Mohon tunggu...
Dhani Irwanto
Dhani Irwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Buku

Dhani Irwanto adalah seorang insinyur teknik sipil hidro dan lebih dikenal sebagai perencana dan ahli dalam hidrologi, bangunan air, bendungan dan tenaga air, profesi yang melibatkan antar-disiplin yang telah dijalani selama lebih dari tiga dekade. Terlepas dari kehidupan profesionalnya, ia juga seorang peneliti sejarah bangsa-bangsa dan peradaban, didorong oleh lingkungan, kehidupan sosial, budaya dan tradisi di wilayah tempat ia dibesarkan. Kehadirannya yang kuat di internet telah membuatnya terkenal karena gagasannya tentang pra-sejarah dan peradaban kuno. Dhani Irwanto adalah penulis buku "Atlantis: The Lost City is in Java Sea" (2015), "Atlantis: Kota yang Hilang Ada di Laut Jawa" (2016), "Sundaland: Tracing the Cradle of Civilizations" (2019), "Land of Punt: In Search of the Divine Land of the Egyptians" (2019) dan "Taprobana: Classical Knowledge of an Island in the Opposite-Earth (2019)". Dhani Irwanto lahir di Yogyakarta, Indonesia pada tahun 1962. Saat ini ia adalah pemilik dan direktur sebuah perusahaan konsultan yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat, Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tanah Punt adalah Sumatera

29 Oktober 2019   19:35 Diperbarui: 18 April 2021   01:10 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Modigliani (1894) menggambarkan ikat kepala pria Enggano sebagai lingkaran kecil, terbuat dari rambut kuda atau babi hutan dan dihiasi dengan bulu-bulu dengan berbagai warna. Jenis ini disebut eprúru cóio, yang berarti bulu babi. Rijksmuseum mencatat bahwa ikat kepala ini yang dipakai dalam kegiatan sehari-hari. Karena pria Enggano dulunya berambut panjang, ikat kepala ini sangat cocok untuk menjaga rambut agar tidak menutupi wajah waktu membungkuk.

Orang-orang Tanah Punt sebagian mengenakan hiasan kepala yang mencuat ke atas dan melengkung pada ujungnya mirip dengan topi berkabung orang-orang Enggano. Modigliani (1894) menggambarkan topi berkabung orang Enggano, tciáua, sebagai tanda khusus di kepala, sebuah topi aneh yang terbuat dari pandan atau daun nipah yang menyerupai topi Frigia. Rijksmuseum mencatat bahwa topi berkabung dikenakan oleh seorang pria yang ditinggal mati istrinya selama tiga bulan masa berkabung berlangsung. Lengkungan ujung harus kearah belakang.

26) Kalung

Gambar 45. Kalung: (a) dan (c) Punt, Mariette (1877); (b) dan (d) Punt, Deir el-Bahari; (e), (j), (k) dan (l) Enggano, Modigliani (1894); (f) dan (g) Enggano, manik-manik kerang, Modigliani (1894); (h) dan (i) Enggano, Rijksmuseum; (m) Enggano; (n) Mentawai; (o) Nikobar

Tetua Tanah Punt maupun istrinya mengenakan kalung dari manik-manik dan rantai pada lehernya. Kalung manik-manik orang Enggano digambarkan sebagai kalung untuk wanita, dikenakan selama perayaan. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka dikenakan oleh laki-laki (Modigliani 1894). Kalung tersebut terbuat dari manik-manik yang didatangkan dari daerah lain; pada abad ke-19 dan mungkin sebelumnya, dan merupakan barang dagangan yang populer. Seringkali, rantai tersebut dihiasi dengan potongan kerang nautilus. Motifnya dihasilkan dengan cara mengukirnya (Rijksmuseum).

27) Gelang tangan dan kaki

Gambar 46. Gelang tangan dan kaki: (a), (c) dan (e) Punt, Mariette (1877); (b), (d) dan (f) Punt, Deir el-Bahari; (g) dan (h) Enggano, Modigliani (1894); (i) – (k) Enggano, Rijksmuseum; (l) Mentawai

Tetua Tanah Punt mengenakan gelang pada pergelangan tangannya, sedang istrinya mengenakannya pada pergelangan kaki dan tangannya. Gelang tangan dan gelang kaki di Enggano dikenakan di sekitar lengan atas, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Gelang-gelang tersebut terbuat dari anyaman daun kering dan dihiasi dengan manik-manik atau semacam tasbih. Jenis lain adalah dari akar bahar (Antiphates sp), tanaman laut yang dapat menangkal penyakit.

Gambar 47. Gelang-gelang pelindung kaki: (a) Punt, Mariette (1877); (b) Punt, Deir el-Bahari; (c) – (e) Batu Gajah, Museum Palembang; (f) – (h) batu-batu pra-sejarah budaya Basemah, Sumatera Selatan

Kaki kiri tetua Tanah Punt, Parehu, dililit dengan gelang-gelang pelindung. Batu-batu pra-sejarah yang ditemukan di Kabupaten Lahat dan sekitarnya, yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu, menunjukkan gambar pria-pria yang mengenakan gelang-gelang pelindung kaki yang terpahat pada batu. Batu-batu ini dipercaya berasal dari budaya Basemah, diantaranya yang disebut "Batu Gajah", sekarang disimpan di Museum Palembang, Sumatera Selatan. Orang Basemah adalah kelompok masyarakat purba yang terutama menghuni bagian baratdaya dan selatan Sumatera. Mereka memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat-masyarakat purba lainnya yang menghuni bagian barat, tengah dan utara Sumatera, antara lain Lampung, Rejang, Kerinci dan Batak.

Gelang-gelang pelindung kaki saat ini masih dikenakan oleh orang-orang suku Padaung dan Kayan di Myanmar dan beberapa orang Dayak di Kalimantan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun