14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu setelah 2 kota utama negeri itu diluluh lantak oleh "Bom Atom" Amerika Serikat
Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan-'Quo Statuta' di wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah pendudukan Jepang, termasuk Indonesia.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pemuda untuk mendesak Ir Soekarno dan drs. Mohammad Hatta agar segera memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia.
17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB, Ir Soekarno membacakan sebuah naskah yang kemudian kita kenal sebagai "Teks Proklamasi" yang disusun secara singkat malam hari menjelang tanggal tersebut dan atas nama Bangsa Indonesia ditanda tangani Soekarno-Hatta.
3
Sejarah kepulangan delapan orang prajurit ini berawal dari berita Kemerdekaan Indonesia pada tangal 17 Agustus 1945 yang terdengar hingga Negeri Belanda. Berbagai tanggapan kemudian muncul atas pernyataan merdeka Indonesia yang ditanda tangan oleh Bung Karno dan Bung Hatta ke seantero Negeri Belanda.
Hal ini tidak dapat diterima oleh Bangsa Belanda. Hindia Belanda selama ratusan tahun menjadi Koloni Kerajaan Belanda dan menjadi salah satu pemasok devisa terbesar untuk Negeri Belanda dibanding koloni mereka lainnya. Apalagi, Belanda beserta negara lain, baru selesai perang. Negeri itu membutuhkan dana besar untuk kembali membangun berbagai infrastruktur yang porak-poranda selama perang.
Lebih dari 300 tahun, Hindia Belanda adalah lumbung perekonomian Kerajaan Belanda. Ribuan pulau yang membentang, seluruhnya memiliki hasil bumi melimpah dengan cadangan sumber daya tambang tidak kalah besar. Selain itu, berbagai macam fasilitas produksi serta infrastruktur pendukung telah di bangun secara masif di Hindia Belanda. Jika hilang, tentunya menjadi sebuah pukulan yang berat bagi Kerajaan Belanda.Â
Bagi Bangsa Belanda, kemerdekaan Indonesia tidak dapat diterima secara akal dan nalar. Tanpa Indonesia, Belanda di anggap tidak bisa bangkit dengan cepat membangun negerinya.
Hal ini sangat di sadari oleh NICA, karenanya mereka spontan turut dalam Pasukan Sekutu yang mendarat di Indonesia pasca pernyataan resmi kekalahan Jepang dengan Sekutu[1].
Â
Gelombang kekhawatiran atas hilangnya Hindia Belanda dari bagian koloni, menyebabkan kegundahan massal.
Â
Letnan Soeprapto pemilik Bintang Kehormatan War Memorial Cross[2] Kerajaan Belanda, termasuk dalam kegundahan massal itu. Namun alasan gundahnya berbeda dengan mayoritas lainnya. Prapto amat merindukan kampung halamannya.
Â
Lereng Gunung Slamet, tempat dia dilahirkan. Kota Banjarnegara - Surakarta - Bandung - hingga Semarang, memiliki arti dalam perjalanan hidupnya. Dan tempat-tempat itu, tempat yang dirindukannya sekarang sudah merdeka.
Â
Dalam jiwa perwira amunisi di Kapal Perang HNLMS Abraham Crijnssen-bagian dari Angkatan Laut Belanda kehampaan melanda. Kerinduan sangat memuncak, ... , hingga akhirnya tidak bisa lagi ditahan. Prapto memutuskan untuk kembali kepangkuan Ibu Pertiwi.
Â
'Tidak bisa tidak, aku harus pulang!' begitu batinnya bicara.
Â
-
Â
HNLMS Abraham Crijnssen adalah kapal bertipe penyapu ranjau milik Kerajaan Belanda yang berhasil melewati PD II. Berbagai palagan dilewatinya hingga pendaratan Normandi yang berakhir pada kemenangan Kampanye Militer Sekutu atas Jerman dan sekutunya di Eropa. Letnan Prapto yang lulus Akademi Angkatan Laut Belanda di tahun 1943, turut dalam perjalanan HMLMS Abraham Crijnssen di periode akhir PD II.
Â
-
Â
Prapto segera mengumpulkan beberapa orang anggota angkatan laut yang berasal atau memiliki garis darah dari Indonesia. Kebanyakan mereka adalah pribumi asli namun keluarganya bekerja di Belanda. Mereka yang memiliki visi yang sama dengan Prapto berjumlah 7 orang. Bersama Prapto mereka akhirnya memutuskan untuk menyeberang ke pihak Republik. Atau melakukan tindakan desersi.
Â
-
Â
Dalam waktu singkat mereka menyusun sebuah rencana untuk kembali ke Pangkuan Pertiwi. Awal September 1945, mereka memulai perjalanan kembali ke Indonesia. Dengan menyamarkan identitas aslinya, Prapto berserta rombongan menumpang kapal niaga yang tengah sandar di Rotterdam, Belanda. Kapal itu menuju Pulau Sicilia di selatan Itali.
Â
"Rencana kita selanjutnya Letnan?"
Â
"Kita lihat situasi di Sicilia. Intinya kita kembali ke Indonesia. Apapun kapalnya, yang menuju atau mendekati arah tujuan kita, kita coba untuk ikut".
Â
"Siap Letnan."
Â
Malam di buritan kapal[3]. Prapto berbicang dengan Kopral Alex. Alex, seorang keturunan Maluku yang kedua orang tuanya hijrah ke Negeri Belanda pada awal tahun 1900-an. Kala itu orang tuanya mengikuti majikan mereka yang kembali ke Belanda. Hal yang membuat Alex akhirnya lahir dan besar di Eropa.
Â
"Saya belum pernah ke Hindia Belanda", ujar Alex.
Â
Sesaat keheningan melanda ...
Â
"Jika ragu, Kopral bisa kembali ke Belanda nanti di Sicilia", Prapto memecah hening.
Â
"Tidak Komandan. Orang tua saya sudah tidak ada. Dan bagi mereka tidak ada yang lebih indah dimuka bumi ini selain Pantai Ngustafur. Tanah kelahiran ibu saya".
Â
"Pantai Ngurtafur?"
Â
"Siap Komandan. Sejak saya kecil, ibu saya selalu bercerita tentang keindahannya".
Â
"Di Maluku?"
Â
"Saya pun belum tahun dimana Komandan. Namun iya, letaknya di Kepulauan Maluku".
Â
"Tenang Kopral. Setelah tiba di Hindia Belanda, dan kita pasti akan diterima menjadi bagian Angkatan Laut negeri baru itu".
Â
"Siap".
Â
"Kita akan ke kampung halaman Kopral Alex, menggunakan Kapal Perang milik bangsa kita sendiri".
Â
"Siap Komandan, pasti" sikap optimisme nampak didalam pembicaraan keduanya.
Â
-
Â
Dalam waktu 4 malam, kapal yang mereka tumpangi tiba di Pulau Sicilia. Mereka kemudian menemukan kapal niaga lain, yang kali ini menuju kota pelabuhan terbesar di India, Mumbai. Merekapun menumpang kapal ini.
Â
Berbeda dengan kapal sebelumnya, kapal niaga yang menuju Mumbai, menyinggahi banyak pelabuhan. Mulai dari Kreta, Suez, Jeddah, Adis Abeba, barulah menuju Mumbai. Total 3 minggu waktu bagi mereka untuk tiba di Mumbai.
Â
Di Mumbai, mereka bertemu dengan nelayan-nelayan dari Pulau Wee-Sabang, yang masuk ke dalam wilayah Hindia Belanda. Disanalah mereka tahu. Negeri muda itu bernama Republik Indonesia. Prapto, Alex, beserta rekan lainnya menumpang perahu nelayan tadi. Menuju Pulau Wee.
Â
Sekitar 3 malam perjalanan. Tibalah mereka di Pulau Wee.
Â
Saat perahu mendekati Teluk Sabang,
Â
"Indonesia Komandan, Indonesia!" Alex meluapkan kegembiraan dan melompat ke air.
Â
"Kopral!" Siswanto, salah satu dari kedelapan orang rombongan Prapto memanggil.
Â
"Ayo Sis, bergabung dengan saya. Hangat sekali air disini," Ujar Ales kepada Siswanto. Siswanto sendiri adalah seorang Kelasi keturunan Jawa.
Â
"Benarkah?"
Â
"Benar. Ayo sini coba!"
Â
"Baiklah!" Siswanto pun turut menceburkan diri.
Â
Rekan lain pun akhirnya turut larut dalam kegembiraan, kembali menginjak tanah Indonesia. kedelapan disertir Angkatan Laut Kerajaan Belanda itu sesaat meluapkan penat dan letih nya dengan berenang di sekitar perahu nelayan yang mereka tumpangi.
Â
Kala itu Awal Oktober 1945. Pasukan Sekutu sudah melakukan pendaratan di berbagai pulau di Indonesia. di Sumatera, Pasukan Sekutu sempat singgah di Pulau Wee untuk kemudian menguasai Kota Medan dan Palembang. Hal ini menyulitkan Prapto dan rekan-rekannya untuk menuju langsung ke Jakarta yang menjadi tujuan utama mereka. Karena, tidak ada kapal yang menuju ke arah selatan. Para nelayan tidak mau mengambil resiko membawa kapal ke arah Medan atau kota lain, karena keberadaan Pasukan Sekutu di sana.
Â
Setelah 3 malam berupaya, mereka memutuskan ikut perahu saudagar dari Kedah di semenanjung Malaka. Cukup semalam perjalanan laut, mereka tiba di Kedah. Di sana mereka menggunakan jalan darat menumpang truk penduduk menuju Johor.
Â
Menggunakan perahu nelayan, Prapto dan rekan menyeberang ke Pulau Bintan. Setelah 3 hari di Pulau Bintan, mereka menemukan perahu saudagar yang akan menuju Pulau Belitung. Mengetahui mereka adalah personil Angkatan Laut Belanda yang menyeberang ke pihak Republik. Seorang saudagar sangat senang dan mengajak mereka ikut kapalnya. Turutlah mereka ke Pulau Belitung. di Pulau Belitung, saudagar tadi mengajak Prapto untuk menemui nelayan yang berasal dari Pulau Jawa. Merekapun akhirnya diantarkan ke Jakarta.
Â
Nelayan dan saudagar Nusantara, pada masa Perang Kemerdekaan kerap menjadi mata-mata dan jembatan logistik di laut bagi Indonesia.
Â
Akhir Oktober, tibalah mereka di Pelabuhan Angke, Jakarta tempat sandar nelayan-nelayan tradisional. Total perjalanan yang mereka tempuh sejak dari Rotterdam hingga tiba di Angke, hampir 2 bulan lamanya.
Â
Saat itu Jakarta sebagian telah dikuasai Sekutu. Prapto beserta rekan-rekannya segera mencari informasi, dimanakah kantor pasukan TKR Laut. Mereka pun memutuskan segera pergi ke kantor KKAL-J yang kala itu mundur ke tengah kota setelah Kawasan Pelabuhan diduduki Pasukan Sekutu.
Â
Mayor A. Saleh Bratawidjaja, pimpinan KKA-J kemudian memerintahkan mereka untuk bergabung dengan Pangkalan II TKR Laut di Kota Karawang.
Â
Merekapun, segera menuju Karawang hingga akhirnya bergabung dengan Letkol Djuned.
(BERSAMBUNG; Naskah ini telah terbit secara utuh dalam bentuk Novel dengan judul yang sama lewat penerbut Tidarmedia, dijual secara online di Tokopedia)
Penjelasan Footnote:
[13] Beberapa sumber sejarah menyebutkan, terkait pendaratan NICA di Indonesia berdasarkan kesepakatan Van Mook dengan Jendral Mac Arthur (Pemimpin Pasukan Sekutu di Pasifik. Kesepakatan itu adalah, Hindia Belanda akan dikembalikan kepada Belanda ketika PerangPasifik berakhir.
[14] Sebuah medali kehormatan dari Kerajaan Belanda kepada prajuritnya yang berhasil membebaskan diri pada saat menjadi tawanan perang Jerman semasa Perang Dunia II.
[15] Buritan adalah bagian paling belakang pada sebuah kapal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H