Angin kencang yang menggoyangkan pepohonan membuat listrik berhenti menerangi jalanan. Listrik seketika padam. Hanya rembulan dan lampu-lampu kendaraan yang menerangi jalan. Aku pun memperlambat laju kendaraan. Kulihat kanan-kiri. Satu/dua bangunan yang kulalui tampak gelap gulita, nyaris seperti rumah tak berpenghuni. Aku mulai gemetaran. Bukan karena ketakutan, tapi karena kedinginan yang terus-terusan menjalar. Aku mencoba tenang. Kuposisikan sorot mataku lurus ke depan, lalu kucoba menikmati perjalanan.Â
Tak lama dari itu, tetiba saja, mataku terbelalak. Menyoroti seorang lelaki bergamis putih yang berdiri di tepi jalan, persis beberapa meter dari hadapan. Ia melambaikan tangan ke arahku. Seperti ingin meminta tumpangan, atau menawarkan jas hujan? Haha. Entahlah. Kala itu aku tak berpikir panjang. Ku arahkan roda kendaraanku ke tepi jalan, lalu ku berhentikan tepat di depannya.
"Bolehkah aku menemani perjalananmu, nak?"Â tanyanya yang membuatku tak bisa menolak.Â
Ternyata ia seorang lelaki paruh baya yang berusia kurang lebih 50-an. Ia tak membawa apapun, kecuali sebuah payung dan jaket tebal yang kemudian diberikan kepadaku. Bapak itu kelihatannya baik, sama sekali tidak kutemui tampang penjahat di parasnya. Aku hanya manggut-manggut dan sedikit senyum. Setelah kukenakan jaket yang beliau berikan, kami pun melanjutkan perjalanan.
"Bapak dari mana, dan mau ke mana?" tanyaku mengawali pembicaraan.
"Saya musafir, nak. Perjalanan saya masih panjang," jawab beliau singkat.
"Memangnya bapak mau ke mana?" tanyaku lagi.
"Saya penduduk Negeri Cinta, nak. Di sana ada Taman Surga yang megahnya luar biasa," jawabnya yang membuatku semakin penasaran.
"Memangnya, ada apa saja di sana? Apakah saja boleh mengunjunginya?"
"Taman Surga adalah taman yang penuh kebahagiaan. Di sanalah tempat bagi para perindu."
"Perindu????"
"...."
Percakapan itu mengalir begitu saja. Panjang, sepanjang jalan Pantura. Aku jadi memahami satu hal, bahwa perjalanan panjang akan terasa lebih menyenangkan bila tak sendirian. Bahwa perjalanan panjang akan lebih membahagiakan bila dilalui dengan berduaan, bersama hujan. Haha.
Bapak bergamis putih itu bercerita kepadaku tentang banyak hal. Tentang Negeri Cinta, yang di sanalah surga bagi para pecintaNya. Tentang Taman Surga, yang di sanalah tempat berkumpulnya para perindu.
Perindu???? Termasuk perindu-kah aku??
"Saya juga perindu, pak. Saya perindu yang merindukan sosok panutan yang telah lama pergi. Saya teramat merindukannya, sampai-sampai saya berharap ia akan menghampiri saya. Menemani saya setiap kali saya sendirian. Saya teramat merindukan-nya, ia yang sangat khawatir ketika buah hatinya kehujanan, sendirian. Ya, ia sangat memerhatikan saya. Apapun yang saya lakukan, dan kemana pun saya pergi, ia selalu tahu, ia selalu ada. Ia memang sangat memanjakan saya, pak. Tapi jangan salah, ia adalah sosok yang sangat tegas. Luar biasa tegasnya. Tak semua yang saya mau akan ia turuti segera. Tak semua permintaan saya akan ia kabulkan seketika. Ia mengajari saya untuk berjuang dahulu, sebelum keinginan saya terpenuhi. Ia mengajari saya untuk tetap bangun sendiri, makan sendiri, apa-apa sendiri, meskipun tubuh meriang tak ketulungan. Merengek? Haha, ia tak pernah mengajari saya demikian. Ia memang penyayang, pak. Tapi bukan berarti apapun yang saya minta segera di-iya-kan.
Dan ketika ia pergi, saya baru menyadari arti dibalik sikap kerasnya. Pun arti dibalik ketegasannya. Ya, saya benar-benar baru menyadari, bahwa ada milyaran arti dibalik sikap tegas ayah.
Saya sangat merindukannya, pak. Teramat sangat.Â
Lalu, apakah saya ini termasuk salah satu dari para perindu yang berhak menghuni Taman Surga itu?"Â
Adakah yang lebih menyakitkan dari rindu?
Rindu yang tiada penawarnya, selain pertemuan dalam angan. Mimpi-mimpi yang sesekali, dan doa-doa yang senantiasa.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!