Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Cerpen | Hujan, Terima Kasih

15 Januari 2017   16:50 Diperbarui: 15 Januari 2017   18:09 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi-lagi pertanyaan itu membelalakkan mata hatiku. Aku terdiam, nyaris bungkam. Hanya memandangi jalanan, mengemudi dengan kecepatan standar. Bagaimana kalau Tuhanmu cemburu? Pertanyaan itu meraung-raung dipikiranku. Menampar-nampar. Tak mau hilang. Bagaimana bila Tuhanku cemburu? Aku memang sudah lama tak mendapatkan pertanyaan semacam itu. Bahkan mungkin aku hampir lupa. Aku hampir lupa kalau aku kerap kali membuatNya cemburu. Dan barangkali, aku pernah terlalu sibuk mencintai manusia, hingga lupa segalanya. Hingga lalai menjalankan perintahNya. Aku, ahh aku memang kerap membuat Tuhanku cemburu. Dan sudah lama aku tak menyadarinya. 

"Aku.., terlalu sering saya membuatNya cemburu, pak. Teramat sering. Lalu apa yang harus saya lakukan? Selama ini saya selalu ingin bertaubat selamanya, tapi nyatanya hanya di bibir saja,"

Apa yang harus saya lakukan? Pertanyaan itu sudah lama meraung-raung dipikiran. Ingin sekali kuluapkan, tapi tak pernah kesampaian. Apa yang harus kulakukan? Itu adalah pertanyaan kenangan. Kenanganku bersama laki-laki terhebatku. Laki-laki biasa yang sering menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih berlalu lalang di pikiran, yang belum sempat kuutarakan. Laki-laki yang sering kupanggil 'ayah' ini selalu saja tahu apa yang tidak kumengerti dan apa yang harus kuketahui. Yap, dialah penerang sekaligus pengarahku untuk tetap berlari ke tujuan ketika langkahku keliru. Dan kini aku merindukan saat-saat itu. Sudah lama aku tak bertanya, "Apa yang harus kulakukan?" ketika langkahku keliru dan seruan menuju kebaikan samar-samar kudengar. 

"Ayah, apa yang harus ku lakukan?"

Butiran air hangat berlinang menemani perjalanan yang tak lagi panjang. Berderai, berbaur dengan hujan. Siapapun tak akan tahu bahwa pengemudi sepeda motor berwarna merah ini sedang berurai air mata. Siapapun tak akan pernah tahu, sekalipun para pematuh lalu lintas di lampu merah kota Pecangaan itu. 

Biarkan air mataku berurai. Berbaur bersama hujan. Berderai terus berderai. Mengalir, ke ujung kaki, aspal, menggenang bersama hujan, lalu ke sungai, hingga ke lautan.

Karena itulah,
Aku suka hujan. 

"Perbaiki sholatmu, nak!" bisiknya perlahan yang segera dicerna oleh pikiran, hati, dan jiwaku.

"Tinggikan kualitas sholatmu, nak!" bisiknya lagi yang membuat jemariku gemetar tak mampu mempertahankan laju kecepatan.

"Sholatlah seperti ketika kau tahu bahwa esok kau akan mati. Sebab ketika kau menjaganya (sholat), maka Ia akan menjagamu," 


dan lagi, beliau membisikiku sesuatu yang bukan sekedar bisikan. Lagi, setelah ribuan hari lamanya aku merindukan arahan dari lelaki tersayang yang jadi panutan, di perjalanan ini, perjalanan yang penuh dengan air mata rindu, dari langit pun dari mata-hati yang melebur jadi satu, aku kembali mendapat sebuah arahan, pencerahan dari laki-laki biasa yang jiwanya seperti dia----yang sudah tenang di surga Tuhan. Seorang laki-laki paruh baya, bergamis putih, berkopyah putih, yang tubuhnya tak basah meski kehujanan, yang membuat perjalanan ini begitu hangat meski hujan menghantam habis-habisan, yang menjadikan puluhan kilo meter ini terasa begitu dekat dan cepat. Lelaki paruh baya berusia kurang lebih 50 tahun itu. Yang telah mengantarkanku menuju Negeri Cinta, yang di sanalah ayah berada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun