Mohon tunggu...
J Wicaksono
J Wicaksono Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi Kesehatan ingin belajar menulis

Saya suka menulis dan membaca berbagai artikel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

13th December Inferno (Bagian 4)

10 Maret 2024   09:15 Diperbarui: 10 Maret 2024   09:38 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu setelah 2 kota utama negeri itu diluluh lantak oleh "Bom Atom" Amerika Serikat 

Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan-'Quo Statuta' di wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah pendudukan Jepang, termasuk Indonesia. 

Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pemuda untuk mendesak Ir Soekarno dan drs. Mohammad Hatta agar segera memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. 

17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB, Ir Soekarno membacakan sebuah naskah yang kemudian kita kenal sebagai "Teks Proklamasi" yang disusun secara singkat malam hari menjelang tanggal tersebut dan atas nama Bangsa Indonesia ditanda tangani Soekarno-Hatta.

4

Bulan November 1945, Organisasi TKR Laut di Karawang, selain memiliki staf umum, juga didukung oleh 4 Batalyon tempur. Batalyon-batalyon tempur ini tersebar dari Rengas Dengklok, Perbatasan Karawang dengan Wilayah Bekasi hingga Pamanukan di utara Kota Subang. Kekuatan TKR Laut di Karawang makin meningkat karena banyak dari anggota TKR Laut yang sebelumnya berkedudukan di Jakarta secara perorangan maupun kelompok bergeser kesana akibat keberadaan Sekutu di sana.

"Letnan Soeprapto".

"Siap Komandan", saat itu Prapto dipanggil oleh Letkol Djuned.

"Anda lulusan Akademi Angkatan Laut Belanda. Benar bukan?"

"Siap, benar Komandan".

"Apakah anda memiliki cukup pengetahuan tentang pertahanan pangkalan?"

"Siap, azasinya hal itu milik para Kadet[1] Marinir Komandan. Namun, saya sedikit paham".

 

"Ada mau membantu saya?"

 

"Siap, Perintah Komandan?"

 

"Anda segera bentuk batalyon baru di sini. Batalyon pertahanan Pangkalan".

 

"Siap".

 

"Perkuat kemampuan tempur angota kita, terutama bagi mereka yang sama sekali belum memiliki dasar ilmu kemiliteran".

 

"Siap".

 

"Anda sanggup Letnan?"

 

"Siap Sanggup Komandan. Segera saya laksanakan".

 

-

 

Bergabungnya Prapto, membuat Komandan Pangkalan II TKR Laut membentuk Batalyon baru yang berfungsi sebagai Batalyon Pertahanan Pangkalan yang kemudian dipimpin oleh Letnan Muda Soeprapto. Batalyon ini bersifat batalyon perkuatan dan pembinaan.

 

-

 

Batalyon Pertahanan Pangkalan milik TKR Laut di Karawang yang baru terbentuk, memiliki kekuatan sekitar 200 orang dengan inti pasukan adalah personel yang berasal dari Belanda, yang datang bersama Prapto. Batalyon pertahanan Pangkalan ini, disamping tugas pokok (tupok) pertahanan pangkalan juga bertugas melaksanakan fungsi pembinaan dan pelatihan bagi personel yang berasal dari penduduk sipil yang tidak memiliki latar belakang militer yang bergabung dengan TKR Laut.

 

Batalyon pertahanan pangkalan, dalam perkembangan jaman, saat ini ada di setiap Pangkalan Utama TNI-AL (Lantamal). Batalyon ini berisi personel dari Korps Marinir. Dikenal dengan nama Batalyon Marinir Pertahanan Pangkalan (Yonmarhanlan).

 

Yonmarhanlan secara administrasi personel berada di bawah Korps Marinir, namun tupok-nya berada di bawah Markas Komando (Mako) Lantamal.

 

Dalam waktu singkat, Pangkalan II TKR Laut Karawang yang sebelumnya menjadi pangkalan administrasi, tumbuh menjadi pangkalan operasional yang hampir lengkap.

 

-

 

"Kelasi Yamto".

 

"Siap Komandan".

 

"Anda pandai sekali dalam laksanakan bongkar pasang senjata".

 

"Siap, terimakasih Komandan".

 

"Dan senjata anda nampak paling bersih dan terawat", saat itu Prapto tengah memeriksa hasil latihan prajuritnya.

 

"Prajurit!" Ujar Prapto kepada seluruh yang ada di lapangan belakang pangkalan.

 

"Siap!" Serentak semuanya menjawab.

 

"Belajarlah seperti rekan kalian Suyamto. Senjatanya sangat bersih dan terawat".

 

"Siap".

 

"Senjata adalah pasangan pertama kalian. Nyawa dan kemenangan kalian, tergantung kepadanya".

 

"Siap".

 

"Kelasi Yamto!"

 

"Siap Komandan!" Jawab Yamto lantang.

 

"Ajari rekan-rekanmu untuk merawat senjata-senjata mereka".

 

"Siap, laksanakan Komandan".

 

-

 

24 November 1945, sore hari

 

"Letnan Prapto",

 

"Siap Kapten".

 

"Bagaimana kisahnya sehingga letnan menjadi bagian Angkatan Laut Belanda?"

 

Sore itu, Prapto sedang duduk di belakang gedung utama bersama Kapten Sulaiman. Mereka baru selesai menyaksikan latihan anggota batalyon pertahanan pangkalan.

 

"Panjang mohon ijin".

 

-

 

"Saya lahir dikalangan Jawa bagian tengah ijin kapten".

 

Prapto pun bercerita kepada Kapten Sulaiman.

 

Prapto kecil, lahir dari kalangan Ningrat[2] Jawa. Sang ayah, Raden Mas Hariman Hadinata Wiroatmotjo adalah pemimpin Wongso[3] Wiroatmotjo. Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda menjabat sebagai seorang Penatus wilayah Karang Lewas, Blambangan Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah. Jabatan ini diturunkan dari generasi ke generasi. Sebagai seorang penatus, wilayah kekuasaannya meliputi 100 desa. 

 

Jaman sekarang, luas wilayahnya lebih kurang seluas satu kabupaten atau kadipaten. Perbedaan antara Penatus-an dengan Kadipaten adalah, penatus memimpin wilayah luas tanpa menetapkan satu wilayah sebagai pusat pemerintahan. Lokasi dimana Sang Penatus tinggal adalah letak pusat pemerintahan. Tidak ada kota tertentu yang ditunjuk sebagai lokasi pusat wilayah.

 

Penduduk di bawah penatusan cukup mengetahui, bahwa pemimpin wilayah mereka tinggal di desa atau dusun tertentu. Sementara kadipaten, dengan luas kekuasaan hampir sepadan, biasanya memiliki sebuah kota sebagai pusat pemerintahan. Kota yang memiliki sarana serta prasarana dan dilengkapi aparat pemerintahan yang mengisi setiap jabatan yang ada. Pasukan Kadipaten memiliki struktur komando jelas dan berjumlah cukup besar terdiri dari jajaran kepolisian hingga kadang militer.

 

Penatus-an sendiri tidak memiliki pasukan selengkap bupati (Pemimpin Kadipaten). Pasukan penatus-an hanyalah prajurit pasukan kawal keluarga serta penjaga ketertiban wilayah. Pimpinan prajuritnya hanyalah lurah-lurah prajurit. Tugas utama mereka lebih pada pengawalan dan ketertiban.

 

Penatus Blambangan, pemimpin Wongso Wiroatmotjo memiliki garis keturunan Ningrat dari Puri Mangkunegaran, Surakarta. Leluhur mereka adalah salah satu putra dari Mangkunegaran III.

 

Prapto kemudian tumbuh besar dilingkungan yang masih memegang teguh ke-biru-an darah, menjadi pembarep (Anak Pertama) bagi 8 orang adiknya yang kemudian terlahir belakangan. Prapto sejak awal disiapkan untuk menggantikan posisi ayahnya kelak. Kekayaan Sang Ayah tidak sedikit. Selain karena luasnya wilayah kekuasaan beliau, juga karena tanah Blambangan begitu subur. Abu Vulkanik yang berasal dari letusan Gunung Slamet yang berada di sisi utara, menjadi media penyubur tanah yang baik di wilayah Blambangan. Berbagai jenis hasil bumi unggulan banyak diproduksi di wilayah ini. Semuanya, pada saatnya akan menjadi milik Prapto.

 

Sebagai keluarga ningrat dan pembesar di Blambangan, Prapto pun dapat memperoleh pendidikan lebih dibanding anak lain sebayanya. Menamatkan HIS (Hollandsch-Inlandsche School) atau sekolah dasar pada zaman penjajahan Belanda di Kota Banjarnegara, sebuah kota pegunungan asri yang dekat dengan wilayah kekuasaan Sang Ayah, Prapto melanjutkan pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs berarti "Pendidikan Dasar Lebih Luas") di kota itu. Untuk jaman sekarang, MULO setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sebagai sebuah lembaga pendidikan kolonial, MULO menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pendidikan.

 

Lepas dari jenjang MULO, Prapto melanjutkan pendidikan ke jenjang AMS (singkatan dari bahasa Belanda Algeme(e)ne Middelbare School) adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) pada zaman kolonial Belanda. AMS hanya ada di beberapa ibu kota propinsi Hindia Belanda yang besar yaitu Medan (Sumatera), Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Makassar (Indonesia Timur). Selain itu AMS ada di Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta), Surakarta (Kasunanan Surakarta) dan beberapa kota Karesidenan seperti di Malang.

 

Prapto muda menjalani jenjang pendidikan AMS di kota Surakarta. Prapto dititipkan oleh sang Ayah di salah satu kediaman kerabat dalem Keraton Mangkunegaran yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dekat dengan sang ayah.

 

-

 

Di usia relatif muda. Sekitar 17 tahun, Prapto lulus AMS. Selanjutnya karena nilainya cukup cemerlang, Prapto berhak melanjutkan studi di sebuah institut teknologi yang diperuntukkan khusus bagi para Priyayi Hindia Belanda (Julukan bagi kaum darah biru Indonesia ketika itu) di kota Bandung. Pilihan Prapto adalah program studi "Civil Engginnering" (Teknik Sipil).

 

Technische Hoogeschool te Bandoeng, atau Sekolah Tinggi Teknik Bandung, adalah sekolah Tinggi pertama yang berdiri di Nusantara di tahun 1920. Tujuan pendiriannya adalah untuk memperbanyak jumlah sarjana teknik yang amat terbatas sebagai akibat Perang Dunia I. Jurusan yang dimiliki kala itu ada 3, yaitu Sipil, Kimia dan Mesin/listrik.

 

-

 

Pertengahan tahun 1936, Prapto menjejakkan kaki di Jalan Ganesha 10, Kota Bandung. Institut Teknologi Bandung telah melahirkan banyak pemuda revolusioner yang dikemudian hari menancapkan 'soko guruh' (Tiang Pancang) Kemerdekaan. Salah satu nama yang kita kenal adalah Ir. Soekarno, Soekarno mendirikan Partai Indonesia Raya yang secara terbuka memiliki tujuan, Indonesia Merdeka.

 

Selama tiga setengah tahun Prapto menempuh pendidikan di ITB Bandung. Sistem Pendidikan Tinggi di ITB sendiri ditempuh selama 4 tahun. Dengan jurusan utama Teknik Sipil.

 

Sebuah peristiwa besar dalam hidupnya di pertengahan tahun terakhir kuliah akhinya merubah jalan hidup Prapto. Peristiwa besar yang membuat Prapto menjadi seperti sekarang, seorang militer profesional.

 

Kisah ini diceritakan sore itu oleh Prapto kepada Kapten Sulaiman.

 

"Letnan tidak tamat kuliah? Mengapa?" belum pertanyaan itu di jawab, seorang prajurit berlari menghampiri mereka berdua.

 

"Ijin Kapten, Letnan, bapak berdua dipanggil Komandan", ucap prajurit itu.

 

"Terima kasih, kami menghadap komandan sekarang"' jawab Kapten Sulaiman.

 

Keduanya pun menuju ruang Letkol Djuned.

(BERSAMBUNG ke bagian 5; Naskah ini telah terbitkan dalam bentuk novel dengan judul yang sama oleh penerbit Tidarmedia dan dipasarkan secara online melalui Tokopedia)

Penjelasan footnote:

[16] Adalah sebutan yang diberikan kepada para siswa calon perwira di Akademi Angkatan Laut. Istilah ini pun diadopsi oleh TNI-AL, di Akademi Angkatan Laut Indonesia.

[17] Adalah golongan bangsawan. Digunakan bagi mereka yang memiliki keturunan raja atau sultan di Indonesia.

[18] Kelompok keturunan di Jawa. Jika di suku lain, contohnya batak-wongso bermakna marga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun