Sebuah epik dalam karya sastera Tamil, Manimekalai, menyebutkan tentang sebuah pulau antara Srilanka dan Jawa -- mungkin Sumatera -- yang dihuni oleh masyarakat Naga yang kanibalis. Ibukota Jawa disebut-sebut sebagai Nagapuram, menunjukkan bahwa Jawa juga dihuni oleh masyarakat Naga, dengan raja-rajanya Bhumichandra dan Punyaraja yang mengaku keturunan Indra.
Di Srilanka, satu tempat yang juga terkait dengan masyarakat Naga didalam epik tersebut adalah Puhar, ibukota Chola, yang pernah menjadi ibukota masyarakat Naga yang diusir oleh raja pertama Chola Muchukunta dengan bantuan makhluk gaib Indra. Epik saudaranya, Silappadikaram, menyebutkan bahwa Puhar adalah ibukota masyarakat Naga, dimana Puhar telah dikenal sebagai Nagaram atau Pattinam. Masyarakat Naga di Srilanka telah ada sampai abad ke-3 SM sebagai kelompok yang berbeda di awal karya sastera Tamil. Pada abad ke-3 SM mereka mulai berasimilasi dengan bahasa dan budaya Tamil, dan kehilangan identitasnya.
Saat ini terdapat masyarakat suku Naga yang mendiami bagian timurlaut India dan baratlaut Myanmar. Masyarakat suku Naga telah dalam waktu yang lama tidak terganggu pengaruh luar dan telah mempertahankan budaya dari zaman yang paling kuno sampai sekarang. Beberapa peneliti telah menelusuri asal mereka dari suku-suku pengayau ras Melayu dan ras-ras dari laut selatan. Cerita, lagu-lagu dan legenda rakyat suku Naga menunjuk asal mereka ke arah tenggara. Adat dan budaya suku Naga mirip dengan suku di laut selatan dalam banyak aspek. Bordir pada pakaian suku Naga menyerupai yang terdapat pada pakaian suku-suku di Indonesia. Suku Naga menggunakan kerang dan keong dalam dekorasi tubuh mereka, menunjukkan bahwa mereka memperoleh pengetahuan dari laut selatan. Shakespeare, yang menulis sejarah Assam, juga menulis bahwa suku Naga mirip dengan suku Dayak dan mereka menyukai kerang laut, yang tidak ditemukan di desa-desa suku Naga. Praktek pengayauan adalah umum hingga abad ke-20 dan mungkin masih dipraktekkan di suku Naga yang terisolir di Myanmar. Banyak kebiasaan dan cara hidup seperti pengayauan, sistem rumah bersama, tato, batu pemakaman, alat tenun, sawah berteras dan sebagainya yang sangat mirip dengan mereka yang tinggal di bagian terpencil di Asia Tenggara, menunjukkan bahwa tempat tinggal kuno mereka adalah dekat laut atau di pulau-pulau.
Naga adalah dewa atau makhluk mitologi yang tedapat dalam agama Dharma dan Buddha. Mereka tinggal di dunia bawah (Patala). Terdapat beberapa legenda tentang masyarakat Naga antara lain dalam cerita rakyat suku di India Selatan (Adivasis) dan dalam masyarakat aborigin Australia. Dalam legenda ini, masyarakat Naga menghuni benua besar yang ada di suatu tempat di laut selatan yang kemudian tenggelam dan sisa-sisanya membentuk kepulauan (Indonesia dan Australia). Masyarakat Naga ini dikatakan telah mengembangkan peradaban dunia bawah yang lebih maju dan mereka memiliki kekuatan super.
Dalam legenda Kamboja, Naga adalah makhluk reptil yang memiliki kerajaan besar di wilayah laut selatan. Ular naga berkepala tujuh digambarkan sebagai patung pada candi-candi di Kamboja seperti Angkor Wat, mungkin mewakili tujuh ras dalam masyarakat Naga.
Hampir setiap candi di Indonesia dihiasi dengan kepala naga yang disebut Makara, demikian juga rumah-rumah, alat-alat musik dan seni ornamental lainnya. Naga Jawa biasanya digambarkan sebagai pelindung atau pengayom, sehingga umum ditemukan dalam pahatan gerbang, pintu masuk, atau undakan tangga dengan maksud melindungi bangunan yang ia tempati.
Dalam seni Tiongkok, naga biasanya digambarkan sebagai makhluk menyerupai ular yang panjang, bersisik dan berkaki empat serta bertanduk. Naga Tiongkok melambangkan kekuatan dan tuah, khususnya mengawal air, hujan dan banjir. Dalam peristilahan 'yin' dan 'yang', naga adalah 'yang' (jantan) yang melengkapi 'fenghuang' (phoenix Tiongkok) yang bersifat 'yin' (betina). Naga Tiongkok dijadikan lambang kebudayaan yang berwibawa dan bertuah.
30) Perdagangan maritim
Maritim Asia Tenggara terdiri lebih dari laut daripada daratan. Terdapat Semenanjung Malaya, beberapa pulau besar dan puluhan ribu pulau-pulau kecil. Hal ini tidak mengherankan karena sejak awal, kekuasaan di Asia Tenggara dikaitkan dengan sistem perdagangan maritim.
Penciptaan sistem pasar berlangsung pada awal Pleistosen, dengan munculnya spesialisasi dan mulainya Zaman Neolitik. Tanda-tanda awal bekerjanya sistem pasar dapat dilihat dengan munculnya barter dalam suku-suku. Pasar terbuka atau dengan peneduh dikembangkan dimana pedagang memiliki tempat berdagangnya dan dimana pengrajin membuat dan menjual barang dagangannya. Pasar bukan hanya tempat untuk pembelian barang, tetapi juga menjadi tempat bagi orang-orang untuk berkumpul dengan banyak tujuan yang lain. Pasar dikembangkan di dekat muara sungai atau saluran air strategis lainnya. Beras dan produk pertanian lainnya dikirim kesana melalui sungai dari dataran tinggi yang lebih subur dan produktif. Dalam pertukarannya dengan beras dan produk pertanian lainnya, mereka menerima garam dan ikan kering dari hilir, dan berbagai barang impor – perlengkapan dari logam mulia, keramik dan kain khususnya, banyak diproduksi sejauh India dan Tiongkok.
Tuntutan usaha dan perdagangan yang maju mengakibatkan sistem uang untuk dikembangkan. Bentuk paling awal dari uang biasanya berupa uang logam, atau uang komoditas seperti kerang, daun tembakau, batu bulat dan manik-manik.
Pulau-pulau kecil, bersama dengan lembah aluvial, adalah daerah disukai untuk transaksi awal karena kelimpahannya akan ikan dan kelapa, dan keuntungan defensif atas pengetahuan lokal seperti terumbu karang dan jalur pelayaran. Banyak muara sungai utama, di sisi lain, adalah berbahaya terhadap malaria kecuali kemudian diberantas untuk dijadikan sawah permanen. Yang berperan dalam pembentukan jalur pelayaran utama adalah orang-orang perahu atau orang-orang laut.