakan."
"Nah, nah selamat. Selamat, buat saudara-saudaraku. Kalian duluan ni. Hati-hati kau Badai. Gadis kau ini belum lagi siap kuliah (Pacarmu belum selesai kuliah). Banyak pejantan yang siap menggantikan posisi kau jika tak sering kau tengok ke kampus!" Togar, tetap dengan keceriaannya bergabung dengan kedua sahabatnya di taman kampus.
"Ah Kak Togar bisa aja," sahut Rossa.
"Bah, masih aja kau panggil aku ini kakak, macam mana, kita ini orang Medan dik. Panggilah abang. Termasuk Badai ini. Harusnya sudah waktunya kau panggil dia abang? Nah, nah, bagaimana Dai?"
"Ah terserah dia saja, yang penting aku yang punya dia,"
Sambil tersipu Rossa pun menjawab," Ok-ok kalau gitu, mulai sekarang aku panggil Kakak, Bang Togar."
"Nah begitulah adik, baru cocok. Enak pula terdengarnya di telinga abang kau yang gagah ini."
 "Aku titip Rossa ya Gar", ujar Badai menyambung.
"Ah, Aman itu.Jika ada yang macam-macam, kusikut dia", jawab Togar
"Hahahahahhahahahah", berempat mereka tertawa.
8
Januari 1999
Sebagai lulusan terbaik dari jurusannya, penantian Bara tidak terlalu lama. Dalam hitungan bulan, akhirnya datang dua buah tawaran pekerjaan datang padanya. Satu dari sebuah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bergerak di bidang perhubungan laut dan satunya dari sebuah perusahaan konsultan asing yang bergerak di bidang teknik. Kebetulan jenis pekerjaan yang ditawarkan pun amat sesuai dengan dasar keilmuannya.
-
Selanjutnya, hari-hari Bara dilewati dengan tes panjang dan bertingkat. Akhirnya, dari konsultan asing dia ditawari menjadi pegawai tetap dengan gaji lumayan plus bea siswa penuh ke Jerman untuk persiapan pengembangan perusahaan. Sementara, dari BUMN, dia pun dinyatakan lulus dan menjadi pegawai kontrak, karena sistem perekrutan di BUMN itu memang demikian. Dimana, seorang fresh graduade (lulusan baru tanpa pengalaman kerja) harus menjalani masa kontrak untuk dipantau kelayakannya kelak dalam periode pengangkatan pegawai tetap.
Bara mencoba mengambil keputusan namun masih ada keraguan untuk memilih.Â
"Kalau menurutmu gimana Dai?" Bara berkonsultasi dengan Badai
"Kalau aku sih mending di BUMN, inget idealisme kita dulu. Kita kan bertekad merubah bangsa ini. Bangsa besar tapi carut-marut."
"kalau itu dasarnya benar katamu Dai".
"Memang jauh selisih gajinya?" tanya Badai.
"Kalau itu pertanyaannya sih jawabannya iya, ditambah di perusahaan konsultan aku langsung diangkat jadi pegawai tetap".
"Hmmm, sulit juga ya. Coba tanya orang tuamu Ra", saran Badai.
"Aku terfikir ke arah sana juga Dai. Baiklah, nanti malam aku pulang dulu ke kampung", jawab Bara.
Akhirnya Bara pun memutuskan pulang ke desa sejenak. Selain untuk memikirkan lebih lanjut pilihan mana yang akan diambil, juga untuk meminta pendapat kedua orangtuanya.
-
Berada di lereng Gunung Lawu, Desa Tentrem Rahardjo (Tentram dan Sejahtera) adalah sebuah desa kecil yang asri, Â sebuah anak sungai pegungan jernih yang berasal dari mata air yang keluar dari salah satu lereng Gunung Lawu membelah desa ini lengkap dengan air terjun di hulu desa membentuk kolam tempat Bara kecil dulu kerap berenang bersama teman-temannya. Air terjun ini kerap menjadi tempat persinggahan para petualang, pendaki gunung. Secara administratif, desa ini di bawah Kabupaten Sragen, sebuah kabupaten dilingkungan propinsi Jawa Tengah.
Begitu turun dari Kereta Ekonomi yang memiliki tujuan akhir Kota Surabaya di Stasiun Sragen, kedamaian serta kesejukkan langsung mendera Bara. Kebetulan saat itu waktu menunjuk pukul 2 dini hari. Dengan suhu malam hari menembus 11 derajat (Celcius), tidak bisa tidak, Bara pun merapatkan kaitan jaketnya.
Berjalan perlahan Bara menuju dusunnya, karena sarana transportasi umum baru mulai beroperasi kembali menjelang fajar. Toh' dusunnya tidak terlalu jauh. Jika berjalan kaki, waktu yang diperlukan hanya sekitar satu jam. Menanjak memang, setidaknya bisa untuk menghangatkan tubuh.
-
Siang itu Bara sedang dudu di bale-bale teras rumahnya bersama kedua orang tuanya. Bapaknya, setelah mendengar apa yang tengah difikirkan Bara bertanya,"Dadi kepiye le? Sing mbok pilih sink ngendi?" (Bahasa Jawa, artinya, Jadi bagaimana nak? Yang kamu pilih yang mana?)
"La, menurut bapak sareng ibu sink pundi?" (Menurut bapak dan ibu yang mana?)
"Loo, kowe pingine piye?" (Kamu maunya yang mana?)
"Kulo dereng wonten keputusan bu, tapi ne' dipikir-pikir, ndamel nank perusahaan asing luih sekeco penghasilan nipun." (Saya belum bisa mengambil kesimpulan Bu. Tetapi kalau saya berfikir lebih jauh, kerja di perusahaan asing gajinya lebih baik)
"Yo, tapi mbok di pikir-pikir ndisek, ojo kesusu, sssst .... huuuuuh!" (Ya, tetapi coba difikir lebih tenang, jangan terburu-buru) sahut Pak Karta (Orang tua Bara) seraya menyumat rokok kreteknya.
"Margo nipun, kulo sa' meniko sowan tenk bapak sareng ibu, Kerso kulo si nang perusahaan asing," (Oleh karena itu, sekarang saya datang menghadap bapak dan ibu. Kalau saya inginnya kerja di perusahaan asing)
"Le, ne ibu yo, iki ibu, luih leres nek kowe ndamel nank pemerintahan mawon, ibu mboten tebih-tebih nek arep nyambangi awakmu." (Nak, nak,kalau ibu lebih suka kamu bekerja di pemerintahan saja, nanti kalau ibu ingin bertemu tidak jauh-jauh)
Malam itu Bara merenung, hingga menjelang fajar, keputusan pun akhirnya bulat diambil. Segera dia pamit untuk kembali ke Jakarta.
-
"Jam berapa sih datangnya?" agak gelisah Badai menanti kedatangan pesawat yang dinaiki orang tua Rossa.
"Sabarlah kak, itu pengumumannya sudah ada. Paling lagi urus bagasi,"
10 menit kemudian
"Itu kak, itu bapak sama ibu aku."
"Kok ga ada yang kawal?"
"Mana mau dia, ini kan bukan perjalanan dinas. Pak, bapak!" berlari Rossa ke pelukan orang tuanya, sementara Badai berjalan di menyusul.
"Mana dia, bujang yang katanya mau dengan kau?" berkeliling mata ayah Rossa mengawasi suasana
"Itu pak," Rossa menoleh kepada Badai yang makin mendekat. Saat itu ayah Rossa sudah lebih melunak, namun tetap masih kurang sreg meski nama Badai mulai berkibar sebagai seorang politikus muda yang energik. Selain berbeda suku, pekerjaannya belum nampak jelas (dalam penilaian orang tua Rossa). Sebuah pemikiran wajar dari setiap orang tua dalam melihat hubungan sosial anak-anaknya.
"Pak, mak, ini Badai," Rossa memperkenalkan Badai yang telah bergabung, kepada orangtuanya.
"Om -- tante, Badai," sedikit membungkukkan badan, Badai memperkenalkan diri.
"Wah, mak, gagah juga bujang satu ini. Hanya sayang, belum menetap kerja kau ya nak,"
"Bapak gimana sih, Kak Badai sekarang sedang fokus dengan kampanye politiknya, buat pemilu nanti Bulan Juni. Dia tangan kanannya Pak Sudjarwo lo Pak."
"Bah, yang pimpin partai itu? Orang kuat itu kata orang, baguslah. Moga kau masuk nak."
"Terimakasih om."
"Eh Ross, ayo kita kita cari tempat makan. Sudah kosong lambung kanan ayah ni, masak di atas tadi Bapak kau ini Cuma dikasih jatah roti sama minuman ringan. Mana cukup, paling baru sepertiga dia terisi,"
"Iya pak," berbunga hati Rossa, melihat pertemuan pertama yang nampaknya cukup lancar. Sudah menjadi watak etnis yang satu ini, untuk tidak menutupi kesuka atau ketidak suka kepada orang lain. Setidaknya dalam benak Rossa, ayah sedang senang ni.
-
Begitulah perkenalan pertama mereka. Hari itu pun berlalu dengan lancar. Begitu juga hari-hari selanjutnya. Badai, ditengah kesibukkannya, berusaha keras mengambil hati kedua orang tua Rossa. (BERSAMBUNG)
Naskah ini pernah mengikuti lomba karya tulis Kemendikbud pada tahun 2010 dengan J Wicaksono selaku pengarangnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H